Bagaimana konsep kesetiaan dalam bushido?

Jepang merupakan salah satu negara yang selalu memelihara dan melestarikan budaya bangsanya. Jepang memiliki kaeanekaragaman seni dan budaya serta kebiasaan-kebiasaan yang unik. Kebiasaan ini timbul karena pengaruh kepercayaan masyarakat, pengaruh yang terbesar datang dari dari pemikiran-pemikiran seperti yang tertuang di dalam taoisme, konfusianisme, serta pengaruh agama-agama yang masuk ke Jepang, seperti Buddha dan Shinto. Pemikiran – pemikiran ini selanjutnya menciptakan sebuah konsep di dalam masyarakat Jepang. Salah satunya yaitu konsep kesetian yang diajarkan di dalam kepercayaan tersebut, seperti kesetian para samurai para tuannya.

Di dalam budaya masyarakat Jepang kesetiaan adalah kehormatan tertinggi seorang samurai. Kehormatan seorang samurai pertama kali diberikan kepada tuannya yang paling berkuasa dan kepada keluarganya. Seorang samurai wajib untuk mengabdi kepada tuannya, sekalipun tuannya adalah seorang jenderal militer, tuan tanah feodal, atau kepala keluarga. Perintah seorang atasan tidak boleh ditanyakan. Mereka harus mengikutinya dengan kemampuan terbaik seorang samurai, sekalipun jika hal ini membuat ketidakbahagiaan atau menyebabkan kematian.

Hidup seorang pelayan bergantung pada tuannya. Mereka harus mengorbankan apa pun yang diminta tuannya. Keadilan dalam diri seorang samurai tentunya juga dituntut dalam melaksanakan pengabdianya kepada tuan. Ketidakadilan bisa menjadikan samurai rendah dan tidak manusiawi. Samurai menanamkan etika khusus dalam kesehariannya menjalankan kesetiaan kepada tuan. Bentuk kesetiaan ini lahir dalam bushido dan masih diterapkan oleh masyarakat Jepang hingga saat ini, seperti dalam kesetian rakyat kepada kaisar dan kesetian karyawan kepada perusahan.Kesetian ini yang tercantum dalam masyarakat Jepang yang menjadi pengangan hidup orang Jepang, karena kesetian adalah salah satu nilai mendasar dalam bushido oleh karena itu orang Jepang terkenal dengan kesetiaannya.

Dalam Bushido terdapat konsep kesetiaan samurai yang disebut dengan Chūgo ( 忠 義 – Loyal) yang bermakna menjaga kesetiaan kepada satu pimpinan dan guru kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Kesetiaan seorang ksatria tidak saja saat pimpinannya dalam keadaan sukses dan berkembang. Bahkan dalam situasi dimana hal-hal yang tidak diharapkan terjadi dan pimpinan mengalami banyak beban permasalahan, seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya.

Dalam Bushido hubungan samurai dan tuannya sangat erat yaitu mempunyai hubungan dari generasi ke generasi yang dimantapkan dengan hubungan persamaan senasib. Samurai harus menjaga kehormatan tuannya agar harga diri tuanya tidak ternoda. Selain itu, hubungan samurai dan tuannya bukan hanya sekedar hubungan tuan dan pengikutnya melainkan seperti hubungan keluarga.

Saat ini nilai kesetiaan dalam bushido, tetap diterapkan oleh masyarakat Jepang, namun tentunya dengan praktik yang tidak lagi sama dengan apa yang dilakukan samurai pada zaman feodal.

Benedict (1982) bushido adalah tata cara samurai yang merupakan sebuah perilaku tradisioanl yang ideal. Inazo Nitobe (dalam Benedict, 1982) mengatakan bushido adalah sebuah perilaku perpaduan atara kehormatan, kesopanan, pengendalian diri dan kesetian.

Dalam sejarah Jepang, samurai merupakan prajurit yang indentik dengan senjata pedang yang digunakan untuk membela diri dan digunakan dalam perperangan. Samurai adalah golongan kesatria yang mempunyai sebuah kode etik dalam feodalisme jepang yang lebih di kenal dengan sebutan bushido .

Bushido sering menekankan beberapa kombinasi dari kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni bela diri, dan kehormatan sampai mati. Di dalam tradisi Samurai ada istilah junshi (mati mengikuti kematian tuan), ini berdasarkan pada “kebudayaan rasa malu”. Salah satu kisah melegenda mengenai junshi ini ialah peristiwa bunuh diri 47 ronin (samurai tak bertuan) yang merupakan anak buah samurai Asano Takumi Naganori. Mereka bunuh diri bersama di depan makam tuannya karena merasa tak sanggup hidup tanpa membalas budi baik tuannya. Jalan kematian dipilih supaya bisa mendampingi tuannya pada saat reinkarnasi nanti.

Menurut Suryohadiprodjo (1981), bushido adalah salah satu kode etik kaum samurai yang yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama buddha, khususnya ajaran zen, dan shinto. Bushido mengandung keharusan samurai untuk senang tiasa memperhatikan :

  • kejujuran
  • keberanian
  • kemurahan hati
  • kesopanan
  • kesungahan
  • kehormatan/harga diri
  • kesetian.

Menurut Yamamoto (1979), kesetiaan merupakan salah satu nilai Bushido yang paling menonjol di antara nilai-nilai lainnya. Arti dari kesetiaan di sini adalah kesetiaan Bushi sebagai pengikut terhadap tuannya yang diwujudkan sebagai hidup dengan melayani tuannya melalui tindakan dan dengan pikiran bahwa seluruh ajaran dan latihan yang dijalani Samurai pun merupakan sebuah reputasi dari sosok yang sesuai dengan kesetiaan.

Bushido menurut Tsunetomo dalam Situmorang (1995 : 24-25) adalah janji untuk mengabdikan diri bagi tuannya. Menurutnya, para anak buah mempunyai satu tujuan hidup yaitu mengabdi kepada tuan. Hal ini mempunyai pengertian yaitu :

  • Secara absolut mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga terhadap tuan.

  • Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan.

Menurut Tsunetomo , selain janji dengan tuan, anak buah tidak memperdulikan apapun. Janji mengabdikan diri bagi tuan tidak ada duanya, tidak memperdulikan nasehat Saka, Koshi, dan Amaterasu Omikami walaupun akan jatuh ke neraka, walaupun dapat hukuman dari dewa, tidak ada pilihan lain kecuali mengabdikan diri bagi tuan. Menurut Watsuji dalam Situmorang (1995 : 25), pikiran seperti ini tidak memperdulikan benar atau salah, untung atau rugi, rasional atau tidak rasional. Inilah inti pemikiran pengabdian diri dalam bushido .