Bagaimana Membangun Pendidikan Yang Kompetitif?

Kompetitif

Kompetitif adalah merujuk pada kemampuan sebuah organisasi untuk memformulasikan strategi yang menempatkannya pada suatu posisi yang menguntungkan berkaitan dengan perusahaan lainnya.


PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional pada Rabu (2/5), merupakan momentu yang tepat untuk menegaskan komitmen membangun pendidikan Indonesia yang kuat, maju, kompetitif dan berkemampuan tinggi melahirkan manusia Indonesia yang seutuhnya.

Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat menyampaikan pandangan dan sikap reflektif, serta ucapan selamat kepada pemerintah dan masyarakat luas yang selama ini telah dan masih terus mendedikasikan dirinya di dunia pendidikan.

Tidak sedikit warga bangsa secara personal yang tanpa pamrih di daerah-daerah pelosok merawat dengan hati dalam waktu yang panjang untuk mencerdaskan dan mencerahkan anak-anak Indonesia. Tidak sedikit juga lembaga atau ormas-ormas keagamaan yang terus meningkatkan dan memajukan pendididkan di Indonesia. Tidak ringan mengemban amanah dunia pendidikan ini. Tantangan dan problem sangat kompleks yang dihadapi dunia pendidikan. Karena itu, Komisi Pendidikan dan Kaderisasi menyampaikan apresiasi dan terima masih yang sebesar-besarnya kepada mereka semua yang telah berjasa karena dedikasinya yang tinggi dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan.

Sesuai dengan falsafah yang harus dianut dan diyakini oleh Bangsa Indonesia, maka Sila Pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, haruslah menjadi sumber moral, filosofis dan ideologis yang menjiwai seluruh pendidikan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dengan demikian, seluruh program dan kegiatan pendidikan yang tidak mengacu kepada nilai-nilai ajaran agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa jelas bertentangan dengan Pancasila.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan nilai-nilai luhur yang mewarnai dan membentuk watak dan kepribadian bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur ini juga telah mewarnai sistim tindakan, kebiasaan, tradisi dan budaya yang hidup, berkembang dan dipertahankan secara turun temurun oleh masyarakat. Karena itu nilai-nilai luhur ini juga telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan kebudayaan Indonesia.

Sehubungan dengan itu, pendidikan nasional haruslah dipandang sebagai instrumen penting bagi upaya melestarikan, memperkokoh nilai-nilai luhur tersebut dalam rangka memperkuat dan memajukan kebudayaan dan peradaban Indonesia. Karena itu, pertama, pendidikan haruslah mampu memberikan jaminan kepada masyarakat luas bahwa nilai-nilai luhur bangsa Indonesia akan senantiasa terjaga. Kedua, pendidikan haruslah memiliki kemampuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa nilai-nilai, kebudayaan dan filsafat hidup yang berasal dari luar (budaya transnasional) yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan nilai dan kepribadian bangsa Indonesia haruslah ditolak.

Pendidikan juga haruslah menjadi tempat yang tepat untuk mendorong dan melahirkan generasi muda yang produktif, kompetitif, berjiwa merdeka/berdaulat, percaya diri dan berkepribadian luhur tidak silau dengan faham faham sekularisme, hedonisme, konsumerisme dan liberalisme. Melalui generasi muda terdidik seperti ini, maka diharapkan Indonesia akan menjadi sebuah bangsa dan negara besar dan disegani dengan peradaban yang luhur.

Membaca dan menggali sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang panjang kita akan jumpai banyak pejuang dan pahlawan yang dengan penuh keyakinan, keteguhan, dedikasi tinggi dan penuh pengorbanan berjuang untuk kedaulatan dan kemerdekaan; spirit untuk memberikan yang terbaik bagi negeri sangatlah kuat dimiliki oleh para pejuang. Memperhatikan masalah dan tantangan besar yang dihadapi bangsa ini, maka pendidikan haruslah merupakan tempat yang sangat tepat untuk menyemai, menyuburkan dan memperkokoh nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme di kalangan generasi muda dan pendidik berkewajiban menjadi teladan dan sumber terpercaya bagi peserta didik.

Dalam kaitan di atas, maka harus diyakinkan dengan sungguh-sungguh bahwa lembaga pendidikan haruslah terbebaskan dari berbagai bentuk penyelewengan, kriminalisasi dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Salah satu masalah faktual besar yang berkembang dalam panggung kehidupan berbangsa adalah merajalelanya kelompok-kelompok yang nampak secara terus menerus tanpa rasa malu menggeronggoti dan membangkrutkan kekayaan dan merongrong ideologi bangsa yaitu Pancasila.

Karena itu, lembaga pendidikan haruslah benar-benar memiliki elan vital yang kokoh tidak saja untuk memajukan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni akan tetapi juga membangun dan memperkokoh karakter. Tidak ada lagi tindakan fitnah, bully, hoax, krimimalitas, pembohongan, penipuan, korupsi yang melibatkan civitas akademika lembaga pendidikan baik sebagai korban maupun sebagai pelaku.

Deras dan cepatnya perkembangan revolusi industri teknologi informasi dan komunikasi di era digital ini tidak bisa terbendung. Perubahan di berbagai bidang kehidupan terjadi dengan cepat dengan berbagai implikasinya baik negatif maupun positif. Disrupsi tidak bisa ditolak termasuk dalam bidang pendidikan. Melalui TIK yang semakin advanced, maka informasi dan sumber belajar tidak lagi berpusat kepada guru/pendidik.

Guru atau pendidik hanya akan menjadi salah satu saja diantara sekian banyak sumber belajar yang bisa diakses secara bebas dan terbuka kapan saja oleh generasi peserta didik. Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan bisa segera memanfaatkan kemajuan TIK tidak saja untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan secara kelembagaan dan akademik, akan tetapi juga untuk menyemai dan mengembangkan secara meluas nila-nilai keluhuran. Secara produktif dan inovatif lembaga-lembaga pendidikan kita diharapkan tidak saja bisa menangkal negative desruption TIK (hoax, tampilan asusila, kebiasaan bully, ujaran kebohongan, kriminalitas, pertentangan termasuk penyebaran paham-paham transnasional yang bertentangan dengan nilai luhur agama dan Pancasila) akan tetapi juga berkemampuan tinggi memperkokoh karakter bangsa.

Sumber:
Nusantara.rmol.co


Bagaimana membangun Pendidikan Indonesia yang Kompetitif ?

Guru dalam melakukan pembelajaran harus mampu mengubah strategi pembelajaran yang berlandaskan paradigma teaching menjadi strategi pembelajaran kreatif berlandaskan paradigma learning. Paradigma learning terlihat dalam empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO.

Keempat visi pendidikan ini sangat jelas berdasarkan pada paradigma learning, tidak lagi pada teaching, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.

Paradigma belajar yang oleh UNESCO dipandang sebagai pendekatan belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda memasuki abad ke-21 hakikatnya merupakan pendekatan belajar yang telah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh pemikir pendidikan sejak permulaan abad ke-20. Pendekatan ini demikian berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, terutama sejak ketertinggalan Amerika Serikat dalam teknologi ruang angkasa Uni Soviet pada tahun 1957.

Proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan “ways of knowing” atau “mode of inquiry” memungkinkan peserta didik untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan hasil penelitian orang lain. Karena itu hakikat dari “Learning to Know” adalah proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. Dalam belajar mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Ini berarti pendidikan berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga leaner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca,mengkaji dan meneliti yang tinggi. Model pendekatan belajar seperti ini dapatlah dihasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.

Bagaimana dengan pilar kedua “learning to do”. Jika pada “learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tercapainya keseimbangan dalam penguasaan IPTEK. Pada “learning to do”, sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri. “Learning to do” (belajar berbuat/hidup), aspek yang dicapai dalam visi ini adalah keterampilan seorang peserta didik dalam menyelesaikan problem keseharian yang berkaitan dengan kehidupan.

Pendidikan dan pembelajaran diarahkan pada “how to solve the problem”. Pendekatan belajar ini, mengandung makna atau berimplikasi pada pembelajaran yang berorientasi pada paradigma pemecahan masalah yang memungkinkan peserta didik berkesempatan mengintegrasikan pemahaman konsep, penguasaan keterampilan teknis dan intelektual, untuk memecahkan masalah dan dapat berlanjut kepada inovasi dan improvisasi.

Paradigma belajar berdasarkan pemecahan masalah (problem-based learning) berfokus pada penyajian suatu permasalahan, dan menawarkan kebebasan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran. Melalui pembelajaran ini peserta didik diharapkan untuk terlibat dalam proses penelitian yang mengharuskan peserta didik mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, mengumpulkan data dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah.

Peserta didik akan terlibat sangat intensif, sehingga motivasi untuk terus belajar dan terus mencari tahu menjadi meningkat. Semakin tinggi tingkat kebebasan peserta didik,semakin tinggi juga kebutuhan pembimbingan yang harus dilakukan oleh guru. Peran guru berubah dari “guru” atau “ahli” menjadi fasilitator atau pembimbing.

Problem-based learning mempunyai lima asumsi utama,yaitu:

  • Permasalahan sebagai pemandu. Dalam hal ini, permasalahan menjadi acuan konkret yang harus menjadi perhatian peserta didik. Bacaan diberikan sejalan dengan permasalahan, dan peserta didik ditugaskan membaca sambil selalu mengacu pada permasalahan. Permasalahan menjadi kerangka berpikir bagi peserta didik dalam mengerjakan tugas.

  • Permasalahan sebagai kesatuan dan alat evaluasi. Dalam hal ni, permasalahan disajikan kepada peserta didik setelah tugas-tugas dan penjelasan diberikan. Tujuan utamanya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan pengetahuan yang sudah diperolehnya dalam memecahkan masalah.

  • Permasalahan sebagai contoh. Dalam hal ini, permasalahan adalah salah satu contoh dan bagian dari bahan belajar peserta didik. Permasalahan digunakan untuk menggambarkan teori, konsep, atau prinsip, dan dibahas dalam diskusi antara eserta didik dengan tenaga pengajar.

  • Permasalahan sebagai sarana yang menfasilitasi terjadinya proses. Fokusnya pada kemampuan berpikir kritis dalam hubungannya dengan permasalahan. Permasalahan menjadi alat untuk melatih peserta didik dalam bernalar dan berpikir kritis.

  • Permasalahan sebagai stimulus dalam aktivitas belajar. Fokusnya pada pengembangan keterampilan pemecahan masalah dari kasus-kasus serupa. Keterampilan tidak diajarkan oleh tenaga pengajar, tetapi ditemukan dan dikembangkan sendiri oleh peserta didik mealui aktivitas pemecahan masalah. Keterampilan dimaksud meliputi keterampilan fisik, keterampilan mengumpulkan dan menganalisis data yang berkaitan dengan permasalahan, dan keterampilan metakognitif.

Problem-based learning digunakan dalam pembelajaran dengan tujuan untuk melibatkan peserta didik, dan mendukung peserta didik dalam aktivitas yang mengembangkannya menjadi praktisi yang profesional. Problem-based learning mengintegrasikan pembelajaran bidang ilmu dan keterampilan memecahkan masalah, memanfaatkan situasi yang kolaboratif, dan menekankan pada proses “belajar untuk belajar” dengan memberikan tanggung jawab maksimal kepada peserta didik untuk menentukan proses belajarnya (Wilson & Cole,1996).

Pendidikan tidak hanya membekali peserta didik untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah,melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi,pengertian, dan tanpa prasangka. Pendidikan diarahkan dalam pembentukan peserta didik yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dan latar belakang etnik, agama dan budaya.

Disinilah pentingnya pilar ketiga yaitu “learning to live together” (belajar hidup bersama). Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan terdapat saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dengan pendidikan yang menggunakan pendekatan tradisional,melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif lama. Dalam hubungan ini,prinsip relevansi sosial dan moral sangat tepat.

Suatu prinsip yang memerlukan suasana belajar yang secara “inherently” mengandung nilai-nilai toleransi saling ketergantungan,kerjasama,dan tenggang rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

Tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learning to live together ditujukan bagi lahirnya peserta didik yang mampu mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan,yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, menerima dirinya, mengarahkan dirinya,mengambil keputusan dan mengaktualisasikan dirinya.

Manusia yang mandiri yang memiliki kemantapan emosional,intelektual,moral, spiritual, yang dapat mengendalikan dirinya, konsisten dan memiliki rasa empati atau dalam kamus psikologi disebut memiliki kecerdasan emnosional,kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual. Inilah makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar.

Pada masa sekarang ini “learning to be” menjadi sangat penting karena masyarakat modern saat ini sedang dilanda krisis kepribadian. Oleh karena itu melalui “learning to be” sebagai muara akhir dari tiga pilar belajar akan mampu membantu peserta didik dimasa depannya bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mantap dan mandiri,memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki having (materi-materi dan jabatan-jabatan politis). Dengan demikian tujuan pendidikan nasional akan dapat diwujudkan, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia,sehat,berilmu,cakap,kreatif,mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kata kunci dari keempat pilar belajar tersebut, yaitu berupa “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar), sehingga pembelajaran tidak hanya berorientasi pada nilai akademik yang berupa pemenuhan aspek kognitif saja,melainkan juga berorientasi bagaimana peserta didik bisa belajar dari lingkungan, dari pengalaman dan kehebatan orang lain, dari kekayaan dan luasnya hamparan alam, sehingga mereka bisa mengembangkan sikap-sikap kreatif dan daya berpikir imajinatif.

Untuk dapat mewujudkan paradigma pembelajaran tersebut, pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :

  • Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis,dan dialogis;
  • Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
  • Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Pendidikan harus diselenggarakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip:

  • Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,nilai keagamaan,nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;

  • Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;

  • Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran;

  • Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; dan

  • Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Sumber : Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.,Kons., Menyiapkan bangkitnya generasi emas Indonesia, Universitas Negeri Semarang