Bagaimana konsep Nrimo dalam pandangan budaya Jawa?

Dadi wong kuwi kudu nrimo…

Kalimat diatas sering kita dengar dari orang-orang jawa, terutama kalangan tua ?

Apakah konsep nrimo disini kita harus menerima apa saja dengan kondisi yang kita hadapi ? Apakah konsep ini masih berlaku di jaman modern seperti ini ?

Narima Ing Pandum

Salah satu nilai budaya yang dikenal dan diadopsi secara luas oleh masyarakat Jawa sampai sekarang adalah sikap Narima Ing Pandum. Menurut Koentjaraningrat (1990), sikap Narima Ing Pandum berkaitan erat dengan aspek spiritual telah melahirkan sebuah nilai fundamental dan tidak lekang ditelan jaman. Narima Ing Pandum adalah sebuah sikap penerimaan secara penuh terhadap berbagai kejadian pada masa lalu, masa sekarang serta segala kemungkinan yang bisa terjadi pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan upaya untuk mengurangi kekecewaan apabila yang terjadi kemudian ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan (Endraswara, 2012; Soesilo, 2003; Rachmatullah, 2010).

Sikap Narima Ing Pandum menjadi ciri yang cukup kuat pada pribadi individu dengan latar belakang budaya Jawa (Martiarini, 2012). Sikap Narima Ing Pandum tidak dapat disebut sebagai sikap fatalistik. Menurut Mangkunegara I (Fananie, 2005), sikap Narima Ing Pandum harus didahului dengan obah (usaha) untuk menerima dan menjalani pepesthen Gusti (takdir Tuhan) secara ikhlas sebagaimana kodrat diciptakannya manusia.

Sikap Narima Ing Pandum menuntun manusia untuk senantiasa bersyukur serta sabar dalam menerima berbagai macam cobaan kehidupan (bebendhu) (Endraswara, 2012; Suratno & Asiyanto, 2009; Hardjowirogo, 1989; Sastroamidjojo, 1972). Pada saat individu dipenuhi oleh rasa narima, sukur dan terima kasih, maka tubuh akan menjadi rileks. Kondisi rileks dapat memberikan pemijatan halus pada berbagai kelenjar tubuh, menurunkan produksi kortisol dalam darah serta menyeimbangkan pengeluaran hormon sehingga memberikan keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran (Davis, Eshelman & Mckay, 1995).

Sebagai hasilnya, manusia akan mendapatkan ketentraman serta kemampuan menyesuaikan diri terhadap dinamisasi kehidupan yang kemudian melahirkan kebahagiaan (Casmini, 2011; Dharmawati, 2011; Endraswara, 2012). Menurut Ryff dan Keyes (2002), kebahagiaan merupakan outcome variable dari kesejahteraan psikologis (psychological well-being).

Sikap Narima Ing Pandum terdiri atas beberapa fondasi nilai, yaitu sukur (kebersyukuran), sabar (kesabaran) dan narima (penerimaan) (Hardjowirogo, 1989; Soesilo, 2003; Fananie, 2005; Mulyana, 2006; Renoati, 2006; Widayat, 2006; Darmanto, 2007; Suratno & Astiyanto, 2009; Endraswara, 2012).

Fondasi sukur, sabar, dan narima yang kuat menyebabkan sikap Narima Ing Pandum menjadi mudah terpatri pada jiwa seseorang sehingga dapat menerima segala keadaan dengan lapang dada serta tidak terjebak memikirkan pengalaman pahit masa lalu dan ketidakpastian masa depan (Endraswara, 2012; Mulyana, 2006; Widayat, 2006).

Syukur (sukur) merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan positif atas limpahan anugrah yang telah diterima, kemudian berkembang menjadi suatu sikap serta kebiasaan dan akhirnya memengaruhi seseorang dalam bereaksi terhadap lingkungannya (Emmons & McCullough, 2003). Sabar merupakan sebuah sandaran nilai ketahanan yang banyak digunakan ketika orang menghadapi persoalan psikologis, misalnya menghadapi situasi yang penuh tekanan (stress), menghadapi persoalan, musibah atau ketika sedang mengalami kondisi emosi marah (Subandi, 2011).

Sedangkan narima adalah sebuah keyakinan bahwa manungsa sakdrema nglakoni urip (manusia hanya sekedar menjalani hidup) dan **Gusti kang wenang nemtoake (Tuhan yang berwenang menentukan) (Aksan, 1995; Darmanto, 2007; Suratno & Astiyanto, 2009). Sikap Narima Ing Pandum sudah sangat melekat dalam kesadaran sosial dan sangat cocok diinternalisasikan pada masyarakat Jawa (Koentjaraningrat, 1990).

Salah satu usaha untuk menginternalisasikan sikap Narima Ing Pandum adalah melalui program psikoedukasi. Berbagai penelitian telah menunjukkan keuntungan psikoedukasi, yaitu meningkatkan sikap penerimaan, strategi koping, pemecahan masalah, menurunkan stres, dan membawa perubahan positif (Oshodi, Adeyemi, Alna & Umeh, 2012), membantu mengurangi beban, meningkatkan kualitas pendampingan fisik dan mental pendamping (Navidian, Kemansaravi, & Rigi, 2012), meningkatkan fungsi sosial, kepuasan hidup, pengetahuan, harapan serta keberdayaan pada ODS, menurunkan distress, peningkatan well-being dan fungsi keluarga pendamping secara keseluruhan (Drapalsky, Leith, & Dixon, 2009).

Hal ini juga dapat diperkuat dengan memberikan pengelolaan stres dan teknik coping yang lain, seperti pendekatan naratif dan meditasi (Greenberg, 2002; Stern, Doolan, Staples, Szmukler & Eisler, 1999). Melalui pendekatan naratif, partisipan didorong untuk menceritakan pengalaman yang berkaitan dengan keadaan yang selama ini dihadapinya. Hal ini dapat membantu pendamping untuk mengenali kekuatan diri, potensi, serta berbagai kemungkinan untuk bertindak dan tumbuh (Stern dkk, 1999).

Sedangkan meditasi dapat membantu partisipan untuk secara sadar menjadi rileks. Hal tersebut menyebabkan pikiran berubah menjadi tenang, rileks, dan terpusat (Broto, 1994; Davis, Strasburger & Brown, 2007; Endraswara, 2012; Navidian, Kemansaravi, & Rigi, 2012). Pemberian teknik semadi (meditasi) di beberapa sesi didasarkan pada nilai budaya Jawa eneng, ening dan eling. Soesilo (2003) mengatakan bahwa saat menghadapi goncangan, musibah, maupun tekanan kehidupan hendaknya belajar untuk bersemadi (meditasi) dengan eneng (diamnya raga), ening (heningnya cipta) dan eling (sabar, sukur dan menyandarkan diri pada kuasa Tuhan).

Menurut Endaraswara (2012), ada banyak cara semadi (meditasi), seperti tapa, zen, relaksasi, dan yoga. Semuanya bermuara pada olah cipta dan rasa yang melahirkan ketenangan serta kebahagiaan. Semadi (meditasi) berarti :

  1. melihat ke dalam diri secara proporsional,
  2. menumbuhkan kesadaran diri agar mengetahui kekurangan dan kelebihan,
  3. membayangkan keadaan teduh, indah dan nyaman sehingga lahirlah ketenteraman,
  4. melepaskan pikiran dan perasaan yang mengganggu sehingga lahirlah kebahagiaan (Endraswara, 2012).

Pemberian teknik semadi (meditasi) dilakukan karena family caregiver telah menghadapi kehidupan yang penuh dengan tekanan. Diperlukan teknik penurunan stess yang disesuaikan dengan latar belakang budaya mereka.