Bagaimana Menghentikan Praktek Pseudoscience?

image

Praktek pseudoscience masih laris di masyarakat, banyak masyarakat yang rela mengeluarkan banyak uang untuk mengikuti praktek pseudoscience.manfaat dari praktek pseudoscience memang sangat mengiurkan namun hal tersebut sebenarnya merugikan banyak orang. Lalu, bagaimana cara menghentikan praktek pseudoscience?

Ilmu semu atau pseudosains (pseudoscience) adalah sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah. Ilmu semu mungkin kelihatan ilmiah, tapi tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang dapat diuji dan seringkali berbenturan dengan kesepakatan/konsensus ilmiah yang umum.

Ada beberapa ciri yang bisa menunjukkan bahwa sesuatu itu termasuk pseudoscience, atau seseorang itu pseudosaintist bukan saintist.

Pertama, dalam pseudoscience kita sering digiring untuk berpikir anakronistis, artinya kita digiring untuk mempercayai bahwa apa yang sudah lama ditinggalkan oleh para saintis tulen pada dasarnya masih berlaku atau benar.

Salah satu contoh pseudoscience ini adalah perdebatan kembali terkait dengan apakah bumi itu bulat atau datar? Apakah bumi sebagai pusat tata surya atau bukan ?

Cara mengatasinya :
Untuk mengatasi hal ini, maka perlunya pelatihan kemampuan berpikir kronologis. Kronologis mengandung arti pengetahuan tentang urutan waktu dari sejumlah kejadian atau peristiwa.

Dalam berpikir kronologis mempunyai pandangan bahwa waktu itu bersifat linear dan progresif, dimana pergerakan waktu dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. Dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan secara kronologis, kita bisa lebih memahami mengapa suatu “pengetahuan” bisa berubah dari satu waktu ke waktu yang lainnya.

Kedua, pseudosaintist biasanya cenderung mencari-cari misteri dalam hidup ini. Mereka percaya bahwa ada banyak hal di alam ini yang tak akan dipahami. Tentu saja kepercayaan ini benar. Tetapi pseudosaintist berusaha mengeksploitasi kepercayaan ini dan mencampuradukkan antara yang natural dengan yang misteri.

Mereka misalnya, senang membahas hal-hal yang bersifat tahayul dan klenik;

Cara mengatasinya :
Memang di era modern pun, masih banyak kejadian atau fenomena-fenomena yang masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah, terutama untuk permasalahan yang bersifat ghaib.

Cara terbaik untuk kasus ini adalah dengan penguatan ilmu agama di sosial masyarakat kita. Bukankah sihir, dukun, malaikat dan jin serta hal-hal ghaib lainnya dapat dijelaskan dengan ilmu agama ? Disinilah peran ulama dan kementrian agama dibutuhkan, sehingga tidak terjadi lagi kasus dukun Ponari yang akhirnya, secara psikologis, merugikan Ponari itu sendiri.

Ketiga, pseudoscience juga akrab dengan berbagai mitos. Mitos-mitos ini pun dijadikan pijakan untuk menjelaskan sesuatu secara ‘ilmiah’ oleh pseudosaintis.

Dalam kasus ini, terkadang memang ada mitos yang digunakan untuk tujuan kebaikan, misalnya kalau makan harus dihabiskan kalau tidak nanti nasinya nangis.
Tetapi kebanyakan mitos yang beredar di masyarakat diakibatkan karena masyarakat belum bisa membuktikan mengapa hal itu terjadi, secara ilmiah. Misalnya mitos gunung meletus karena gunungnya “marah”. Bahkan sampai saat ini masih banyak masyarakat kita yang berpendapat bahwa udara dingin dapat menyebabkan anda sakit pilek bukan ?

Cara mengatasinya :
Untuk mengatasi hal ini, maka perlunya pelatihan kemampuan berpikir logis, dimana setiap fenomena harusnya dapat dijelaskan secarailmiah. Berpikir secara logis adalah suatu proses berpikir dengan menggunakan logika, rasional dan masuk akal.

Selain itu, mitos-mitos tersebut juga dapat dijadikan sebagai motivasi para peneliti untuk dapat menjelaskan suatu fenomena tertentu kepada masyarakat.

Keempat, pseudosaintist selalu melecehkan bukti-bukti ilmiah. Jika ada bukti yang memperkuat kepercayaan mereka, bukti itu diterima. Tetapi jika ada bukti lain yang memperlemahnya, bukti itu segera dicampakkan dan buru-buru mereka katakan bahwa kepercayaan (‘kebenaran’) itu memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

Dengan demikian, bukti ilmiah apapun (yang memperlemah kebenaran yang dipercayai itu) tidak ada gunanya, sebab bukti-bukti ini akan dianggap belum mampu menjelaskan kebenaran itu.

Dalam bahasa yang lebih teknis, pseudoscience tidak pernah mempunyai suatu hipotesis yang terbuka terhadap kritik apapun. Atau dengan kata lain, pseudoscience sebenarnya tidak mengenal hipotesis, sebab apa yang disebut hipotesis harus terbuka untuk diuji kebenaran atau kesalahannya oleh siapa pun.

Kelima, pseudosaintist suka mencari-cari persamaan antara apa yang dikaji dalam sains tulen dengan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa disebut sebagai objek kajian ilmiah.

Misalnya, seorang pseudosaintist berusaha meyakinkan orang lain bahwa ilmu perbintangan (astrologi) mempunyai hubungan yang erat dengan astronomi.

Keenam, dalam pseudoscience juga bisa kita temui usaha untuk mempertahankan kebenaran dengan dalih-dalih apologis penuh bunga-bunga kata. Pseudosaintist mengira bahwa realitas ilmiah dapat dibentuk oleh retorika yang kecanggihannya sangat tergantung pada kata-kata. Dalam sains, kata-kata hanyalah alat untuk menjelaskan suatu realitas kebenaran; dalam pseudoscience, kata-kata menjadi substansi kebenaran itu sendiri


Secara garis besar, cara mengatasi pseudoscience yang ada di masyarakat adalah dengan meningkatkan pendidikan di masyarakat itu sendiri. Pendidikan sangat penting bagi pembentukan pola pikir masyarakat.

Pendidikan disini jangan hanya dititik beratkan pada pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan, tetapi juga harus dititikberatkan pada kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk dapat berpikir kritis, sehingga masyarakat dapat selalu berpikir kritis dalam melihat suatu fenomena yang ada.

Education is not the learning of facts, but training the mind to think - Albert Einsten