Bagaimana naskah pertama al-Qur’an, bernama “umm”, dikumpulkan ?

Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah secara bertahap merupakan pemecah persoalan-persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan yang peuh bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

Bagaimana naskah pertama al-Qur’an, bernama “umm”, dikumpulkan ?

Ada tiga pendapat yang menyatakan tentang bagaimana al-Qur’an dikumpulkan:

  • Al-Qur’an dikumpulkan semenjak pada zaman Rasulullah Saw dan dengan pengawasan secara langsung dari beliau meski bukan beliau sendiri yang menulis dan mengumpulkannya.

  • Al-Qur’an yang ada pada zaman sekarang ini dikumpulkan oleh Ali bin Abi Thalib dan pengumpulannya beliau lakukan selepas Rasulullah Saw wafat. Ali bin Abi Thalib melakukan hal ini ketika berdiam diri di rumah.

  • Al-Qur’an dikumpulkan setelah wafatnya Rasulullah Saw oleh sebagian sahabat Nabi Saw, selain Imam Ali bin Abi Thalib.

Para ahli sejarah berbeda pendapat terkait dengan bilangan mushaf-mushaf yang disiapkan (naskah-naskah yang disatukan sesuai dengan perintah Usman melalui komite penyatuan) dan dikirim ke beberapa wilayah Islam. Ibnu Abi Daud memandangnya terdiri dari enam naskah yang masing-masing dari enam naskah tersebut dikirim ke salah satu dari enam sentral penting Islam. Keenam sentral kota Islam ini adalah Mekkah, Kufah, Basrah, Syam, Bahrain, dan Yaman. Abi Daud mengimbuhkan bahwa di samping enam naskah ini, satu naskah juga disimpan di Madinah yang dinamai sebagai “um” atau “imam".

Dengan demikian, naskah pertama al-Qur’an bernama um sesuai dengan pendapat para periset yang dikumpulkan pada masa Usman dan disimpan di Madinah.

Mayoritas ulama Syiah menerima pendapat yang pertama, khususnya ulama-ulama kiwari yang meyakini bahwa al-Qur’an dikodifikasi pada masa Rasulullah Saw dan dilakukan di bawah pengawasan beliau.

Sebagian lainnya menerima pandangan kedua dan memandang bahwa Ali bin Abi Thalib yang mengkodifikasi al-Qur’an ini.

Namun sebagian besar Ahli Sunah memilih pendapat ketiga. Kaum orientalis juga meyakini kebenaran akan pendapat belakangan ini, bahkan mereka menambahkan bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh Ali bin Abi Thalib tidak mendapat perhatian dari para sahabat sendiri.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa sesuai dengan pendapat yang pertama dan kedua, pengumpulan al-Qur’an disandarkan kepada Allah Swt. Demikian pula dengan keberadaan surat-surat beserta urutannya yang juga merupakan Wahyu Allah Swt. Karena Rasulullah, sesuai dengan penjelasan al-Qur’an bahwa,

“Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. al-Najm [53]: 2-3).

Segala sesuatu yang disabdakan oleh Nabi Saw, khususnya dalam masalah keagamaan, mengikuti petunjuk wahyu, demikian pula para Imam, selepas wafatnya nabi, adalah penerus jalan risalah dan telah diangkat oleh Allah Swt dengan dibekali ilmu laduni.

Kelompok yang menerima pendapat ketiga, bukan saja tidak akan dapat menetapkan bahwa kedua hal ini bersumber dari Tuhan dan memiliki corak Ilahiah, tentang kemunculan surah-surah dan urutannya yang ada di al-Qur’an, namun juga pada hakikatnya mereka mengingkari bahwa kedua hal ini bersumber dari Tuhan. Mereka berpandangan bahwa selera pribadi para sahabat turut andil dalam menentukan urusan ini. Karena pasca wafatnya Rasulullah Saw, tanpa melibatkan Ali bin Abi Thalib, mereka berkumpul dan mengumpulkan al-Qur’an dari kondisi yang berserakan dan mengumpulkannya sesuai dengan bentuk yang ada sekarang ini.

Naskah Pertama al-Qur’an

Sesuai dengan pendapat ketiga, pasca wafatnya Rasulullah Saw dan ditolaknya mushaf Ali, sebagian sahabat mengumpulkan al-Qur’an. Sahabat tersebut antara lain adalah Abdullah bin Mas’ud, Miqdad bin Aswad dan Abu Musa Asy’ari.

Sahabat berdasarkan pengetahuan dan kelayakan mereka mengumpulkan dan menyusun ayat-ayat, surah-surah dan menyimpannya masing-masing pada mushaf khususnya. Sebagian yang tidak dapat melakukan hal ini meminta orang lain untuk disalinkan atau ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an dikumpulkan pada mushaf mereka. Dengan demikian dan dengan melebarnya wilayah pemerintahan Islam maka jumlah mushaf juga semakin bertambah.

Para pengumpul mushaf-mushaf juga berjumlah banyak dan mereka tidak memiliki hubungan satu sama lain. Dari sudut pandang kelayakan, potensi dan kemampuan untuk melakukan hal ini tidak sama pada setiap orang. Karena itu, naskah berbeda masing-masing dari sisi metode, urutan, bacaan dan lain sebagainya. Perbedaan pada mushaf-mushaf dan bacaan-bacaan, memunculkan perbedaan di antara masyarakat. Ruang perbedaan sedemikian luas sehingga sampai pada sentral khilafah (Madinah), para guru al-Qur’an mengajarkan murid-murid mereka dengan cara yang berbeda-beda.

Perbedaan-perbedaan ini, telah membuat para sahabat memohon kepada Usman untuk menyatukan mushaf-mushaf yang ada. Pertama-tama Usman menugaskan sekelompok orang yang terdiri dari empat orang, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Ash, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Harits. Kemudian karena adanya penentangan sebagian sahabat maka delapan orang lainnya ditambahkan pada kelompok yang dibentuk Usman.

Pada masa ini, pendikteaan ayat-ayat dipimpin oleh sahabat besar Nabi Saw, Ubay bin Ka’ab. Kelompok ini mengumpulkan mushaf-mushaf dari pelbagai wilayah dan daerah Islam yang luas dan menyiapkan al-Qur’an dari wilayah-wilayah tersebut dan mushaf lainnya dibakar atau dibenamkan pada air panas sesuai dengan instruksi Usman.

Ali bin Abi Thalib menyatakan persetujuannya dengan program seperti ini. Ibnu Abi Daud bin Ghafla meriwayatkan bahwa Ali berkata,

“Demi Allah! Usman tidak melakukan apa pun terkait dengan mushaf (al-Qur’an) kecuali bermusyarawah denganku.”

Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata,

“Sekiranya urusan mushaf-mushaf juga diserahkan kepadaku maka Aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukan Usman.”

Komite penyatuan mushaf-mushaf dari sisi Usman melalui tiga tingkatan dalam menjalankan tugasnya:

  1. Mengumpulkan sumber-sumber sahih untuk menyiapkan mushaf tunggal dan penyebarannya di kalangan kaum Muslimin.

  2. Membandingkan mushaf-mushaf yang telah siap dengan yang lain dengan tujuan supaya lebih meyakinkan atas benar dan tidaknya mushaf-mushaf tersebut.

  3. Mengumpulkan mushaf-mushaf atau lembaran-lembaran yang tercatat al-Quran di dalamnya dan melenyapkan lembaran-lembaran lainnya di seluruh negeri-negeri Islam.

Mushaf Madinah adalah mushaf yang dijadikan sebagai referensi secara umum. Apabila terdapat perbedaan di antar mushaf-mushaf yang dikirim ke daerah-daerah maka untuk menghilangkan perbedaan dan membenarkan mushaf maka yang menjadi ukuran standar adalah mushaf Medinah dan mushaf-mushaf yang lainnya dikoreksi sesuai dengan mushaf Madinah.