Bagaimana menyikapi pendidikan "anak emas" yang berkembang saat ini ?

Anak Emas

“Anak Emas” Itu Merusak

www.JamilAzzaini.com

Perjalanan saya mendampingi banyak perusahaan dalam mengembangkan leadership dan personal development menghasilkan banyak pelajaran. Salah satunya tentang “anak emas.” Ada beberapa perusahaan, khususunya perusahaan keluarga yang memiliki “anak emas” di perusahaan. “Anak emas” itu sangat manja, dilindungi banyak orang penting, dan sulit disentuh dengan berbagai aturan perusahaan. Dan fakta menunjukkan perusahaan seperti ini akhirnya mati alias bangkrut.

Saat “anak emas” melakukan kesalahan, banyak pihak yang menutupi dan melakukan pembelaan. Saat “anak emas” punya prestasi, ekspose dan apresiasinya berlebihan. Padahal bila dibandingkan dengan orang pada level yang sama, sebenarnya prestasinya belumlah seberapa. Uniknya lagi, bila “anak emas” berbuat salah kepada orang lain, ia jarang merasa bersalah, dan orang lainlah yang disibukkan untuk menetralisir dan memperbaiki hubungan.

Sesungguhnya “anak emas” ini merusak kinerja dan performa perusahaan. Apabila suatu perusahaan ingin maju, tidak boleh ada “anak emas” dalam perusahaan. Atau pun bila Anda ingin memilih “anak emas” pilihlah mereka yang punya prestasi bukan karena kedekatan, kekerabatan atau satu aliran politik dan ideologi. Sayangnya, kebayakan “anak emas” di perusahaan justeru yang sering menimbulkan malapetaka.

Perusahaan yang ingin terus tumbuh wajib berbasis kepada kinerja atau performa dan ini sangat sulit berjalan bila masih ada “anak emas” dalam perusahaan. Keberadaan “anak emas” dalam perusahaan pertanda bahwa penilain kinerja, keterbukaan, keadilan tidak berjalan dengan sempurna, kecurigaan akan merajalela. Kondisi ini membuat kerjasama tim tidak berjalan dengan baik.

“Anak emas” lebih banyak menimbulkan kegaduhan dibandingkan menghasilkan emas (profit). “Anak emas” menguras energi dan memperlambat pertumbuhan kinerja karena energi banyak orang terkuras untuk hal-hal yang tidak penting. Keberadaan “anak emas” sebaiknya ditiadakan karena energi negatif yang dihasilkan jauh lebih besar dari kebaikan yang disumbangkan. Percayalah, perusahaan jauh akan tumbuh melesat tanpa keberadaan “anak emas.” Saya sangat yakin, keberadaan “anak emas” itu sangat merusak.


Bagaimana menyikapi pendidikan “anak emas” yang berkembang saat ini ?

Pendidikan “anak emas” memang sangat terasa saat ini, sadar atau tidak sadar model pendidikan di Indonesia sedang mengarah ke arah seperti itu.

Salah satu contoh yang ada adalah ketika ujian, apabila ada siswa yang tidak lulus, maka yang disalahkan adalah sekolah maupun gurunya. Bahkan sampai ada kasus guru dan sekolah memberikan contekan kepada siswanya agar siswa tersebut lulus ujian.

Terjadi juga kasus, seorang bapak sampai memarahi guru anakanya karena tidak terima anaknya dimarahi oleh guru tersebut.

Pendidikan seperti ini, mirip seperti pendidikan “anak emas” yang ditulis di awal topik ini.

Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah, selaku regulator, harus berani merubah kondisi-kondisi yang ada, karena pendidikan mempunyai makna yang berbeda dengan pembelajaran.

Dalam pendidikan, mengenal kondisi “reward and punishment”, pemberian penghargaan dan pemberian hukuman. Sehingga memberikan hukuman sama pentingnya seperti memberikan penghargaan.

Bukankah di dunia juga mengenal hukum seperti itu, bagi yang malas kemungkinan menjadi miskin akan lebih besar, begitu juga bagi yang bekerja keras, kemungkinan menjadi kaya akan lebih besar.

Nilai-nilai pendidikan itu yang perlu ditanamkan kepada para siswa, sehingga tidak terjadi pendidikan a la “anak emas”