Bagaimana Kita Memaknai Masalah dalam Kehidupan?

Orang hidup itu mungkin mangalami masalah, sebaliknya kadang-kadang malah tiba-tiba kita mendapatkan rezeki

Yang namanya bencana, musibah, kesulitan itu mempunyai makna…

Pertama, dia punya makna hukuman
Kedua, punya makna peringatan
Ketiga, punya makna ujian

Kalau dihukum kan akan mendapatkan kebebasan
Kalau kita sudah menjalani hukuman berarti akan merdeka

Kalau orang diberi peringatan, akan menjadi lebih baik hidupnya
Kalau dia tau apa yang diperingatkan

Kalau diuji, berarti kamu sedang sekolah, disekolahkan oleh Gusti Allah
Berarti kamu akan naik kelas

Kalau ada kesulitan seperti sekarang, minimal kita mencari ke dalam diri kita masing-masing…

Aku ini salah apa…
Aku ini kurang apa…
Kalau aku sekolah berarti akan naik kelas…

Perjuangan ini kita lakukan dengan Kegembiraan
dan Kegembiraan itu memperkuat diri kita…

"Disaat mengalami kesulitan dan penderitaan, pahami bahwa itu penting dan anda membutuhkannya untuk tumbuh. - Emha Ainun Najib-


Bagaimana menurut anda ?

Kaum optimis, yang beragama dan malah anti agama, sama-sama berpendapat bahwa hidup ini cukup berharga, karena mengandung makna dan tujuan.

Tapi persoalan yang muncul adalah makna yang mana dan tujuan yang mana? Artinya, selain ada masalah makna dan tujuan hidup, juga tidak kurang pentingnya, ialah persoalan nilai makna dan tujuan hidup itu. Dan, karena nyatanya hampir setiap orang merasa mempunyai tujuan hidup, maka mungkin persoalan nilai makna dan tujuan hidup itu sendiri justru lebih penting. Dengan kata lain, sebagaimana diungkap terdahulu, persoalan pokok manusia bukanlah menyadarkan bahwa hidup mereka bermakna dan bertujuan, tapi bagaimana mengarahkan mereka untuk menempuh hidup dengan memilih makna dan tujuan yang benar dan baik.

Tanpa bermaksud meloncat kepada kesimpulan secara arbitrer, agama, adalah sistem pandangan hidup yang menawarkan makna dan tujuan hidup yang benar dan baik.
Agama memainkan peran penting dalam kehidupan banyak orang. Kadang-kadang agama kelihatan absurd, kadang-kadang menjadi “semacam teladan tantang apa yang sebaiknya dilakukan manusia” dalam kehidupan mereka.

Akan tetapi agama juga membuat pikiran kita terpusat pada masalah-masalah besar dan masalah-masalah yang ditimbulkan agama itu sendiri, seperti kesengsaraan dan ragam pemikiran. Waktu dan kematian tidak membawa kebaikan apa-apa terhadap diri orang yang
telah baik. Agamalah yang menafsirkan kehidupan dan kematian orang ke dalam bahasa-bahasa simbolis.

Agama dalam pandangan teologi adalah bersumber dari wahyu yang berasal dari Tuhan sendiri yang diturunkan kepada manusia ke dunia bersama-sama dengan penciptaan manusia pertama, yaitu Adam yang sekaligus menjadi Nabi yang pertama. Dalam perspektif antropologis, sosiologis, historis, dan psikologis, evolusi agama adalah suatu fenomena sosial, kultural dan spiritual.

Yaitu dari agama primitif (primitif religion) atau agama alam (natural religion) menuju bentuk yang lebih sempurna (politeisme-monoteisme) yang kita jumpai sekarang.

Agama berlandaskan pada konsep yang suci (sacred), bukan pada dunia (profane). Agama berlandaskan pada yang gaib (supernatural), bukan pada hukum-hukum alamiah (natural). Agama berisikan ajaran-ajaran kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia agar dapat hidup selamat di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada
Tuhannya, beradab, dan menjalankan aktivitas sesuai dengan petunjuk agama, tidak seperti cara-cara hidup hewan atau makhluk gaib yang jahat.

Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dan masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong, penggerak, dan pengontrol berbagai tindakan-tindakan anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.

Jika pengaruh ajaran-ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat, maka sistem-sistem nilai kebudayaan tersebut akan terwujud
sebagai simbol-simbol suci yang maknanya bersumber kepada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya.

Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat dipengaruhi, digerakkan, dan dirahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan warga masyarakat tersebut merupakan tindakan-tindakan dan karya-karya yang dibingkai oleh simbol-simbol suci.

Agama merupakan simbol keyakinan yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang bersifat pribadi dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan. Agama apa pun tidak akan dapat menghindarkan diri dari nilai-nilai esoterik yang diyakini secara ruhaniyah oleh para penganutnya sebagai “kebenaran” paling otentik dan mutiak yang dapat menyelamatkannya dari segala penderitaan lahir batin.

Melalui agama, manusia yang beriman akan senantiasa merasakan manisnya iman (kalawah al-iman) dan ketenangan jiwa (al-sakinah) serta kebahagiaan (al-sa’adah) karena terpenuhinya “fttrah” essensial ruhaniyah manusia dalam mengakui adanya kekuasaan yang Maha Kuasa di luar dirinya.

Manisnya iman, kebahagiaan, dan ketenangan jiwa tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang benar-benar menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara murni dan konsekuen.

Namun karena klaim kebenaran, maka munculah kekerasan dan konflik-konflik antar umat
beragama yang mewariskan permusuhan yang turun temurun. Konsekuensi logisnya adalah hancurnya peradaban manusia yang telah dibangun sejak waktu yang lama. Kebenaran yang ditawarkan oleh orang lain, pada akhirnya, akan dianggap salah dan bukan merupakan kebenaran dan keselamata, yang dalam bahasa agamanya disebut kafir, musyrik, dan kegelapan.