Bagaimana pengaruh Nomophobia pada mahasiswa?

Nomophobia pada Mahasiswa

Bagaimana Nomophobia pada Mahasiswa ?

Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa mahasiswa adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi, mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi. Karakteristik mahasiswa secara umum yaitu stabilitas dalam kepribadian yang mulai meningkat, karena berkurangnya gejolak-gejolak yang ada didalam perasaan (Poerwadarminta, 2005).

Sedangkan definisi mahasiswa yang disampaikan oleh Kandell, mahasiswa adalah kelompok yang terlihat lebih rentan terhadap ketergantungan pada internet dan smartphone dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Karena mahasiswa berada pada fase emerging adulthood yaitu masa transisi dari remaja akhir menuju ke dewasa muda dan sedang mengalami dinamika psikologis (Kandell, 1998). Pada fase ini, mahasiswa sedang berproses membentuk identitas diri, berusaha hidup mandiri dengan melepaskan diri dari dominasi ataupun pengaruh orang tua. Mencari makna hidup dan hubungan interpersonal yang intim secara emosional. Emerging adulthood juga memiliki karakter yang kurang stabil seperti hubungan interpersonal, pengelolaan kebutuhan hidup, pengembangan emosional dan kognitif.

Pengguna smartphone memang tidak ada batasan usia, akan tetapi pengguna smartphone rentang usia 18-29 tahun merupakan pengguna smartphone yang paling banyak mengalami Nomophobia dibandingkan dengan kisaran usia lainnya (Noviadhista, 2015). Pada kolom The Youth koran Jawa Pos Radar Malang (Nazir, 2015), melakukan survey tentang Nomophobia terhadap remaja kota Malang. Menemukan bahwa sebanyak 67 persen remaja selalu mengecek dan memeriksa smartphone mereka setiap 5 menit sekali, dan hanya 5 persen yang menyatakan mereka hanya memeriksa diatas satu jam sekali. Hal ini merupakan bukti bahwa sebagian besar remaja di Kota Malang dapat dinyatakan teridentifikasi fenomena Nomophobia . Padahal pada usia remaja tersebut merupakan awal dari perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosi yang menjadikan remaja melangkah menuju kematangan orang dewasa (Santrock, 2012).

Berdasarkan riset yang ditemukan bahwa ada sekitar 58% pria dan 42% wanita mengalami kecemasan bila mereka tidak membawa HP atau kehabisan baterai, Disimpulkanlah bahwa mereka telah menderita Nomophobia . Kemudian berdasarkan riset Securenvoy disebutkan bahwa pengidap Nomophobia meningkat secara signifikan di tahun 2008, dari 1.000 koresponden dua pertiganya merasa takut jika kehilangan atau tidak bermain dengan ponselnya, serta ditemukan pula pengidap Nomophobia terbanyak yaitu rentang di usia 18-24 tahun (77%) dan disusul oleh responden berusia 24-34 tahun (68%), (Pinchot, dalam Telecommunication Industry, 2013). Dan pengidap Nomophobia usia 18-24 tahun adalah mahasiswa (Park & Lee, 2014).

Penelitian Pew Research Center Mobile Technology LI (Lee, 2014), pada Januari 2014, 90% dari populasi orang dewasa Amerika memiliki beberapa jenis ponsel dan 58% dari orang dewasa Amerika memiliki smarthpone. Di antara orang dewasa yang memiliki smarthpone, 83% berusia 18-29 tahun, 74% berusia 30-49 tahun, 49% berusia 50-64 tahun, dan 19% berusia 65 tahun atau lebih. Dengan demikian, smarthpone terutama populer di kalangan orang dewasa muda.

Popularitas smarthpone di kalangan mahasiswa adalah ke berbagai fitur dan fungsi yang mereka berikan. Smarthpone memungkinkan untuk melakukan berbagai tugas sehari-hari dalam satu perangkat, termasuk, namun tidak terbatas pada, menelepon dan SMS orang, memeriksa dan mengirim pesan email, penjadwalan janji, mengakses internet, belanja online, sosial media, mencari informasi di internet, game dan hiburan (Park & Lee, 2014).

Penelitian Mediasyifa (dalam Noviadhista, 2015) disebutkan beberapa pengaruh buruk smartphone atau gadget terhadap mahasiswa, yaitu terhadap kesehatan, pendidikan atau prestasi serta terhadap keluarga dan masyarakat. Seorang anak yang menggunakan smartphone atau gadget dengan intensitas waktu yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan pada mata, memberikan beban pada tulang leher dan tulang punggung, menyebabkan insomnia dan menyebabkan nomophopia. Pada perkembangan kepribadiannya, anak merasa memiliki dunianya sendiri dan lebih agresif terhadap keluarga dan orang disekitarnya.

Studi terbaru dari tim media yayasan kesehatan di Norwegia menyebutkan, rata-rata remaja menggunakan perangkat elektronik sebelum mereka tidur. Survei itu dilakukan terhadap 9.846 remaja berusia 16-21 tahun selama dua tahun terakhir. Gelombang cahaya panjang pendek yang dihasilkan layar gadget ternyata mampu mengganggu rasa mengantuk dan tidur (Flew, 2012). Indonesia menduduki posisi kelima besar dunia pengguna gadget terbanyak. Diprediksi memiliki rata-rata pertumbuhan hampir 70% tiap tahunnya sejak 2010 sampai 2013 untuk peningkatan pasar gadget. Dari setiap 100 orang pengguna gadget, 70 orang diantaranya ialah anak remaja yang berperan aktif dalam penggunaan gadget ( Kinanti, 2013).

Kecenderungan tersebut menjadikan pengguna smartphone tidak bisa lepas dari perangkat dan mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Townsend (2010) menyebutkan bahwa hp atau smartphone mempengaruhi pola perilaku seseorang dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari. Orang tidak lagi merasa tabu jika harus disibukkan dengan smartphone -nya ketika berada di pemakaman, atau saat sedang makan malam. Pada akhirnya kemunculan jargon mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat menjadi tidak terelakan.

Orang lebih disibukkan dengan gadget atau smartphone nya dibandingkan harus berinteraksi dengan lawan bicara atau membangun hubungan dengan lingkungan.

Padahal salah satu bentuk indikator suatu komunikasi dikatakan efektif adalah kesamaan pemahaman antara pengirim dengan penerima pesan (DeVito, 2015). Jika salah satu individu menggunakan smartphone saat terlibat perbincangan bukan tidak mungkin bahwa mereka tidak dapat menyerap informasi secara maksimal dan sebagai akibatnya lawan bicara mereka harus mengulang pernyataan yang sama.

Ketidakmampuan seseorang dalam menerima informasi secara utuh disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adanya distorsi yang mengganggu pengoptimalan pesan di proses secara sempurna. Ketidakmampuan seseorang dalam menerima informasi secara utuh disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adanya distorsi yang mengganggu pengoptimalan pesan di proses secara sempurna. Robert Kaunt (dalam Sparks, 2013) menyatakan bahwa indvidu yang mengunakan hp nya secara berlebihan akan mengalami short attention span atau gangguan pemusatan perhatian. Pada level ini mereka tidak bisa memahami informasi yang disampaikan secara utuh karena teknologi seperti smartphone menyebabkan distraction atau gangguan. Efek jangka panjang dari penggunaan smartphone secara berlebihan adalah mereka akan mengalami gangguan kesehatan.

Lebih lanjut lagi, Kaunt menjelaskan bahwa semakin sering anggota keluarga menggunakan internet, maka semakin besar pula terisolasinya diri mereka. Selain terisolasi dari lingkungan, disebutkan pula sejumlah efek negatif yang ditimbulkan seperti menyajikan hal privasi secara berlebihan di sosial media, adanya gangguan kesehatan seperti tidak bisa lepas dari handphone atau yang dikenal dengan Nomophobia (Sparks, 2013). Sebagai faksi yang menikmati perkembangan smartphone , generasi muda merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan smartphone dan internet. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Markplus Insight Indonesia, pengguna smartphone terbanyak adalah remaja kelompok usia 16 sampai 21 tahun dengan persentase 39% (Yulianti dalam Hanika, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Young (1998) menggunakan kriteria diagnosis judi patologis pathological gambling) dari DSM IV ( Diagnostics and Statistical Manual of Mental Disorder ) guna membedakan pengguna internet yang mengalami ketergantungan dan ketidaktergantungan. Penggunaaan judi patologis sebagai modelnya, kecanduan internet dapat didefinisikan sebagai gangguan kontrol impuls yang tidak melibatkan suatu zat yang memabukkan. Young (1998) menemukan bahwa pengguna internet yang kecanduan mengalami gangguan pada kehidupan akademis, relasi dengan keluarga, teman, serta pekerjaan.

Dampak dari Nomophobia tentu saja cukup banyak bagi kehidupan sosial manusia dan juga kesehatan. Dengan penggunaan smarthpone yang cukup tinggi mengakibatkan sebagian orang lebih fokus pada perangkat bergeraknya dan mengabaikan orang lain disekitarnya ketika berkumpul. Hal ini berdampak pada gejala stress, kurang fokus, sering panik dan juga marah tanpa sebab yang jelas, dan anti sosial (Khalisa, 2015). Dampak negatif gejala Nomophobia lainnya adalah bagi kesehatan. Yaitu gelombang elektromagnet dari luar atau dari telepon selular, bertabrakan dengan gelombang elektromagnet tubuh kita, sehingga bisa menyebabkan pusing atau nyeri kepala, kelelahan ( fatigue ), gangguan sistem imun, iritasi mata dan meningkatkan risiko penyakit-penyakit lainnya. Seperti risiko terhadap alzheimer, tumor otak, kanker, sleeping disorder (gangguan susah tidur), permasalahan orthopedik, bahkan bisa mematikan sperma. Permasalahan mata yang umumnya muncul akibat terlalu sering menatap layar dengan huruf-huruf yang super mini (Pavithra, 2015)

Bragazzi dan Puente (2014), kecanduan smartphone merupakan perasaan tidak nyaman, perasaan cemas, perasaan gelisah, dan perasaan sedih yang disebabkan karena terputusnya koneksi dengan smartphone . Sedangkan menurut Park & Lee (2014), menyatakan bahwa kecanduan smartphone diumpamakan seperti keracunan, seperti kehilangan daya kontrol, kurangnya dari sikap toleransi, adanya gejala dari penarikan diri dengan lingkungan sosialnya, menjadi lebih obsesif, menjadi sangat bergantung pada smartphone -nya, dan adanya permasalahan secara interpersonal.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa Nomophobia adalah keadaan dimana seseorang merasa tidak nyaman, cemas, gelisah, kurangnya kontrol terhadap diri sendiri ketika tidak memegang smartphone . Hal tersebut ditandai dengan terganggunya rutinitas sehari-hari, perasaan menarik diri dari keramaian, lebih cenderung untuk melakukan hubungan interpersonal melalui dunia maya, menggunakan smartphone secara berlebihan, dan berkurangnya sikap toleransi terhadap lingkungannya. Dan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah diuraikan di atas bahwa pengidap Nomophobia terbanyak adalah mahasiswa. Karena mahasiswa dianggap sebagai awal pengadopsi smarthpone (Park & Lee, 2014).