Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Seorang Pendidik?

Guru adalah seseorang yang memberikan pendidikan atau ilmu dalam berbagai bidang dan membimbing anak didik ke arah pencapaian kedewasaan serta membentuk kepribadian yang berakhlak.

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap seorang guru?

Menurut Ridwan Abdullah Sani & Muhammad Kadri (2016), pendidik dalam konsep Islam adalah seorang yang dapat mengarahkan manusia ke jalan kebenaran yang sesuai dengan Al-Qu’an dan sunnah Rasulullah SAW. Seorang pendidik dalam konteks agama Islam seharusnya memiliki sifat-sifat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Seorang pendidik atau guru dituntut untuk mampu menambah ilmu pengetahuan dan terus berusaha untuk menjadi orang yang lebih berkualitas, baik akhlak maupun pengetahuannya.

Kedudukan sebagai seorang pendidik sangat istimewa di dalam ajaran Islam, karena pendidik adalah sosok yang memberikan ilmu dan membina akhlak peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidik dalam kontek Islam juga harus menyadari bahwa seorang muslim yang memiliki ilmu pengetahuan seharusnya disampaikan kepada orang lain. Islam sebagai agama sosial mewajibkan umatnya untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Firman Allah:

image

image

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Definisi ini cakupan maknanya sangat luas, mengajar apa saja bisa disebut guru, sehingga ada sebutan guru ngaji, guru silat, guru olah raga, dan guru lainnya.

Dalam dunia pendidikan, sebutan guru dikenal sebagai pendidik dalam jabatan. Pendidik jabatan yang dikenal banyak orang adalah guru, sehingga banyak pihak mengidentikkan pendidik dengan guru. Sebenarnya banyak spesialisasi pendidik baik dalam arti teoritisi maupun praktisi yang pendidik tapi bukan guru.

Dalam konteks pendidikan Islam, guru adalah semua pihak yang berusaha memperbaiki orang lain secara Islami. Mereka ini bisa orang tua (ayah-ibu), paman, kakak, tetangga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat luas. Khusus orang tua, Islam memberikan perhatian penting terhadap keduanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, serta sebagai peletak fondasi yang kokoh bagi pendidikan anak-anaknya di masa depan.

Banyak dalil naqli yang menunjukkan hal ini, misalnya sabda Rasulullah SAW :

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل مولود
يولد على الفطرة. فأبواه يهودانه أو ينصرانه أويمجسانه… رواه البخاري

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya yang menjadikan mereka beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Bukhari).”

Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang biasa dipakai sebagai sebutan bagi para guru, yaitu ustâdz, mu’allim, mursyîd, murabbî, mudarris, dan mu-addib. Istilah-istilah ini, dalam penggunaannya, memiliki makna tertentu. Muhaimin berupaya mengelaborasi istilah-istilah atau predikat tersebut sebagaimana berikut :

  • Ustadz
    Orang yang berkomitmen terhadap profesionalisme, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu, proses, dan hasil kerja, serta sikap continous improvement

  • Mu’allim
    Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliah.

  • Murabbî
    Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

  • Mursyîd
    Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.

  • Mudarris
    Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan
    sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.

  • Mu-addib
    Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.

Di samping istilah-istilah atau predikat di atas, dalam tradisi Islam di Indonesia ditemukan pula beberapa predikat bagi guru yang biasanya berbeda dalam setiap daerah. Misalnya, Kyai di pulau Jawa dan Madura, Ajengan di Jawa Barat, Tuan Guru di Lombok, dan Teuku di Aceh.

Kedudukan Guru


Kedudukan guru dalam Islam sangat istimewa. Banyak dalil naqli yang menunjukkan hal tersebut. Misalnya Hadits yang diriwayatkan Abi Umamah berikut :

عن أبي أمامة الباهلي قال … قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله
وملائكته وأهل السموات والأرضين حتى النملة في حجرها وحتى الحوت
ليصلون على معلم الناس الخير. رواه الترمذي.

“Sesungguhnya Allah, para malaikat, dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bersalawat kepada mu’allim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (HR. Tirmidzi).”

Tingginya kedudukan guru dalam Islam, menurut Ahmad Tafsir, tak bisa dilepaskan dari pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 32:

قالوا سبحانك لا علم لنا إلا ما علمتنا.إنك أنت العليم الحكيم. ألبقرة

“Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana.”

Karena ilmu berasal dari Allah, maka guru pertama adalah Allah. Pandangan demikian melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru.

Dengan demikian, kedudukan guru amat tinggi dalam Islam. Alasan lainmengapa guru mendapat kedudukan mulia dalam Islam adalah terkait dengan kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim. Proses menuntut ilmu berlangsung di bawah bimbingan guru. Tanpa guru, sulit rasanya peserta didik bisa memperoleh ilmu secara baik dan benar. Itulah sebabnya, kedudukan guru sangat istimewa dalam Islam. Bahkan dalam
tradisi tasawuf/tarekat, dikenal ungkapan, “siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan”.

Al-Ghazali menggambarkan kedudukan guru agama sebagai berikut: ”Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah manusia, bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk menyempurnakan, memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar dekat kepada Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu
merupakan ibadah dan merupakan pemenuhan tugas dengan khalifah Allah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan Allah yang paling utama.

Sebab Allah telah membukakan untuk hati seorang alim suatu pengetahuan, sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi benda-benda yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk memberikan kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang hamba yang menjadi perantara antara
Tuhan dengan makhluk-Nya dan mendekatkan mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan abadi.”

Lebih lanjut al-Gazâlî mengatakan

“… orang tua penyebab wujud kekinian dan kehidupan yang fana, sedang guru penentu kehidupan yang abadi.”

Dengan ungkapan senada, Ikhwân al-Ṣafâ berkata :

“Guru telah mengisi jiwamu dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya ke jalan keselamatan dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan kedua orang tuamu yang menyebabkan tubuhmu terlahir ke dunia, mengasuhmu dan mengajarimu mencari nafkah hidup di dunia fana ini”.

Kedudukan guru yang istimewa, ternyata berimbang dengan tugas dan tanggung jawabnya yang tidak ringan. Seorang guru agama bukan hanya sekedar sebagai tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik. Dengan kedudukan sebagai pendidik, guru berkewajiban untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu mengembangkan
seluruh potensi peserta didik agar menjadi muslim sempurna.

Untuk mencapai tujuan ini, guru harus berupaya melalui beragam cara seperti;

  1. Mengajar
  2. Melatih
  3. Membiasakan
  4. Memberi contoh, dorongan, pujian, hukuman, dan do’a

Cara-cara tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan konsisten. Suatu tugas yang sangat berat.