Bagaimana konsep hadiah dalam Islam?

Hadiah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain tanpa adanya timbal balik atau kompensasi secara langsung.

Bagaimana konsep hadiah dalam Islam?

Secara sederhana hadiah dapat diartikan sebagai pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud memuliakan. Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk mengagungkan atau rasa cinta. Menurut istilah fikih, hadiah didefinisikan sebagai berikut:

  1. Zakariyya Al-Anshari
    Hadiah adalah penyerahan hak milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.

  2. Sayyid Sabiq
    Hadiah itu seperti hibah dalam segi hukum dan maknanya. Dalam pengertian ini, Sayyid Sabiq tidak membedakan antara hadiah dengan hibah dalam segi hukum dan segi makna. Hibah dan hadiah adalah dua istilah dengan satu hukum dan satu makna. Sehingga ketentuan yang berlaku bagi hibah berlaku juga bagi hadiah.

Maka, hadiah merupakan pemberian harta kepada seseorang untuk membuat senang tanpa adannya paksaan dari keduannya. Adapun yang menjadi landasan dalam pemberian hadiah yaitu terdapat dalam firman Allah dalam surah Al-Mudatstsir ayat 6 yang berbunyi: Artinya: “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”.

Dan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: Artinya: “Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kaki kambing depan dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya”. (H.R. Turmuzi).

Adapun keutamaan dalam pemberian hadiah dapat dilihat dari efek positif dalam jiwa penerimanya. Seperti hilangnya rasa dendam dan permusuhan serta timbulnya kasih sayang antar sesama.

Rukun Hadiah

Adapun yang menjadi rukun dalam hadiah yaitu wahib (pemberi), mauhub lah (penerima), mauhub (barang yang dihadiahkan), shighat (ijab dan qabul).

  1. Wahib (pemberi)
    Wahib (pemberi) adalah orang yang memberikan hadiah atau pemindahan kepemilikan. Wahib (pemberi) hadiah sebagai salah satu pihak pelaku dalam transaksi hadiah disyaratkan:
  • Ia mestilah sebagai pemilik sempurna atas sesuatu benda yang dihadiahkan. Karena hadiah mempunyai akibat perpindahan hak milik, otomatis pihak pemberi hadiah dituntut sebagai sebagai pemilik yang mempunyai hak penuh atas benda yang dihadiahkan itu.

  • Pihak pemberi hadiah mestilah seorang yang cakap bertindak secara sempurna (kamilah), yaitu baliq dan berakal. Orang yang sudah cakap bertindaklah yang bisa dinilai bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah sah, sebab ia sudah mempunyai pertimbangan yang sempurna.

  • Pihak pemberi hadiah hendaklah melakukan perbuatannya itu atas kemauan sendiri dengan penuh kerelaan, dan bukan dalam keadaan terpaksa, orang-orang yang dipaksa menghadiahkan sesuatu miliknya, bukan dengan ikhtiyarnya, sudah pasti perbuatannya itu tidak sah.

  1. Mauhub Lah (penerima)
    Karena hadiah itu merupakan transaksi langsung, maka penerima hadiah disyaratkan sudah wujud dalam artinya yang sesungguhnya ketika akad hadiah dilakukan. Oleh sebab itu, hadiah tidak boleh diberikan kepada anak yang masih dalam kandungan. Dalam persoalan ini, pihak penerima hadiah tidak disyaratkan supaya baliq berakal. Kalau sekiranya penerima hadiah belum cakap bertindak ketika pelaksanaan transaksi, ia diwakili oleh walinya.

  2. Mauhub (barang yang dihadiahkan)
    Mauhub (barang yang dihadiahkan) adalah barang yang dihadiahkan kepada penerima hadiah. Adapun syarat dalam mauhub (barang yang dihadiahkan) yang akan diberikan yaitu:

  • Benda yang dihadiahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari pihak pemberi hadiah. Ini berarti bahwa hadiah tidak sah bila sesuatu yang dihadiahkan itu bukan milik sempurna dari pihak pemberi hadiah.

  • Barang yang dihadiahkan itu sudah ada dalam arti yang sesungguhnya ketika transaksi hadiah dilaksanakan. Tidak sah menghadiahkan sesuatu yang belum berwujud.

  • Objek yang dihadiahkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki oleh agama. Tidaklah dibenarkan menghadiahkan sesuatu yang tidak boleh dimiliki, seperti menghadiahkan minuman yang memabukan.

  • Harta yang dihadiahkan tersebut mestilah telah terpisah secara jelas dari harta milik pemberi hadiah.

  1. Shighat (ijab dan qabul)
    Dalam pemberian hadiah yang menjadi sasaran ialah kepada shighat dalam transaksi tersebut sehingga perbuatan itu sunguh mencerminkan terjadinya pemindahan hak milik melalui hadiah. Ini berarti bahwa walaupun tiga unsur pertama sudah terpenuhi dengan segala persyaratannya, hadiah dinilai tidak ada bila transaksi hadiah tidak dilakukan.

Syarat-Syarat Hadiah

Adapun syarat-syarat hadiah yaitu berkaitan dengan syarat wahib (pemberi hadiah) dan maudhub (barang). Ulama Hanabilah menetapkan 11 (sebelas) syarat diantaranya:

  1. Hadiah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan.
  2. Terpilih dan sunguh-sunguh.
  3. Harta yang diperjualbelikan.
  4. Tanpa adanya penganti.
  5. Orang yang sah memilikinya.
  6. Sah menerimanya.
  7. Walinya sebeum pemberi dipandang cukup waktu.
  8. Menyempurnakan pemberian.
  9. Tidak disertai syarat waktu.
  10. Pemberi sudah sudah mampu tasharruf (merdeka, mukallaf, dan rashid).
  11. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.