Bagaimana Kita Menyikapi Janji Allah SWT?

Janji Allah swt

Allah banyak berjanji kepada makhluk-Nya, baik urusan dunia maupun akhirat. Bagaimana sebaiknya kita menyikapinya ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary mengatakan dalam Kalam Hikmahnya sebagai berikut,

Tidak terlaksananya suatu yang dijanjikan oleh Allah, janganlah sampai membuatmu ragu terhadap jajni Allah itu. Ini agar tidak mengaburkan bashirah mu (pandangan mata batin) dan memadamkan nur (cahaya) hatimu

Kalam Hikmah diatas menerangkan kepada kita pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya yang apabila kita dalami, maka dapat kita terangkan sebagai berikut:

  • Bagi hamba-hamba Allah s.w.t., yang selalu patuh dan taat menjalankan ajaran-ajaran agamanya, di dalam hidupnya pasti akan timbul suatu “kepuasan hati” atau dengan kata-kata lain “ketetapan hati” pada sesuatu yang tidak bertentangan dengan agama.

    Misalnya ketetapan hati untuk menikah dengan seorang perempuan yang menurut kita adalah baik pada pandangan agama, untuk menjaga kita jangan sampai jatuh pada sesuatu yang tidak diridhai oleh agama. Ketetapan hati telah ada dalil-dalilnya pada kita, apakah disebabkan hasil dari mimpi kita yang tidak dikacaukan oleh iblis, dan syaitan, ataukah seolah-olah datang dari Malaikat.

  • Apabila keputusan hati atau ketetapannya datang seperti di atas, tetapi kenyataannya bahwa yang terjadi tidak seperti demikian, atau betul terjadi tetapi meleset dari waktu yang ditetapkan, maka dalam hal ini kita mesti yakin dan tidak boleh ragu-ragu bahwa janji Allah akan pasti terjadi.

Terkait ketika Allah belum memenuhi janjiNya, kemungkinan penyebabnya adalah salah satu dari tiga hal ini:

  • Mungkin janji itu akan ditukar oleh Allah dengan yang lebih baik menurut Allah. Kalau dalam contoh di atas dapat kita ambil misalnya, bahwa kita tidak diizinkan Allah menikah dengan perempuan “A”, tetapi Allah merealisasikan janjiNya bahwa kita akan menikah dengan perempuan “B”.

  • Adakalanya janji Allah ditepati olehNya di akhirat.

  • Janji Allah itu dilaksanakan olehNya, tetapi agak terlambat dari waktu yang telah ditetapkan, oleh karena mungkin saja Allah melaksanakan janjiNya ada pertalian dengan syarat-syarat atau sebab-sebab di mana kita tidak mengetahuinya sama sekali.

    Misalnya contoh di atas, yakni dilambatkan oleh Tuhan perkawinan kita itu karena Allah menghendaki agar persiapan-persiapan kita telah begitu lengkap sebelum menghadapi perkawinan. Allah s.w.t. tidak memperlihatkan syarat-syarat untuk terlaksana janjiNya itu, tidak lain selain hikmah yang dikehendaki olehNya. Dan apabila kita menoleh kepada hikmah tersebut, maka tentu saja dalam hati kita tidak timbul keraguan apa-apa tentang Allah melaksanakan janjiNya.

Wajib atas kita selaku hamba Allah mengetahui di mana ukuran kita, yang dalam hal ini kita tidak boleh mendahului Allah, dan kita harus menjaga adab kita kepadaNya. Dengan demikian maka tenanglah hati kita, yakin dan tidak ragu-ragu atas keputusan hati atau ketetapanNya di mana telah kita anggap keadaan ini sebagai janji Allah.

Apabila pendirian kita seperti ini, maka berarti aqidah kita terhadap Allah telah begitu mendalam dan pasti tidak akan tergoyang oleh apa pun. Maka barangsiapa yang telah diberi hikmah oleh Allah seperti aqidah ini, niscaya orang tersebut telah dapat disebutkan dengan ‘Aarif-Billah (yang betul-betul mengenal Allah), Saliimul Bashiirah (yang sejahtera matahatinya), Munauwarus Sariirah (yang bercahaya matahatinya).

Tetapi jika pada hamba Allah itu tidak ada dalam keyakinannya seperti yang telah kita sebutkan tadi, maka tentu saja orang tersebut adalah tidak mengetahui Allah, matahatinya rusak dan hatinya penuh dengan kegelapan yang bermacam-macam adanya.

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing