Bagaimana model atau pola agroforestri yang ada saat ini?

Dari bermacam-macam pola wanatani yang tidak terhitung jumlahnya di seluruh kepulauan Indonesia, menurut peneliti (H. de Foresta dan G. Michon, 2000), dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu sistem wanatani sederhana dan sistem wanatani kompleks. Kedua tipe ini berasal dari dua konsepsi yang berbeda dan membutuhkan pendekatan yang berbeda pula.

###Agroforestri Sederhana

Bentuk wanatani sederhana yang paling banyak dibahas adalah tumpangsari yang diwajibkan di areal hutan jati dan pinus di Jawa. Sistem ini dikembangkan oleh masyarakat bersama berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam program perhutanan sosial Perum Perhutani. Sistem-sistem wanatani sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian bersifat komersil seperti kopi, dahulu diselingi dengan jenis pohon seperti dadap (Erythrina spp.), lamtoro (Leucaena spp.) dan albisia/sengon (Albizzia spp., Paraserianthes falcataria), yang menyediakan naungan serta pupuk organik bagi kopi dan kayu bakar serta pakan ternak. Pemaduan kelapa dengan cokelat juga semakin banyak dilakukan, sementara usaha diversifikasi karet dalam bentuk perpaduan karet dan rotan saat ini masih diujicobakan.

Wanatani sederhana sering dijumpai pada pertanian tradisional. Contohnya adalah tumpangsari yang merupakan gabungan tanaman pangan dan kacang turis (Cajanus cajan) atau pohon turi (Sesbania spp.). Masih banyak contoh-sontoh lain di Indonesia di mana petani membiarkan semak dan pepohonan tumbuh di lahannya selama periode lahan tidur. Setelah bebrapa musim, ketika tanah mulai subur kembali, pohon-pohon kayu ini akan mematikannya untuk kemudian ditanami tanaman pertanian.

###Agroforestri Kompleks

Sistem wanatani kompleks atau singkatnya agroforest, adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam. Sistem tersebut bisa ditemukan di sekitar pemukiman penduduk. Sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk melindungi dan mebudidayakan tumbuhan hutan. Kebun- kebun pekarangan memadukan berbagai sumber daya tanaman dari hutan yang paling bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran, tanaman obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib.

Contoh-contohnya adalah beberapa pohon digunakan petani sebagai pakan ternak, terutama saat musim kemarau. Di mana tumbuhan merambat seperti sirih, lada atau vanili tumbuh pada pohon lainnya di kebun-kebun pekarangan.

Keuntungan sosial-ekonomis dan ekologis dari kebun-kebun tradisional tersebut harus mendapat pengakuan. Sebagai contoh, dapat dilihat peranan kebun dalam perbaikan gizi, peningkatan pendapatan, cadangan sumber daya saat ekonomi sulit, perlindungan tanah, pelestarian kultivar, dan seterusnya.
Kemampuan kebun-kebun untuk mengendalikan sifat negatif urbanisasi dan menghadapi transformasi struktural, membuktikan bahwa petani menganggapnya penting. Hal ini sekaligus pula menunjukkan kemampuan sistem wanatani tersebut untuk menyesuaikan diri dengan modernisasi yang terjadi di pedesaan.

Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan kompleksitas agoroforestri dibandingkan budidaya tunggal (monoculture; baik di sektor kehutanan ataupun di sektor pertanian). Akan tetapi pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan.

###Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya


Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

####1. Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems)

Agrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu).

Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).

Seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan tanaman berkayu (misal dalam pola pohon peneduh gamal/Gliricidia sepium pada perkebunan kakao/Theobroma cacao). Sistem ini dapat juga dikategorikan sebagai agrisilvikultur. Pohon gamal (jenis kehutanan) secara sengaja ditanam untuk mendukung (pelindung dan konservasi tanah) tanaman utama kakao (jenis perkebunan/pertanian). Pohon peneduh juga dapat memiliki nilai ekonomi tambahan. Interaksi yang terjadi (dalam hal ini bersifat ketergantungan) dapat dilihat dari produksi kakao yang menurun tanpa kehadiran pohon gamal.

####2. Silvopastura (Silvopastural systems)

Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura.

Beberapa contoh silvopastura (lihat Nair, 1989), antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals and wood product.

Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and carry’ pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut ‘protein bank’). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi (jasa dan produksi) bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama.

####3. A_grosilvopastura (Agrosilvopastural systems)_

Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama.

Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people).

Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam dan satwa liar (lihat Klasifikasi agroforestri berdasarkan Masa Perkembangannya). Interaksi komponen agroforetri secara alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan untuk berbagai jenis burung), dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.

Terdapat beberapa contoh Agrosilvopastura di Indonesia, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa. Contoh praktek agrosilvopastura yang luas diketahui adalah berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan (forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di Kalimantan, dan berbagai bentuk kebun pekarangan serta sistem Talun di Jawa.

###Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan


Meskipun kita telah mengenal agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan, tetapi seringkali digunakan istilah teknis yang berbeda atau lebih spesifik, seperti sistem, sub-sistem, praktek, dan teknologi (Nair, 1993).

  • Sistem agroforestri
    Sistem agroforestri dapat didasarkan pada komposisi biologis serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-ekonominya. Penggunaan istilah sistem sebenarnya bersifat umum. Ditinjau dari komposisi biologis, contoh sistem agroforestri adalah agrisilvikultur, silvopastura, agrosilvopastura.

  • Sub-sistem agroforestri
    Sub-sistem agroforestri menunjukkan hirarki yang lebih rendah daripada sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian dari sistem itu sendiri. Meskipun demikian, sub-sistem agroforestri memiliki ciri-ciri yang lebih rinci dan lingkup yang lebih mendalam. Sebagai contoh sistem agrisilvikultur masih terdiri dari beberapa sub-sistem agroforestri yang berbeda seperti tanaman lorong (alley cropping), tumpangsari (taungya system) dan lain-lain. Penggunaan istilah-istilah dalam sub-sistem agroforestri yang dimaksud, tergantung bukan saja dari tipe maupun pengaturan komponen, akan tetapi juga produknya, misalnya kayu bakar, bahan pangan dll.

  • Praktek agroforestri
    Berbeda dengan sistem dan sub-sistem, maka penggunaan istilah ‘praktek’ dalam agroforestri lebih menjurus kepada operasional pengelolaan lahan yang khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada kepentingan/kebutuhan ataupun juga pengalaman dari petani lokal atau unit manajemen yang lain, yang di dalamnya terdapat komponen-komponen agroforestri.
    Praktek agroforestri yang berkembang pada kawasan yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai sistem agroforestri. Perlu diingat, praktek agroforestri dapat berlangsung dalam suasana sistem yang bukan agroforestri, misalnya penanaman pohon-pohon turi di persawahan di Jawa adalah praktek agroforestri pada sistem produksi pertanian.

  • Teknologi agroforestri
    Penggunaan istilah ‘teknologi agroforestri’ adalah inovasi atau penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem- sistem atau praktek-praktek agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, praktek agroforestri seringkali juga dikatakan sebagai teknologi agroforestri. Sebagai contoh, pengenalan mikoriza atau teknologi penanganan gulma dalam upaya mengkonservasikan lahan alang-alang (Imperata grassland) ke arah sistem agroforestri (agrisilvikultur; sub-sistem tumpangsari) yang produktif (Murniati, 2002). Uji coba pola manajemen pola tanam dan tahun tanam baru dalam sistem tumpangsari pada kebun jati di beberapa tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui Manajemen Rejim (MR; dikembangkan oleh Prof. Hasanu Simon dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) dapat pula dipertimbangkan sebagai bagian dari teknologi baru agroforestri).

###Klasifikasi berdasarkan masa perkembangannya


Ditinjau dari masa perkembangannya, terdapat dua kelompok besar agroforestri, yaitu:

####1. Agroforestri tradisional/klasik (traditional/classical agroforestry)
Dalam lingkungan masyarakat lokal dijumpai berbagai bentuk praktek pengkombinasian tanaman berkayu (pohon, perdu, palem-paleman, bambu- bambuan, dll.) dengan tanaman pertanian dan atau peternakan. Praktek tersebut dijumpai dalam satu unit manajemen lahan hingga pada suatu bentang alam (landscape) dari agroekosistem pedesaan.

Thaman (1988) mendefinisikan agroforestri tradisional atau agroforestri klasik sebagai ‘setiap sistem pertanian, di mana pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan/tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial-ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem)’. Ada juga yang menyebut agroforestri tradisional/klasik sebagai agroforestri ortodoks (orthodox agroforestry), karena perbedaan karakter dengan yang diperkenalkan secara modern.

Agroforestri Tradisional/Klasik (Thaman, 1989) dan Contoh- contohnya di Indonesia :

  • Tegakan hutan alam tropis lembab, hutan payau atau hutan pantai yang membatasi atau berada dalam mosaik kebun atau lahan pertanian yang diberakan (dapat dijumpai di hampir seluruh pulau di Indonesia);
  • Hutan-hutan sekunder yang bersatu dengan usaha-usaha pertanian. Sebagai contoh, sistem perladangan berpindah atau pertanian gilir-balik tradisional
  • Tegakan permanen (umumnya dikeramatkan) pohon yang memiliki manfaat pada kebun-kebun di sekitar desa (contoh praktek-praktek kebun hutan atau forest-gardens
  • a.l. Repong Damar di Lampung, Parak di Sumatera Barat, Tembawang di Kalimantan Barat, Lembo-Ladang di Kalimantan Timur; Tenganan di Bali – lebih detil lihat Michon et al., 1986; Sardjono, 1990; Zakaria, 1994; Suharjito, et al., 2000; De Forestra, et al. 2000);
  • Penanaman pepohonan pada kebun pekarangan di pusat- pusat pemukiman atau sekitar rumah tinggal. Sebagai contoh berbagai bentuk home- dan village-forest- gardens, yang juga dapat dijumpai di hampir seluruh pulau di Indonesia – lebih detil lihat artikel kebun pekarangan di Jawa dalam Soemarwoto, et al., 1985a;b).

####2. Agroforestri modern (modern atau introduced agroforestry)

Berbagai bentuk dan teknologi agroforestri yang dikembangkan setelah diperkenalkan istilah agroforestri pada akhir tahun 70-an, dikategorikan sebagai agroforestri modern.

Walaupun demikian, sistem taungya (yang di Indonesia lebih popular dengan nama sistem tumpangsari), yang pertama kali diperkenalkan oleh Sir Dietrich Brandis (seorang rimbawan Jerman yang bekerja untuk kerajaan Inggris) di Burma (atau Myanmar sekarang) pada pertengahan abad XIX, dipertimbangkan sebagai cikal bakal agroforestri modern (dari aspek struktur biofisiknya saja, filosofi taungya sebenarnya tidak sesuai dengan agroforestri, karena taungya pada awalnya lebih berprinsip pada pembangunan hutan tanaman dengan tenaga murah dari rakyat miskin).

Agroforestri modern umumnya hanya melihat pengkombinasian antara tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Berbeda dengan agroforestri tradisional/klasik, ratusan pohon bermanfaat di luar komponen utama atau juga satwa liar yang menjadi bagian terpadu dari sistem tradisional kemungkinan tidak terdapat lagi dalam agroforestri modern (lihat Thaman, 1989; Sardjono, 1990).

Beberapa Perbedaan Penting antara Agroforestri Tradisional dan Agroforestri Modern

###Klasifikasi berdasarkan zona agroekologi


Menurut Nair (1989), klasifikasi agroforestri dapat juga ditinjau dari penyebarannya atau didasarkan pada zona Agroekologi, yaitu: (1) Agroforestri yang berada di wilayah tropis lembab dataran rendah (lowland tropical humid tropic); (2) Agroforestri pada wilayah tropis lembab dataran tinggi (high-land tropical humid tropic); (3) Agroforestri pada wilayah sub-tropis lembab dataran rendah (lowland humid sub-tropic); dan (4) Agroforestri pada wilayah sub-tropis dataran tinggi (highland humid sub- tropic).

Dalam konteks Indonesia, klasifikasi seperti ini dapat didasarkan pada wilayah agroekologi yang sedikit berbeda. Didasarkan pada zona klimatis utama, terdapat 4 wilayah yaitu (a) Zona Monsoon (khususnya di Jawa dan Bali), (b) Zona Tropis Lembab (di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi), serta (c) Zona Kering atau Semi Arid (Nusa Tenggara). Pembagian berdasarkan zona ekologi klimatis utama tersebut di atas dapat pula berdasarkan ekologi lokal, antara lain (d) Zona Kepulauan (misalnya Nusa Tenggara atau di Kepuluan Maluku), dan (e) Zona Pegunungan (baik di Jawa, Sumatera, atau di Papua).

####1. Agroforestri pada zona monsoon
Agroforestri pada zona ini seringkali disebut sebagai Tropical Decidous Forest. Zona ini dicirikan oleh batas yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan (separo tahun). Beberapa pohon decidous akan menggugurkan daun saat musim kemarau (misal Jati/Tectona grandis). Akan tetapi saat musim hujan, ekosistem ini sulit dibedakan dengan ekosistem tropis lembab, dan oleh karenanya keduanya seringkali disebut sebagai ‘closed atau moist forests’. Di Indonesia, wilayah ini secara umum lebih subur dibandingkan wilayah tropis lembab (apalagi di Indonesia wilayah monsoon yaitu Jawa memiliki banyak gunung berapi).

Biasanya wilayah ini terdapat populasi yang sangat padat, sehingga terjadi ‘lapar lahan’ (lahan yang dapat dikuasai per jiwa sangat sempit atau bahkan tidak ada sama sekali) dan masalah sosial ekonomi masyarakat lainnya. Pemanfaatan lahan secara optimal seperti agroforestri merupakan alternatif tepat yang telah pula dipraktekkan sejak lama, baik pada lahan-lahan milik (misal melalui sistem pekarangan) dan lahan negara (misal areal hutan jati dan pinus PERHUTANI melalui sistem tumpangsari).

####2. Agroforestri pada zona tropis lembab
Ekosistem tropis lembab menempati kawasan hutan yang terluas di Indonesia, tersebar dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Ekosistem ini memiliki karakter biofisik penting antara lain tingginya curah hujan dan kelembaban udara. Topografi berbukit-bukit dengan dominasi jenis tanah podsolik merah kuning yang memiliki kesuburan (dan berarti daya dukung lahan) yang rendah. Tegakan alaminya dicirikan dengan pohon-pohon tinggi berdiameter besar dan tingginya keanekaragaman hayati (baik bersifat keragaman tapak ataupun bentang lahan).

Meskipun ekosistem tropis lembab sering disebut dengan Mixed Dipterocarps Forest (karena dominasi jenis-jenis pohon komersial dari suku Dipterokarpa), akan tetapi sebutan tersebut lebih ditujukan bagi Hutan Tropis Lembab Dataran Rendah (Lowland Dipterocarps Forests). Di samping itu masih ada Hutan Tropis Lembab Dataran Tinggi (termasuk di dalamnya yang disebut Hutan Pegunungan) dan formasi-formasi edafis seperti misalnya hutan rawa (swamp forests) serta hutan payau (mangrove forests).

Meskipun memiliki diversitas yang tinggi, akan tetapi ekosistem tropis lembab dengan karakter kondisi biofisiknya pada dasarnya sangat rentan gangguan. Masyarakat lokal secara tradisional telah mengembangkan berbagai bentuk (dan pendekatan) pemanfaatan lahan agroforestri untuk memenuhi kebutuhannya.

Secara umum berbagai bentuk agroforestri tersebut berasal dari pola perladangan. Strukturnya meniru hutan alam yang tersusun atas tanaman berkayu (dominan), juga jenis-jenis flora dan fauna endemik yang belum dibudidayakan secara luas (bahkan termasuk jenis-jenis liar dari hutan alam). Beberapa kegiatan pada dasarnya memanfaatkan tegakan alam, namun dalam beberapa dasawarsa terakhir masyarakat telah berinisiatif untuk menyempurnakan, mengembangkan atau melaksanakan kombinasi agroforestri lainnya.

####3. Agroforestri pada zona kering (zona semi arid, atau semi ringkai)
Wilayah ini mencakup kawasan NTT, NTB, sebagian Bali dan Jawa Timur sebagian Sulawesi Selatan/Tenggara dan sebagian Papua bagian selatan. Ciri khas daerah ini adalah perbedaan musim hujan dan kemarau yang sangat menyolok. Rata-rata hujan turun dalam 3–4 bulan dan musim kemarau 7-8 bulan. Curah hujan tahunan berkisar kurang dari 1000 mm di daerah tertentu sampai dengan 1200 mm. Di dataran yang lebih tinggi, curah hujan bisa mencapai lebih dari 1500 sampai 2000 mm/tahun dengan lama musim hujan enam bulan. Evapotranspirasi jauh lebih besar daripada presipitasi (Roshetko, et al., 2000). Keseimbangan air (water balance) yang khas di daerah ini menuntut pemilihan pola dan jenis tanam yang memadai.

Petani umumnya mengusahakan tanaman pangan hanya dalam musim hujan. Dalam musim kemarau tidak ada peluang untuk mengusahakan tanaman semusim kecuali di daerah yang ada irigasinya. Biasanya pada musim kemarau masyarakat mengusahakan pemeliharaan ternak. Dengan demikian tanaman atau pohon dan semak penghasil pakan ternak merupakan salah satu pilihan penting.

Ciri lain dari daerah semi kering adalah intensitas hujan sangat tinggi pada musim hujan. Perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau ini menyebabkan erosi yang sangat besar. Karena itu pilihan tanaman dan teknologi untuk pencegah erosi juga menjadi perhatian serius. Gulma cenderung tumbuh sangat cepat pada musim hujan.

Persoalan temperatur yang tinggi dan sering terjadinya kebakaran memerlukan tanaman peneduh (naungan) dan pencegah api. Ternak liar yang sering digembalakan secara bebas atau tidak sengaja maupun sengaja berkeliaran di kebun-kebun petani menyebabkan tanaman pagar memerlukan perhatian khusus dari para petani di kawasan Nusa Tenggara dan Bali.

Pemilihan tanaman dan pohon menjadi perhatian utama untuk mengatasi masalah ekonomi dan lingkungan di daerah setempat. Ada banyak model agroforestri tradisional dan yang diperkenalkan di daerah ini. Pengembangan agroforestri diarahkan kepada penanganan masalah ketersedian air yang terbatas, erosi, pencegahan kebakaran dan berkeliarannya ternak liar, kurangnya ketersediaan pakan ternak pada musim kemarau serta upaya memperbaiki tingkat pendapatan petani berbasis pertanian lahan kering skala kecil.

####4. Agroforestri pada zona pesisir dan kepulauan
Ciri utama pada zona kepulauan adalah lahan terbatas dengan kemiringan yang tinggi, berbatu atau berpasir serta sangat rentan terhadap erosi dan longsoran atau pergerakan tanah jika terjadi hujan lebat, apalagi jika penutupan tanah sangat rendah baik oleh vegetasi alami maupun vegetasi buatan.

Di zona kepulauan di kawasan Nusa Tenggara, umumnya kontras terdapat tanaman pantai dan tanaman di kawasan pegunungan. Konservasi tanah, pemeliharaan ternak dan pengembangan tanaman kelapa di kawasan pantai menjadi ciri utama penanganan ekosistem pertanian dan upaya memperoleh pendapatan. Akhir-akhir ini di kawasan pantai, tanaman kelapa mulai dikombinasikan dengan tanaman perkebunan seperti coklat, cengkeh dan vanili tergantung pada tingkat curah hujan. Tanaman kelapa dipadukan pula dengan pisang dan ubi-ubian yang menjadi pola menu utama pangan masyarakat pantai tradisional.

Di zona ini, pengembangan sebagian wanatani sangat tergantung pada ada tidaknya kawasan alluvial di dataran rendahnya. Kawasan alluvial ini umumnya mempunyai potensi untuk pengembangan ternak ikan air tawar maupun campuran (untuk ikan Bandeng). Pengembangan silvofisheri sangat potensial. Tanaman bakau (Rhizopora sp.), biasanya menjadi andalan penguatan tambak atau tempat kepiting dan ikan bertelur.
Di beberapa kawasan pantai, dikembangkan pula jambu mente atau cengkeh. Perpaduan antara tanaman ini dengan tanaman pangan lain sangat memungkinkan di tahap awal.

Namun cengkeh juga tumbuh di dataran yang lebih tinggi sedangkan mente memerlukan daerah yang lebih kering.

####5. Agroforestri pada zona pegunungan
Zona pegunungan umumnya mempunyai iklim yang lebih dingin dan basah. Agroforestri biasanya dikaitkan dengan pengembangan hortikultura seperti sayuran dan buah- buahan. Kontras dengan dataran rendah, jenis ternak di kawasan pegunungan terbatas.

Kawasan pegunungan umumnya ideal untuk tanaman buah-buahan dan sayuran. Wanatani bisa merupakan perpaduan antara tanaman buah- buahan dengan sayuran atau dengan tanaman pangan. Beberapa pohon berkayu yang juga dapat dijumpai di wilayah pegunungan seringkali menjadi bagian dari sistem agroforestri yang dikembangkan, misalnya di Papua banyak dijumpai jenis cemara gunung (Casuarina sp.).

###Klasifikasi berdasarkan orientasi ekonomi


Banyak pihak yang berpandangan bahwa agroforestri dikembangkan untuk memecahkan permasalahan kemiskinan dan petani kecil, karena adanya lapar lahan (sebagai contoh di Jawa yang memiliki kepadatan penduduk >700 jiwa/km2) ataupun kondisi lingkungan hidup yang sulit akibat aspek geografis (keterisolasian wilayah) dan/atau aspek ekologis (wilayah-wilayah beriklim kering). Pendapat ini tidak dapat disalahkan seratus persen, karena kenyataannya selama ini memang program-program (atau proyek-proyek) pengembangan agroforestri lebih banyak dijumpai pada negara-negara berkembang yang miskin di wilayah tropis (Afrika, Asia, dan Amerika Latin).

Dalam implementasi, agroforestri telah membuktikan merupakan sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsisten saja, melainkan pada tingkatan semi-komersial hingga komersial sekalipun (Nair, 1989).

####1. Agroforestri skala subsisten (Subsistence agroforestry)
Sesuai dengan skalanya yang subsisten (seringkali diistilahkan ‘asal-hidup’), maka bentuk-bentuk agroforestri dalam klasifikasi ini diusahakan oleh pemilik lahan sebagai upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Utamanya tentu saja berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Meskipun demikian fungsi agroforestri seperti ini juga dimaksudkan untuk kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya, tidak terkecuali bahan mentah (raw materials a.l. bahan baku usaha pertanian) dan dalam mendukung kegiatan- kegiatan ritual (upacara-upacara tradisional – contoh penanaman pohon pinang [Areca catechu] pada lahan masyarakat Dayak).

Orientasi agroforestri subsisten memang menggambarkan masyarakat yang lebih mementingkan risiko kegagalan pemenuhan kebutuhan hidup yang rendah, dibandingkan memperoleh pendapatan tunai (cash income) yang tinggi. Hal ini penting, karena miskinnya pemilik lahan dan ketiadaan pasar di suatu wilayah. Agroforestri dengan skala subsisten ini secara umum merupakan agroforestri yang tradisional, dengan beberapa ciri-ciri penting yang bisa dijumpai adalah:

  • Lahan yang diusahakan terbatas;
  • Jenis yang diusahakan beragam (polyculture) dan biasanya hanya merupakan jenis-jenis lokal non-komersial saja (indigenous dan bahkan endemic) serta ditanam/dipelihara dari permudaan alam dalam jumlah terbatas;
  • Pengaturan penanaman tidak beraturan (acak);
  • Pemeliharaan/perawatan serta aspek pengelolaan lainnya tidak intensif.

Agroforestri skala ini dapat dijumpai pada wilayah-wilayah pedalaman/relatif terisolir dan di kalangan masyarakat tradisional. Beberapa contohnya adalah: Pola perladangan tradisional (traditional shifting cultivation), kebun hutan dan kebun pekarangan tradisional (traditional forest- and home- gardens) pada masyarakat adat di Kalimantan (lihat budidaya Lembo – Sardjono, 1990).

####2. Agroforestri skala semi-komersial (Semi-commercial agroforestry)
Pada wilayah-wilayah yang mulai terbuka aksesibilitasnya, terutama bila menyangkut kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki motivasi ekonomi dalam penggunaan lahan yang cukup tinggi, terjadi peningkatan kecenderungan untuk meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil yang dapat dipasarkan untuk memperoleh uang tunai. Meskipun demikian, dengan keterbatasan investasi yang dimiliki, jangkauan pemasaran produk yang belum meluas, serta ditambah dengan pola hidup yang masih subsisten, maka jaminan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tetap menjadi dasar pertimbangan terpenting. Pentingnya risiko kegagalan ini terlihat dari tetap dipertahankannya keanekaragaman jenis tanaman pada lahan usaha.

Contoh yang paling mudah dan luas dijumpai adalah pola-pola pengusahaan kebun pekarangan pada masyarakat transmigran di luar Jawa (misalnya di wilayah Kabupaten Kutai Barat – Kalimantan Timur). Masyarakat transmigran mulai meningkatkan jenis-jenis yang dibudidayakan dan yang memiliki nilai semi-komersial (produknya dapat dimanfaatkan sendiri dan sekaligus dapat dijual), seperti kelapa (Cocos nucifera) dan kopi (Coffea spp.), daripada mempertahankan jenis-jenis yang tumbuh alami serta tidak komersial (wild species) sebagaimana dijumpai pada lahan- lahan masyarakat tradisional setempat.

####3. Agroforestri skala komersial (Commercial agroforestry)
Pada orientasi skala komersial, kegiatan ditekankan untuk memaksimalkan produk utama, yang biasanya hanya dari satu jenis tanaman saja dalam kombinasi yang dijumpai (lihat pembahasan tentang agroforestri modern).

Ciri-ciri yang dimiliki biasanya tidak jauh berbeda antar berbagai bentuk implementasi, baik dalam lingkup pertanian ataupun kehutanan, yaitu antara lain:

  • Komposisi hanya terdiri dari 2-3 kombinasi jenis tanaman, di mana salah satunya merupakan komoditi utama (adapun komponen lainnya berfungsi sebagai unsur pendukung);
  • Dikembangkan pada skala yang cukup luas (investasi besar) dan menggunakan input teknologi yang memadai;
  • Memiliki rantai usaha tingkat lanjut (penanganan pascapanen dan perdagangan) yang jelas serta tertata baik;
  • Menuntut manajemen yang profesional.

Contoh-contohnya di sektor pertanian adalah perkebunan- perkebunan tanaman keras (tree crop plantation) skala besar (misalnya perkebunan karet modern dengan pola tumpangsari palawija pada awal pembangunannya, dan perkebunan kakao serta kopi yang dikombinasikan dengan tanaman peneduh). Di sektor kehutanan, dikenal pola tumpangsari (taungya system) pada hutan jati (Tectona grandis) di Perum Perhutani di Jawa dan Nusa Tenggara Barat atau Hutan Tanaman Industri (HTI/Timber Estate Plantation; termasuk pola HTI- Masyarakat) di luar Jawa.

###Klasifikasi berdasarkan sistem produksi


####1, Agroforestri berbasis hutan (Forest Based Agroforestry)
Fores based agroforestry systems pada dasarnya adalah berbagai bentuk agroforestri yang diawali dengan pembukaan sebagian areal hutan dan/atau belukar untuk aktivitas pertanian, dan dikenal dengan sebutan agroforest .

####2. Agroforestri berbasis pada pertanian (Farm based Agroforestry)
Farm based agroforestry dianggap lebih teratur dibandingkan dengan agroforest (forest based agroforestry) dengan produk utama tanaman pertanian dan atau peternakan tergantung sistem produksi pertanian dominan di daerah tersebut. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktivitas dan/atau sustainabilitas sistem.

####3. Agroforestri berbasis pada keluarga (Household based Agroforestry)
Agroforestri yang dikembangkan di areal pekarangan rumah ini juga disebut agroforestri pekarangan (homestead agroforestry) di Bangladesh. Di Indonesia, yang terkenal adalah model kebun talun di Jawa Barat. Sedangkan di Kalimantan Timur, ada kebun pekarangan tradisional yang dimiliki oleh satu keluarga besar (clan).

Kondisi ini bisa terjadi karena pada masa lampau beberapa keluarga tinggal bersama-sama pada rumah panjang (atau disebut sebagai ‘lamin’ - lihat Sardjono, 1990). Di berbagai daerah di Indonesia, pekarangan biasanya ditanam pohon buah-buahan dengan tanaman pangan.

###Klasifikasi berdasarkan lingkup manajemen


Pengklasifikasian agroforestri berdasarkan lingkup manajemen ini memang belum dilakukan secara luas. Hal ini karena dalam agroforestri, terdapat kombinasi jenis dalam satu unit manajemen (misal satu kebun). Tetapi secara tradisional dan sesuai dengan tuntutan aspek perencanaan tata ruang wilayah di masa depan, kombinasi kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan juga berlangsung dalam satu bentang alam dari suatu agroekosistem (sistem pedesaan; lihat pemahaman agroforestri tradisional di atas yang dikemukakan oleh Thamman, 1988).

Klasifikasi agroforestri berdasarkan lingkup manajemennya, adalah sebagai berikut:

####1. Agroforestri pada tingkat tapak (skala plot)
Pengkombinasian komponen tanaman berkayu (kehutanan), dengan tanaman non-kayu (pertanian) dan/atau peternakan pada satu unit manajemen lahan ini umum dibicarakan dalam agroforestri. Sistem ini biasanya dilakukan pada lahan-lahan milik perorangan (petani) atau milik badan hukum (perusahaan). Titik berat bentuk agroforestri ini adalah optimalisasi kombinasi melalui simulasi dan manipulasi jenis tanaman/hewan, dan seringkali pada skala lahan yang relatif terbatas (misalnya pada kebun pekarangan transmigrasi dengan luas rata-rata 0,25 hektar). Pemahaman akan karakter jenis, dan responnya dalam kombinasi, merupakan kunci keberhasilan agroforestri pada tingkatan ini.

####2. Agroforestri pada tingkat bentang lahan
Pada suatu bentang lahan pedesaan di beberapa wilayah di Indonesia, dapat ditemukan tata guna lahan yang bervariasi antar tapak. Bahkan pada beberapa kelompok masyarakat pedesaan, alokasi lahan dimusyawarahkan sebaik- baiknya berdasarkan kebutuhan bersama serta kesesuaian terhadap kondisi/karakterisitik tapak berdasarkan pengalaman tradisional. Sebagai contoh, pada masyarakat Dayak Kenyah di Batu Majang (Kalimantan Timur), selain areal yang digunakan sebagai pemukiman (yang akan berkembang kebun pekarangan) terdapat juga kawasan desa yang dipertahankan sebagai hutan lindung (istilah setempat adalah Tana’ Ulen).

Hutan lindung ini berfungsi sebagai pengatur tata air dan menyediakan bahan baku kayu secara terbatas (untuk keperluan komunal). Di samping Tana’ Ulen, terdapat pula lokasi yang diperuntukkan bagi kegiatan berladang. Beberapa lahan pertanian pada masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung dialokasikan bagi pengembangan perkebunan karet (Hevea brasiliensis). Sehingga dalam skala bentang lahan, terdapat mosaik agroforestri (Sardjono, 1990).

Interaksi antar sistem penggunaan lahan atau kegiatan produksi tersebut terjadi atas dasar pertimbangan kebutuhan komunal dan karakter lingkungan yang dikenal baik oleh masyarakat.

Agroforestri pada tingkat bentang lahan dewasa ini dalam lingkup kehutanan masyarakat (community forestry) seringkali disebut dengan istilah ‘Sistem Hutan Kerakyatan’ (SHK/community based forest system management). Meskipun penekanan SHK pada wilayah-wilayah masyarakat adat/tradisional (Mushi, 1998), tetapi mengingat sub- elemennya antara lain ladang, kebun, sawah, pekarangan, tempat-tempat yang dikeramatkan sebagai satu kesatuan yang integral dalam upaya komunal dari satu komunitas atau lebih, sistem ini bisa dikatakan sebagai suatu agroforestri.

Karena ada interaksi dalam suatu bentang lahan di atas, maka agroforestri lebih dari sekedar pengkombinasian dua atau lebih elemen pemanfaatan lahan. Agroforestri juga bisa dilihat sebagai suatu ‘jembatan politis’ untuk mengakomodir kepentingan berbagai sektor terutama kehutanan dan pertanian (von Maydell, 1978). Dengan demikian, agroforestri dapat mengubah dari situasi yang dissosiatif menjadi yang bersifat assosiatif (kooperasi, kolaborasi, ataupun koordinasi).