Bagaimana menurut Anda mengenai kemiskinan yang selalu dipandang menggunakan Economy-Bias?


Gambar 1. Poor Residential Neighborhood (Sumber: Unsplash.com/PeterBerko)

Berbicara kemiskinan bukan hanya sekedar memperbincangkan satu atau dua pilar yang menjadi tumpuan penyebab hal tersebut terjadi. Kemiskinan adalah permasalahan kompleks di mana upaya pengendaliannya dilakukan berdasar pada pertimbangan berbagai aspek. Dalam desicion making , baik pengambilan keputusan untuk kebijakan maupun pemberian masukan atas masalah kemiskinan diperlukan kajian mendalam atas keseluruhan determinan yang ada dengan memahami bahwa kemiskinan merupakan kompleksitas permasalahan di mana dimensi di dalamnya sangatlah luas.

Dalam jurnal STATSBRIEF United Nations ESCAP yang ditulis oleh Jousairi Hasbullah, dijelaskan bahwa terdapat penelitian di mana mereka yang tergolong miskin dapat diformulasikan sebagai 4L ( the last, the least, the lowest, and the loss ) [1]. Dalam artian, mereka yang memperoleh kesempatan paling akhir, dan sebagainya. Modal tidak menjamin apapun bagi mereka yang dikategorikan kemiskinan dengan selalu konsisten berada di bawah GK Subsistence atau dikenal dengan Chronic Poverty. yang terjadi karena terbentuk kemiskinan secara akut akibat culture of poverty . Kemiskinan di bawah 5% bukan lagi kemiskinan struktural, tetapi kemiskinan cultural . Namun, satu hal yang pasti bagi mereka yang angka kemiskinan tidak menyentuh di atas 5% adalah karena ada belenggu kutural yang tidak dapat dilepaskan. Hal inilah yang sering terlupakan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang tidak memadainya akses, tetapi adanya keterikatan internal dari orang terkait. Untuk memahami kemiskinan, perlu memahami karakteristiknya karena terbentuknya kemiskinan sendiri adalah dari teori ekonomi, sosiologi, dan antropologi. Maka, dalam penyelesaiannya membutuhkan kombinasi dari ketiganya. Sayangnya, determinan kemiskinan memiliki bias yang selalu bergantung pada economy-bias sehingga solusi atau kebijakan yang diampu juga berhubungan dengan ekonomi tanpa membahas sisi sosiologi ataupun atropologinya.

Bagaimana Economy-Bias bisa terbentuk sebagai salah satu bias yang disorot dalam masalah poverty (kemiskinan) dan bahkan bisa menyurutkan dua teori lainnya? Menurut Anda, mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Referensi:
[1] Hasbullah, Jousairi. 2017. Understanding Poverty and Poverty Data in Indonesia. The Stat Brief United Nations ESCAP (Statistic Division) (15)

Economy-bias merujuk pada kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa masalah ekonomi, khususnya kemiskinan, dapat diatasi semata-mata melalui solusi ekonomi. Bias ini muncul ketika fokus utama dalam penanganan kemiskinan berpusat pada kebijakan ekonomi, seringkali mengabaikan aspek-aspek sosial, budaya, atau politik yang juga memainkan peran penting. Dalam konteks ini, economy-bias bisa terbentuk sebagai hasil dari beberapa faktor yang berinteraksi, dan bahkan dapat memengaruhi dua teori lainnya yang terkait dengan masalah kemiskinan.

Pertama, mari bahas bagaimana economy-bias bisa terbentuk. Secara umum, society biasanya cenderung mencari solusi yang terlihat jelas dan dapat diukur ketika menghadapi masalah yang kompleks seperti kemiskinan. Ekonomi sering dianggap sebagai kerangka kerja yang memberikan pemahaman yang lebih terukur dan terstruktur terhadap fenomena sosial ini. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi mungkin menjadi pilihan utama untuk menanggulangi kemiskinan.

Namun, faktor ekonomi saja tidak selalu mampu mengatasi akar masalah kemiskinan. Teori pertama yang mungkin terpengaruh oleh economy-bias adalah teori sosial. Teori sosial menggarisbawahi pentingnya faktor-faktor sosial seperti pendidikan, lingkungan, dan struktur sosial dalam membentuk dan mempertahankan kemiskinan. Economy-bias dapat menyebabkan pengabaian terhadap aspek-aspek ini karena fokus utamanya tertuju pada solusi ekonomi. Sebagai contoh, program-program pendidikan atau pemberdayaan masyarakat mungkin diabaikan jika prioritas diberikan hanya pada intervensi ekonomi.

Kedua, adanya interaksi antara economy-bias dan teori politik juga perlu diperhatikan. Teori politik menekankan peran kebijakan dan struktur politik dalam membentuk kemiskinan. Jika pemerintah atau institusi politik tidak memiliki komitmen untuk mengatasi masalah ini, solusi ekonomi sendiri mungkin tidak mencukupi. Economy-bias dapat menyebabkan kelalaian dalam menanggapi masalah struktural dan politik yang turut mempengaruhi kemiskinan.

Dalam beberapa kasus, economy-bias dapat menciptakan paradoks antara kebijakan ekonomi dan hasil yang diinginkan. Misalnya, fokus hanya pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan distribusi pendapatan dapat meningkatkan kesenjangan ekonomi, yang pada gilirannya dapat memperburuk ketidaksetaraan dan kemiskinan.

Pentingnya pendekatan yang holistik dalam mengatasi kemiskinan diperkuat oleh teori ekologi. Teori ini menyoroti kompleksitas hubungan antara individu, komunitas, dan lingkungan, serta bagaimana faktor-faktor ini saling berinteraksi. Economy-bias yang terlalu kuat dapat menyebabkan penyempitan pandangan terhadap kemiskinan hanya sebagai masalah ekonomi, mengabaikan interaksi kompleks antar faktor-faktor ekologi yang saling terkait.

Oleh karena itu, untuk mengatasi economy-bias, diperlukan pendekatan yang bersifat multidimensional. Solusi untuk kemiskinan tidak bisa hanya bersumber dari kebijakan ekonomi semata. Diperlukan pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor sosial, politik, dan ekologi yang terlibat dalam masalah kemiskinan.

Dalam mengembangkan strategi penanganan kemiskinan, pemerintah, lembaga internasional, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk merancang kebijakan yang seimbang dan holistik. Pendekatan ini mencakup langkah-langkah seperti peningkatan akses pendidikan, pemberdayaan masyarakat, reformasi kebijakan politik, dan pembangunan ekonomi yang inklusif.

Seiring dengan itu, mendidik masyarakat tentang kerumitan dan multidimensionalitas kemiskinan juga menjadi kunci. Kesadaran ini dapat membantu mengurangi dominasi economy-bias dan mendorong penerimaan bahwa solusi untuk kemiskinan memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi.

Dalam rangka mencapai tujuan ini, penting bagi peneliti, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum untuk terus menggali pemahaman mendalam terhadap akar masalah kemiskinan. Hanya dengan memahami kompleksitasnya, kita dapat mengembangkan solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan kemiskinan di berbagai tingkatan masyarakat.