Bagaimana pandangan islam terkait Istri meminta untuk bekerja ?

Kewajiban bekerja untuk mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami. Lantas bagaimana apabila seorang istri meminta untuk tetap bekerja?

Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat, dan menyangkut berbagai sisi kehidupan. Mulai ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, hingga yang menguraikan keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan.

Jika kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Isteri Rasulullah SAW Khadidjah ra. adalah seorang wanita pebisnis. Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khadijah ra itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal Islam. Di sini kita bisa paham bahwa seorang isteri nabi sekalipun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya. Demikian pula dengan 'Aisyah ra.

Semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali ikut keluar Madinah dalam berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggal Rasulullah SAW, Aisyah adalah guru dari para shahabat yang memapu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran Islam

Di dalam surat al-Qashash ayat-23-28, juga dikisahkan mengenai dua puteri Nabi Syu’aib as yang bekerja menggembala kambing di padang rumput, yang kemudian bertemu dengan Nabi Musa as.

dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?” kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya

Surat al-Naml ayat 20-44, juga mengapresiasi kepemimpinan (karir politik) seorang perempuan yang bernama Balqis. Disamping ayat-ayat lain yang mengisyaratkan bahwa perempuan itu boleh bekerja menyusukan anak dan memintal benang. Islam tidak mensyari’atkan untuk mengurung wanita di dalam rumah.

Dalam beberapa Hadisnya Rasulullah SAW melarang orang yang menghalangi wanita untuk datang ke masjid.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk pergi ke Masjid, sedangkan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dan lafadz ini dari Abu Dawud).

Dari Abdullah Bin Umar dia berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang perempuan di antara kamu minta izin (untuk berjama’ah di masjid) maka janganlah mencegahnya”. (HR Al- Bukhari dan Muslim, lafadz ini dari Al-Bukhari).

Perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya seorang perempuan bekerja dalam khasanah fiqih bermula pada adanya surat al-ahzab ayat 33

Dan hendaklah kamu tetap berdiam diri di rumahmu dan jangan lah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah terdahulu

Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat perbedaan dalam memahami kata waqarna yang menjadi kata kunci ayat tersebut. Sebagian ulama Kufah sebuah aliran pemikiran hukum yang banyak diafiliasikan dengan rasionalisme Imam Abu Hanifah memahami kata tersebut dengan “tinggalah di rumah kalian dan tetaplah berada di sana “ ( Ali Muhanif, 2002: 19-20 )

Berkenaan dalam perbedaan penafsiran terhadap kata waqarna tersebut setidaknya ada tiga pemikiran atau pendapat berkenaan dengan wanita bekerja tersebut yaitu :

  1. Mereka yang Secara Absolute Melarang Wanita Bekerja

    Al qurthubi misalnya berpendapat bahwa ayat tersebut bisa dipahami, perempuan Islam secara umum diperintahkan untuk menetap di dalam rumah, walaupun ia mengakui bahwa sebenarnya relasi ayat ini lebih terarah kepada isteri-isteri nabi Muhammad SAW, tapi perempuan selain isteri nabi juga tercakup dalam perintah tersebut.

    Hal yang hampir senada juga diterjemahkan oleh Ibn Katsir yang mengatakan bahwa ayat di atas mengandung arti perempuan tidak dibenarkan ke luar rumah kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.

  2. Pendapat yang Memperbolehkan Wanita Bekerja Asal Ada Izin dari Suami, dan dalam Keadaan Darurat.

    Muhammad Qutub berpendapat bahwa ayat ini bukan berarti larangan terhadap perempuan untuk bekerja, karena Islam tidak melarang wanita bekerja, hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat dan bukan menjadikanya hal yang utama.

    Hampir sama dengan pendapat di atas Hayya binti Mubarak al Barik berpendapat bahwa pada dasarnya adalah haram wanita bekerja diluar. Haramnya seorang wanita bekerja di luar rumah terkait dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki seorang wanita misalnya haid, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, dan merawat anak. Apabila dilihat dari susunan tubuh yang dimiliki wanita tidak sekuat laki-laki.

    Bahkan lebih lanjut menurutnya terhadap seorang wanita yang bekerja di luar rumah akan banyak menimbulkan dampak negatif jika dibandingkan positifnya, misalnya menelantarkan anak-anak, meruntuhkan nilai moral dan sikap keagamaan wanita tersebut bahkan dapat menimbulkan kehilangan naluri kewanitaanya. Tapi jika wanita bisa menjaga kemungkinan di atas bias saja wanita bekerja dalam kondisi darurat (Amir Hamzah Fachruddin, 2004:159).

  3. Mereka yang Membolehkan Secara Mutlaq Seorang Wanita Bekerja.

    Pendapat ini tidak lepas dari analisis gender yang dilakukan terhadap ketentuan ayat tersebut. Demikian misalnya Ashghar Ali Engineer, menurutnya kedua pendapat tersebut sangat dipengaruhi feodalisme. Oleh karena itu pemahan terhadap ayat tersebut setidaknya dapat dilepaskan dari konteks sosial pada saat ayat diturunkan. Struktur sosial pada masa nabi tidaklah benar-benar mewakili kesetaraan laki-laki dan perempuan, hingga domestikasi perempuan dianggap suatu kewajiban dan suatu hal yang wajar.

    Peletakan tanggung jawab pada kaum laki-laki adalah hal yang wajar melihat kelebihan yang ada pada laki-laki, namun ini tidak berarti melarang kaum wanita bekerja sebagai wujud membantu ekonomi keluarga. Hanya hal yang terpenting adalah bagaimana menjaga kehormatan dan akhlaq islami. Namun demikian perbedaan fisik ini sebenarnya tidaklah menunjukan perbedaan derajat dan pendidikan, karena pembagian kerja dalam masyarakat merupakan konstruksi sosial dimasyarakat itu sendiri ( Arif Budiman ,1985:2)

    Memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.

Meskipun ada yang memperbolehkan wanita untuk bekerja di luar rumah, namun hendaknya jenis pekerjaan itu tidak diharamkan dan tidak mengarah pada perbuatan haram, seperti perjalanan sehari semalam tanpa ada mahram atau bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.

Memang tidak ada dalil yang qath’i tentang haramnya wanita ke luar rumah, namun para ulama tetap menempatkan beberapa syarat atas kebolehan wanita ke luar rumah:

  1. Menggunakan pakaian yang menutup aurat
  2. Tidak berkhalwat antara laki-laki dan wanita
  3. Tidak tabarruj dan memamerkan perhiasanya
  4. Menjaga pandangan
  5. Tidak melalaikan kewajiban utamanya dalam rumah tangga
  6. Aman dari fitnah
  7. Mendapat izin dari orang tua dan suaminya

Apabila seorang wanita dapat memelihara hal-hal yang di atas, maka tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, para wanita bisa mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi dirinya, dan ikut serta dalam pengembangan umat Islam ke depan, Insya Allah

Sumber : Endri Yenti, Wanita bekerja menurut islam: Analisis Gender

Beberapa ulama mempunyai pandangan yang berbeda-beda terkait dengan permasalahan bolehnya seorang istri bekerja di luar rumah, ada yang melarangnya secara mutlak, ada pula yang memperbolehkannya dengan beberapa syarat.

Berikut beberapa pendapat Ulama tentang Wanita yang bekerja diluar rumah

1. Boleh Bekerja Diluar Rumah

Abdul Rab Nawwabuddin mengatakan, ada beberapa syarat bagi wanita yang harus dipenuhinya jika ingin bekerja di luar rumah. Antara lain adalah mentup aurat, sebagamana firman Allah menjelaskan:

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-ahzab: 59).

Dalam Surah An-Nur ayat 31 Allah menjelaskan;

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya”. (An-nur: 31).

Pada ayat tersebut di atas, Allah melarang wanita memperlihatkan perhiasan mereka kepada laki-laki asing (bukan suami dan laki-laki yang haram menikah dengan mereka), melainkan bagian-bagian yang dikecualikan.

Menurut Al-Qurtubi, para ulama tidak sependapat tentang bagian-bagian yang dikecualikan itu, sebagaimana yang dijelaskan berikut:

  • Pakaian yang lahir saja, ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Mas’ud. Kemudian Ibn Jubair menambahkannya dengan bagian mereka.

  • Muka, dua telapak tangan dan pakaian lahir. Pendapat ini dikemukakan oleh Said Ibn Jubair, ‘Ata’ dan al-‘Auza’i.

  • Celak mata, gelang, inai, telapak tangan dan cincin. Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-miswar ibn al- Makhzamah.

  • Aman dari fitnah, Abd al-Rab Nawwab al-Din menjelaskan, syarat ini berdasarkan kepada alasan bahwa semua yang ada pada wanita adalah aurat.

  • Mendapat izin dari wali atau suami bagi wanita yang sudah menikah.

Hasan Al-Banna mengatakan jika kebutuhan-kebutuhan primer menuntut wanita bekerja demi keluarga dan anak-anaknya, dia harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah di tentukan Islam. Dengan demikian, dia akan terhindar dari fitnahnya. Syarat utamanya adalah status pekerjaannya hanya untuk memenuhi kebutuhan primer, bukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

2. Tidak Boleh Bekerja Di Luar Rumah

Diantara para ulama yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh bekerja di luar rumah adalah Abdullah bin Ibrahim Jarullah. Beliau mengatakan bahwa wanita tidak di syariatkan untuk bekerja. Beliau mengemukakan pendapat tersebut berdasarkan realitas yang ada pada wanita itu sendiri dan ketetapan yang telah ditentukan oleh Islam.

Diantara realitas tersebut menurut Abdullah bin Ibrahim Jarullah adalah, wanita setiap bulan didatangi oleh menstruasi, untuk itu mereka perlu istirahat. Wanita kadangkala juga mengandung dan melahirkan, yang biasanya mengalami kesulitan dalam hal ini. Setelah melahirkan mereka juga diminta untuk menyususi anaknya sampai dua tahun.

Selanjutnya Abdullah bin Ibrahim Jarullah menjelaskan bahwa ada beberapa alasan dan ketetapan hukum yang membuktikan dimana Islam tidak membenarkan kaum wanita untuk bekerja di luar rumah, diantaranya adalah:

  • Wanita adalah aurat

  • Wanita diwajibkan berhijab dan menutup aurat (seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan)

  • Wanita juga dilarang menampakkan mukanya, jika hal yang demikian dapat menimbulkan fitnah

  • Wanita adalah fitnah atau ujian yang dapat menyebabkan kaum laki-laki tergoda karenanya

Abu A’la al-Maududi dalam bukunya al-Hijab, menerangkan bahwa peran wanita dalam islam hanyalah menjadi seorang ibu rumah tangga. Oleh karena itu, jika suami termasuk orang yang mampu bekerja dan berusaha, kewajiban isteri hanyalah mengatur urusan rumah tangga.

Muhammad al-Sayyed al-Za’balawi mempunyai pendapat yang hampir sama dengan pendapat di atas. Beliau menjelaskan bahwa Islam tidak menuntut wanita bekerja, sebagaimana halnya laki-laki. Lebih jauh dikatakannya, wanita sebagai anak perempuan, seorang saudara perempuan, seorang isteri atau seorang ibu, tidak diwajibkan bekerja untuk menanggung dirinya atau menanggung orang lain, malah keperluan hidup mereka wajib ditanggung oleh bapak, saudara laki-laki atau suami mereka menurut keperluan mereka itu.

Sehubungan dengan pendapat di atas, al-Za’balawi mengatakan bahwa seorang ibu yang berada di rumahnya melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, tidak dapat di kategorikan sebagai pengangguran atau menjadi bebas bagi suaminya. Lebih tegas ia mengatakan bahwa ibu memberikan sumbangan yang sangat berarti kepada keluarga, bangsa dan Negara.

Kaum ibu menurut Al-za’balawi menyumbangkan kepada masyarakat berupa harta yang tidak ternilai harganya dengan apapun jua, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan yang saleh dan salehah. Anak perempuan tersebut diberikan bekal untuk melaksanakan tugas-tugas keibuan di rumah suaminya. Jika mereka tinggal di rumah orang tuanya atau di rumah saudara laki-lakinya mereka juga tidak dapat dikatakan menganggur, karena pada masa itu mereka masih dalam tahap pendewasaan diri, dimana pada saatnya nanti akan digunakannya untuk urusan rumah tangga suaminya.

Dalam mengurus pekerjaan rumah tangga, memikul sendiri tugas rumah tangga, dan bersabar dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. Bagi seorang Muslim, jika niatnya sudah benar dan tetap berada di jalan Allah swt, maka semua pekerjaan yang dilakukannya akan dihitung sebagai amal saleh. Jadi menyiapkan makanan, meyelesaikan tugas rumah tangga, dan membimbing anak-anak merupakan amal saleh yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.

3. Boleh Bekerja Di Luar Rumah Ketika Darurat

Bagaimanapun juga, Al-za’balawi tidak terlalu kaku dalam memahami tentang boleh tidaknya wanita bekerja di luar rumah. Setidak-tidaknya dapat dikutip pendapatnya yang mengatakan bahwa Islam tidak melarang wanita dalam bekerja jika keadaan Darurat. Umpamanya ketika suami sakit atau hilang ingatan atau ketika suami dipecat dari pekerjaannya. Demikian juga halnya setelah suami meninggal dunia tidak meninggalkan harta yang memadai untuk anggota keluarganya sampai mereka dapat berdikari atau sampai ada diantara mereka yang dapat berdikari untuk dapat menggantikan posisi orang yang menanggung keperluan rumah tangga. Dalam situasi seperti ini, wanita dibenarkan bekerja di luar rumah dengan syarat mereka hendaklah mematuhi batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Islam. Begitupun dia harus berusaha untuk tidak bercampur dengan pekerjaan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Dalam hal ini, Al-za’balawi memberikan contoh tentang pergaulan yang baik yang dilakukan oleh dua orang anak perempuan Nabi Syu’aib ketika mereka menggembalakan kambing kepunyaan bapaknya yang sudah tua. Waktu mereka ingin mengambil air untuk minum kambing-kambing tersebut, mereka menjumpai banyak orang laki-laki yang bertujuan sama dengan mereka berebutan mengambil air.

Anak-anak Nabi Syu’aib ini tidak serta merta masuk kedalam kelompok orang yang sedang mengambil air tersebut, melainkan mereka menunggu sampai semua orang laki-laki tersebut pergi. Ketika itulah mereka berjumpa dengan Nabi Musa yang kemudian membantu mereka mengambilkan air untuk kambing-kambing mereka. Mereka juga menyebutkan alasan mereka keluar untuk bekerja, yaitu karena orang tuanya sudah tua.

Hal ini dikisahkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?” kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.

Muhammad Ali al-Barr juga mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat Al-za’balawi mengenai pekerjaan wanita, dimana beliau membuat kesimpulan bahwa Islam meletakkan tugas-tugas kaum wanita pada urutan pertama dan pada tempat yang paling tinggi, yang tidak dapat di tandingi oleh tugas dan jabatan apapun. Lebih lanjut dikatakannya, Islam cuma membenarkan kaum wanita keluar dari rumahnya ketika keadaan darurat, hal mana ia terpaksa untuk keluar, seperti menuntut ilmu, beribadah dan membantu pejuang di jalan Allah swt. Walau bagaimanapun mereka harus menjaga batas-batas dan adab-adab yang telah ditentukan oleh Islam.

Wanita Muslimah yang senantiasa menjalankan ajaran Agamanya akan selalu mentaati suaminya, tanpa sedikitpun membantahnya, berbakti kepadanya, dan berusaha untuk mencari keridhoannyan serta memberikan kebahagiaan pada dirinya, meskipun dia hidup dalam kemiskinan dan kesulitan. Tidak bermalas-malas mengurus dan menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, serta mengingat bahwa sejumlah wanita terhormat dalam sejarah Islam menjadi teladan dalam hal kesabaran, kebajikan, kedewasaan, dan yang benar-benar mengabdi bagi suami dan rumah tangganya, meskipun mereka hidup dalam kemiskinan dan kesusahan.

Referensi :

  • M. Sayyid Ahmad al-Musayyar, Islam bicara soal seks, percintaan dan rumah Tangga, ( Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008).
  • M. Aliy As’ad, Fathul mu’in, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1976).
  • Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999).
  • Sayid Sabiq, Islam Dipandang dari Segi Rohani, Moral, Sosial, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994)