Bagaimana konsep al-Kharaj menurut Abu Yusuf dalam Ekonomi Islam?

Bagaimana konsep al-Kharaj menurut Abu Yusuf dalam Ekonomi Islam?

Bagaimana konsep al-Kharaj menurut Abu Yusuf dalam Ekonomi Islam?

1 Like

Secara etimologi pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah daribah yang berasal dari kata daraba, darban, yang artinya mewajibkan, menetapkan menentukan, memukul, menerangkan, atau membebankan. Dharibah (tunggal) atau daraib (jama’) disebut beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanannya akan dirasakan sebagai sebuah beban (pikulan yang berat). Secara bahasa maupun tradisi, daribah dalam pengunannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan daribah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban (Gusfahmi, 2007).

Adapun yang menjadi landasan hukum pajak adalah sebagai berikut:

  1. Al-Quran QS. Al-Anfal:41 (Departemen Agama RI, 2005)

    Artinya: “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
    sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul,
    kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
    beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami
    (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah
    Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 41).

  2. QS. Al-Hasyr: 7 (Departemen Agama RI, 2005)

    Artinya: “Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada
    Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
    Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
    dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang
    kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah
    dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah
    kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7).

Jenis-jenis pajak yang dipungut pada masa Abu Yusuf adalah fa’i, kharaj, usyur dan jizyah.

  1. Fa’i
    Fa’i adalah harta yang diperoleh orang-orang Islam tanpa melalui pertempuran baik dengan pasukan berkuda atau kendaraan yang lain. Seperlima dari harta fa’i diberikan kepada orang-orang yang berhak (Muhammad Ash Shalabi, 2008).

    Harta fa’i meliputi kharaj, jizyah, usyur ataupun harta perdamaian. Harta fa’i merupakan sumber dana umum yang diperuntukkan bagi Rasul dan pemerintahan serta pihak lain yang bertugas untuk mewujudkan kemashlahatan kehidupan kaum Muslimin (Said Sa’ad Marthon, 2007).

  2. Kharaj
    Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara’ (sewa) dan al-ghullal (hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009).

  3. Usyur
    Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002).

  4. Jizyah
    Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004).

Konsep Perpajakan Menurut Abu Yusuf

Abu Yusuf merupakan fuqaha pertama yang memilki buku (kitab) yang secara khusus membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik, khususnya tentang perpajakan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, usyur, zakat, dan jizyah. Kitab Al-Kharaj mencakup berbagai bidang antara lain: tentang pemerintahan, keuangan negara, pertanahan, perpajakan, dan peradilan (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), 2008).

Dalam pemerintahan, Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat populer, yaitu Tassarruf Al-Imam ala Ra‟iyyah Manutun bi Al-Mashlahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik Khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Ia sangat menentang pajak atas tanah pertanian dan mengusulkan penggantian sistem pajak tetap (lump sum system) atas tanah menjadi sistem pajak proporsional (proportional system) atas hasil pertanian. Sistem proporsional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam.

Dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya, cara ini lebih adil dan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih merekomendasikan penggunaan sistem muqasamah (proportional tax) daripada sistem misahah (fixed tax) yang telah berlaku sejak pemerintahan Khalifah Umar hingga periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah (Boedi Abdullah, 2010).

Abu Yusuf melihat bahwa sektor negara sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan warga negara melakukan campur tangan atas proses ekonomi. Bagaimana mekanisme pengaturan tersebut dalam menentukan: tingkat pajak yang sesuai dan seimbang dalam upaya menghindari perekonomian negara dari ancaman resesi, dan sebuah arahan yang jelas tentang pengeluaran pemerintah untuk tujuan yang diinginkan oleh kebijaksanaan umum. Pengaturan tersebut bergantung pada beberapa aspek penting sebagai variabel yang mesti dibenahi, yaitu pemasukan (income), pengeluaran (expenditure), dan mekanisme pasar (Euis Amalia, 2010).

Mekasnisme yang dikembangkan oleh Abu Yusuf adalah sebagai berikut:

  1. Menggantikan Sistem Wazifah dengan Sistem Muqasamah
    Wazifah dan muqasamah merupakan istilah dalam membahasakan sistem pemungutan pajak. Wazifah memberikan arti bahwa sistem pemungutan yang
    ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan, sedangkan muqasamah merupakan sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional (M. Nazori Majid, 2003).

  2. Membangun Fleksibilitas Sosial
    Meskipun hukum Islam hanya mengakui muslimin sebagai individu dengan kapasitas hukum penuh, secara bersamaan kaum non muslimin sebenarnya juga dapat menuntut adanya kepastian hukum untuk mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam apabila mereka diizinkan untuk memasuki wilayah Dar AlIslam. Seorang muslim adalah seorang yang secara alamiah berada di bawah hukum Islam dan menikmati hak-hak kewarganegaraannya secara penuh. Namun dibalik itu setiap warga negara akan menikmati haknya secara berbeda-beda, tergantung hubungan dan kepentingan mereka masing-masing. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, kelompok Musta‟min dan kelompok Zimmi. Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah masyarakatnya, dengan mengatur beberapa ketetapan khusus berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum lainnya (Mawardi, 1986).

  3. Membangun Sistem dan Politik Ekonomi yang Transparan
    Abu Yusuf memandang sangat penting sistem dan politik ekonomi yang transparan. Dengan adanya transparansi, maka akan terlihat peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan (al-adalah), kehendak bebas (al-ikhtiyar), keseimbangan (al-tawazun) dan berbuat baik (al-ikhsan) (M. Nazori Majid, 2003).

  4. Menciptakan sistem ekonomi yang otonom Abu Yusuf menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah). Perwujudannya nampak dalam pengaturan harga yang bertentangan dengan hukum supply dan demand. Selain itu semua Abu Yusuf juga memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk jangka panjang, seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil. Ketika berbicara tentang pengadaan fasilitas infrastruktur, Abu Yusuf menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik. Selain di biadang keuangan publik, Abu Yusuf juga memberikan pandangannya tentang mekanisme pasar dan harga (Adiwarman Azwar Karim, 2008).

Dalil dan Argumentasi Abu Yusuf dalam Hal Kharaj

Kharaj Yang menjadi dalil Abu Yusuf menetapkan kharaj berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Hasyr ayat 7-10. Dalam hal administrasi kharaj, Abu Yusuf menolak praktik taqbil, yaitu sistem pengumpulan kharaj dimana seseorang dari penduduk lokal biasanya mengajukan diri kepada penguasa untuk bertanggung jawab dalam memungut dan menghimpun kharaj di wilayahnya. Dia sendiri yang menemukan target penerimaan, sementara pemerintah lokal cukup menerima hasilnya sebagai penerimaan bersih (Euis Amalia, 2010).

Ia tidak menerima sistem taqbil karena menurutnya praktik semacam ini akan menjadi penyebab kehancuran negara. Para mutaqabbil sering kali berlaku kejam dan tidak menghiraukan penderitaan rakyat. Mereka memperlakukan rakyat secara tidak hormat dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Akibatnya, petani menjadi menderita dan enggan mengurus lahan pertanian dan meninggalkan mata pencaharian mereka sehingga perolehan kharaj mejadi minim. Ia menawarkan agar pemerintah menyelenggarakan penghimpunan kharaj dari para petani. Pemerintah harus memiliki departemen khusus untuk menangani persoalan kharaj dengan aparat yang terlatih dan profesional (Abu Yusuf, 1302 H).

Dalam pandangan Abu Yusuf, kondisi keuangan yang ada menuntut perubahan sistem misahah yang tidak efisien dan tidak relevan pada masa hidupnya. Ia menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Umar, ketika sistem misahah digunakan, sebagian besar tanah dapat ditanami bersama sebagian kecil yang tidak bisa ditanami. Wilayah yang ditanami bersama sebagian kecil yang tidak ditanami diklasifikasikan menjadi satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak ditanami (Adiwarman Azwar Karim, 2008).

Di sisi lain, Abu Yusuf melihat bahwa pada masanya ada wilayah yang tidak ditanami selama ratusan tahun dan para petani tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupkannya. Dalam situasi demikian, pajak yang menetapkan ukuran panen yang pasti atau jumlah uang tunai yang pasti akan membebani para pembayar pajak dan hal itu dapat mengganggu kepentingan keuangan publik.

Argumen Abu Yusuf tersebut menunjukkan bahwa jumlah pajak yang pasti berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami maupun tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk membebani pajak yang pasti tanpa mempertimbangkan kesuburan tanah tersebut karena hal itu akan mempengaruhi para pemilik tanah yang tidak subur.

Argumen kedua dan yang paling utama dalam menentang sistem misahah adalah tidak adanya ketentuan apakah pajak dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Kecenderungan perubahan harga gandum membuat cemas para pembayar pajak dan penguasa. Abu Yusuf menyadari sepenuhnya dampak perubahan harga terhadap para pembayar pajak dan pendapatan pemerintah apabila sistem misahah diterapkan dan tarif yang pasti dikenakan, baik dalam bentuk sejumlah uang tertentu maupun sejumlah barang tertentu. Ia menyatakan:

“Jika harga-harga gandum turun, pembebanan pajak dala bentuk sejumlah uang tertentu (sebagai pengganti dari sejumlah gandum tertentu) akan melampaui kemampuan para petani. Di sisi lain, pajak dalam bentuk sejumlah barang tertentu akan membuat pemerintah mengalami defisit karena menerima pendapatan yang rendah dan, sebagai konsekuensinya, biaya-biaya pemerintah akan terpengaruh” (Abu Yusuf, 1302 H).

Hal ini berarti bahwa apabila harga-harga gandum turun dan pendapatan kharaj berbentuk sejumlah gandum, perbendaharaan negara secara moneter mengalami kerugian, karena memperoleh pemasukan yang rendah dengan menjual sejumlah gandum tersebut dengan harga yang lebih rendah. Karena pemerintah harus membayar belanja negara yang sebagian besar dalam bentuk uang, hal tersebut akan turut memengaruhi pendapatan pajak. Untuk mengatasi masalah ini, jika penguasa memaksa para petani untuk membayar sejumlah uang, para petani harus membayar sejumlah gandum yang lebih banyak, yang berarti menjadi beban tambahan bagi mereka. Akibatnya, mereka akan menderita secara moneter. Sebaliknya, Abu Yusuf melihat bahwa jika harga gandum tinggi, pemerintah tidak akan membebankan pajak dalam bentuk sejumlah uang dan membiarkan para petani memperoleh dari harga-harga tersebut.

Hal tersebut mengimplikasikan, jika harga gandum tinggi, beban pajak dalam bentuk sejumlah barang akan menguntungkan keuangan negara. Dalam hal ini, pemerintah lebih suka mengumpulkan pajak dalam bentuk barang. Sementara itu, para petani lebih suka membayar pajak dalam bentuk uang karena mereka hanya membayar dalam jumlah gandum yang lebih sedikit daripada pembayaran dalam bentuk uang. Pembebanan pajak dalam bentuk sejumlah gandum, apabila harga-harga naik, akan memengaruhi para pembayar pajak secara monerter dan menguntungkan perbendaharaan negara. Hal ini menunjukkan bahwa perpajakan dengan menggunakan sistem Misahah, ketika pajak dipungut dalam bentuk uang atau barang, memiliki implikasi yang serius, baik terhadap pemerintah maupun para petani. Konsekuensinya, ketika terjadi fluktuasi harga bahan makanan, antara perbendaharaan negara dengan para petani akan saling memberikan pengaruh yang negatif. Alasan yang diberikan oleh Abu Yusuf dalam menentang sistem Misahah menunjukkan perhatiannya terhadap penerapan prinsip-prinsip keadilan dan efisiensi dalam pengumpulan pajak. Di samping itu, hal tersebut menunjukkan perhatiannya terhadap kriteria pendapatan pada saat terjadi perubahan harga-harga bahan makanan. Menurutnya, sistem Muqasamah bebas dari fluktuasi harga.

Referensi

Fauzan, Muhammad. 2017. Konsep Perpajakan Menurut Abu Yusuf. HUMAN FALAH: Volume 4. No. 2 : 172-192.