Bagaimana mekanisme Resistensi MRSA?

MRSA

Bakteri MRSA merupakan galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika metisilin sebagai akibat dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Bakteri MRSA tersebar hampir di seluruh dunia, dengan insiden tertinggi terdapat di area yang densitasnya padat dan kebersihan individunya rendah. Bakteri MRSA biasanya dikaitkan dengan pasien di rumah sakit.muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk pengobatan (Biantoro, 2008). Bagaimana mekanisme Resistensi MRSA ?

Mekanisme Resistensi MRSA


Mekanisme kerja obat antimikroba, yaitu inhibisi sintesis dinding sel, inhibisi fungsi membrane sel, inhibisi sintesis protein, dan inhibisi sintesis asam nukleat. Terdapat berbagai mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten terhadap obat (Jawetz et al, 2008).

image

Mekanisme resistensi bakteri dapat terjadi melalui beberapa cara. Pertama, organisme memiliki gen pengkode enzim, seperti β- laktamase, yang menghancurkan agen antibakteri sebelum agen antibakteri dapat bekerja. Kedua, bakteri dapat memiliki pompa penembus yang menghambat agen antibakteri sebelum dapat mencapai tempat perlekatan target dan memberikan efeknya. Ketiga, bakteri memiliki beberapa gen yang mempengaruhi jalur metabolisme yang pada akhirnya menghasilkan perubahan pada dinding sel bakteri yang tidak lagi mengandung tempat perlekatan agen antibakteri, atau bakteri bermutasi yang membatasi akses dari agen antimikroba ke tempat perlekatan target intraseluler melalui down regulation gen Porin (Tenover, 2006).

S. aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat memproduksi enzim β-laktamase. Enzim ini akan menghilangkan daya antibakteri terutama golongan penisilin seperti metisilin, oksasilin, penisilin G dan ampisilin. Adanya enzim tersebut akan merusak cincin β-laktam sehingga antibiotik menjadi tidak aktif. Strain S. aureus yang telah resisten terhadap antibiotik metisilin disebut Metichilin-Resistant Staphylococcus aureus ( MRSA ) (Sulistyaningsih, 2010).

Mekanisme resistensi S. aureus terhadap metisilin dapat terjadi melalui pembentukan Penicillin-Binding Protein (PBP) lain yang

sudah dimodifikasi, yaitu PBP2a yang mengakibatkan penurunan afinitas antimikroba golongan β-laktam. Suatu strain yang resisten terhadap metisilin berarti akan resisten juga terhadap semua derivat penisilin, sefalosporin dan karbapenem. Penisilin bekerja dengan berikatan pada beberapa PBP dan membunuh bakteri dengan mengaktivasi enzim autolitiknya sendiri. Pembentukan PBP2a ini menyebabkan afinitas terhadap penisilin menurun sehingga bakteri tidak dapat diinaktivasi. PBP-2a ini dikode oleh gen mecA yang berada dalam transposon (Salmenlina, 2002).

Semua obat β-laktam merupakan inhibitor selektif terhadap sintesis dinding sel bakteri sehingga secara aktif melawan pertumbuhan bakteri. Langkah awal kerja obat berupa pengikatan obat ke reseptor sel (protein pengikat penisilin atau protein biding penicillin atau PBP). Terdapat tiga sampai enam PBP, diantaranya adalah enzim transpeptidase. Reseptor yang berbeda mempunyai afinitas yang berbeda pula untuk suatu obat, dan masing-masing reseptor dapat memperantarai efek yang berbeda.

Setelah obat beta laktam melekat pada satu reseptor atau lebih, reaksi transpeptidase dihambat dan sintesis peptidoglikan tertahan. Langkah selanjutnya kemungkinan melibatkan perpindahan atau inaktivasi inhibitor enzim autolitik di dinding sel. Ini mengaktifkan enzim litik dan dapat menyebabkan lisis bila lingkungannya isotonik. Pada lingkungan yang sangat hipertonik, mikroba berubah menjadi protoplas atau sferoplas, hanya dilapisi oleh membran sel yang rapuh. Pada sel-sel tersebut sintesis protein dan asam nukleat dapat berlanjut beberapa waktu lamanya.

Inhibisi enzim transpeptidase oleh penisilin dan sefalosporin mungkin karena adanya kesamaan struktur obat-obat tersebut dengan asil-D-alanil-D-alanin dari pentapeptida. Resistensi terhadap penisilin dapat ditentukan oleh pembentuk enzim perusak penisilin (β-laktamase) oleh organisme. Beta-laktamase membuka cincin β-laktam penisilin dan sefalosporin serta menghilangkan aktivitas antimikrobanya. Beta-laktamase telah ditemukan pada banyak spesies bakteri gram positif dan gram negatif.

Klasifikasi beta-laktamase sangat kompleks, didasarkan pada genetika, sifat biokimia, dan afinitas substrat untuk inhibitor β- laktamase (asam klavulanat). Asam klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam adalah inhibitor beta-laktamase yang mempunyai afinitas yang tinggi untuk beta-laktamase dan dapat mengikat beta- laktamase (misal penisilinase Staphylococcus aureus ) secara ireversibel tetapi tidak dihidrolisis oleh beta-laktamase. Asam klavulanat dapat dijadikan sebagai pengobatan MRSA secara kombinasi dengan obat-obatan golongan penisilin. Inhibitor- inhibitor ini melindungi penisilin yang dapat dihidrolisis (misal, ampisilin, amoksisilin, dan tikarsilin) dari penghancuran (Jawetz et al , 2008).

Staphylococccus aureus telah resisten terhadap beberapa antibiotik, yaitu (Sulistyaningsih, 2010) :

  1. Penisilin

    Saat ini diketahui lebih dari 90 isolat S. aureus memproduksi penisilinase. Staphylococcu s yang resisten terhadap penisilin dimediasi oleh blaZ . Gen ini mengkode enzim yang disintesis ketika Staphylococcus diberikan antibiotik β-laktam. Enzim ini mampu menghidrolisis cincin β-laktam, yang menyebabkan terjadinya inaktivasi β-laktam.

  2. Metisilin

    Resistensi metisilin terjadi karena adanya perubahan protein pengikat penisilin (PBP). Hal ini disebabkan karena gen mecA mengkode 78-kDa penicillin pengikat protein 2a (PBP2a) yang memiliki afinitas yang kecil terhadap semua antibiotik β- lactam. Hal ini memudahkan S. aureus bertahan pada konsentrasi yang tinggi dari zat tersebut, resistensi terhadap metisilin menyebabkan resistensi terhadap semua agen β- lactam , termasuk sefalosporin.

  3. Kuinolon

    Fluorokuinolon pertama kali dikenalkan untuk pengobatan infeksi bakteri gram positif pada tahun 1980. Resistensi terhadap fluorokuinolon sangat cepat dibandingkan dengan resisten terhadap metisilin. Hal ini menyebabkan kemampun fluorokuinolon sebagai anti bakteri menurun. Resistensi terhadap fluorokuinolon berkembang sebagai hasil mutasi kromosomal spontan dalam target terhadap antibiotik atau dengan induksi pompa effluks berbagai obat.

  4. Vankomisin

    Vankomisin menjadi meningkat penggunaannya untuk mengobati Infeksi yang disebabkan oleh MRSA. Pada tahun 1997, laporan pertama vankomisin Intermediet Resisten S. aureus , dilaporkan di Jepang, dan berkembang di negara lain. Penurunan sensitifitas vankomisin terhadap S. aureus terjadi karena adanya perubahan dalam biosintesis peptidoglikan bakteri tersebut.

  5. Kloramfenikol

    Resistensi terhadap kloramfenikol disebabkan karena adanya enzim yang menginaktivasi kloramfenikol dengan mengkatalisis proses asilasi terhadap gugus hidroksi dalam kloramfenikol menggunakan donor gugus etil berupa asetil koenzim A. Akibatnya dihasilkan derivat asetoksi kloramfenikol yang tidak mampu berikatan dengan ribosom bakteri.

2 Likes

Sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika diawali dari ditemukannya Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an. Sejak itu resistensi tunggal maupun multiple (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar tahun 1950-an. Pada pertengahan 1970an gen-gen resisten ditemukan semakin menyebar di berbagai pelayanan kesehatan dan bahkan melibatkan organisme-organisme yang bersifat komensal di traktus respiratorius dan genitourinarius penderita yang dirawat di rumah sakit. Penyebaran bakteri resisten semakin dramatik di pertengahan 1990-an (Dwiprahasto, 2005).

Resistensi bakteri terhadap antimikroba terjadi melalui banyak mekanisme dan cenderung semakin rumit pendeteksiannya. Berbagai mekanisme genetik ikut terlibat, termasuk di antaranya mutasi kromosom, ekspresi gen-gen resisten kromosom laten, didapatnya resistensi genetik baru melalui pertukaran langsung DNA, bakteriofag, atau plasmid DNA ekstrakromosom, ataupun didapatnya DNA melalui mekanisme transformasi (Dwiprahasto, 2005).

Staphylococcus aureus berubah menjadi galur resisten metisilin (MRSA) karena mendapat sisipan suatu elemen DNA berukuran besar antara 20-100 kb yang disebut SCCmec. SCCmec selalu mengandung mec A, yaitu gen yang menyandi PBP2a (Valencia, 2015). Eksperimen dan eksplorasi genetik menunjukkan bahwa mekanisme resistensi terhadap antimikroba betalaktam diperankan oleh operon mec A. Operon mec A secara organisasi, struktur, fungsi dan mekanisme serupa dengan operon bla Z pada plasmid Staphylococcus aureus produsen betalaktamase. Regulator pada operon bla Z adalah bla I yang menyandi DNA binding protein berfungsi menekan transkripsi gen betalaktamase dan bla R1 berupa signal transduction PBP yang akan menginduksi transkripsi jika ada betalaktam. Mekanisme ini analog dengan yang terjadi pada operon mec A yang dikendalikan oleh regulator mec I dan mec R1.

Mayoritas isolat klinis MRSA sebelum tahun 1970 memiliki delesi pada gen mec R1. Diduga PBP2a pada isolat ini diproduksi secara konstitutif atau jika terjadi induksi kemungkinan berupa induksi silang dari bla R1. Pada isolat tahun 1980-an tidak ditemukan delesi pada regulator tetapi ditemukan polimorfisme pada mec I dan mutasi pada promoter mec A. Pada keadaan seperti ini terjadi penekanan atau perlambatan produksi PBP2a. Secara in vitro keadaan ini mendasari munculnya fenomena heteroresisten yaitu dalam satu biakan murni MRSA dapat ditemukan populasi sensitif dan populasi resisten sekaligus. Umumnya populasi yang resisten tumbuh lebih lambat dibandingkan populasi yang sensistif.

Selain dipengaruhi oleh perbedaan aktivitas transkripsi gen mec A , heteroresisten kemungkinan juga dipengaruhi polimorfisme gen-gen disekitar gen mec A dan pengaruh gen-gen lain disekitar SCC mec seperti gen grup hmr dan gen grup fem . Sebagai dampak dari fenomena heteroresisten ini maka identifikasi MRSA yang hanya didasarkan pada pola kepekaan terhadap antimikroba atau identifikasi MRSA dengan mendeteksi PBP2a saja akan menjadi kurang akurat. Oleh karena itu para ahli merekomendasikan baku emas untuk identifikasi MRSA yaitu dengan cara mendeteksi keberadaan gen mec A dengan metode polymerase chain reaction (PCR) (Yuwono, 2010).

Mekanisme resistensi MRSA terhadap berbagai antimikroba nonbetalaktam diduga didasari adanya bukti bahwa SCC mec mengandung transposon dan insertion sequences seperti Tn554 pada ujung 5’ mec A dan IS431 pada ujung 3’ mec A. IS431 memiliki kemampuan rekombinasi dan dapat menjadi determinan resistensi terhadap merkuri, kadmium dan tetrasiklin. Gen lain yang berada di sekitar SCC mec seperti gen gyr A diperkirakan juga berinteraksi dengan SCC mec mengakibatkan resistensi terhadap kuinolon (Yuwono, 2010).

1 Like