Bagaimana kisah supersemar?

image

Soeharto tidak menjalankan perintah Sukarno dalam Supersemar. Dia mengambil langkah sendiri untuk berkuasa.

Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) berisi perintah Sukarno kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum. Perintah kedua adalah meminta Soeharto untuk melindungi presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya. Namun, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno.

Langkah pertama yang dilakukan Soeharto begitu menerima surat tersebut adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 yang ditandatanganinya pukul 04.00 Sabtu, 12 Maret 1966. Surat itu dibuat mengatasnamakan presiden dengan modal mandat Supersemar yang ditafsir Soeharto sendiri.

Probosutedjo, adik Soeharto, mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada kalimat yang menyebutkan untuk membubarkan PKI di dalam Supersemar. “Tetapi Mas Harto memiliki keyakinan bahwa pemulihan keamanan hanya akan terjadi jika PKI dibubarkan,” katanya dalam memoar Saya dan Mas Harto .

Setelah itu, Kolonel Sarwo Edhie, komandan RPKAD (sekarang Kopassus), berkonvoi keliling kota untuk show of force. KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Front Pancasila, dan sejumlah organisasi massa bergabung dengan RPKAD dan Kostrad.

Menurut aktivis KAMI, Jusuf Wanandi, demonstrasi kemenangan itu merupakan show of force dan pameran persatuan unsur-unsur angkatan bersenjata yang pro-Soeharto dengan rakyat, terutama mahasiswa dan pemuda. Dalam demonstrasi tersebut, “salinan Supersemar dan surat pembubaran PKI disebarluaskan,” kata Jusuf dalam memoarnya Menyibak Tabir Orde Baru.

Sukarno marah besar melihat demonstrasi Supersemar itu. Pada 14 Maret 1966, dia memanggil semua panglima angkatan bersenjata ke Istana dan memarahi mereka. Dia menegaskan bahwa Supersemar tidak pernah dimaksudkan untuk membubarkan PKI.

Menghadapi kemarahan Sukarno, kata Jusuf, Soeharto tetap tenang. “Mungkin karena miskin, susah di masa mudanya, dia mempunyai kekuatan batin yang hebat. Dia bisa saja menyerah saat itu, tetapi dia tidak mau. Dia berlaku pura-pura tidak tahu.” Sesudahnya, Soeharto menetralisasi satu per satu para panglima itu agar berada di belakangnya.

Langkah kedua, lagi-lagi Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Sebagai pengganti, Soeharto mengangkat lima menteri koordinator ad interim (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Roeslan Abdulgani, KH Idham Chalid, dan J. Leimena) dan beberapa orang menteri ad interim sampai terbentuknya kabinet baru.

Dengan demikian, Jusuf mengakui bahwa “perjuangan kami sudah mencapai tiga perempat jalan: PKI dilarang, kabinet dirombak, dan menteri yang prokomunis disingkirkan. Namun, kekhawatiran kami yang paling besar adalah Soekarno mencabut Supersemar.”

Soeharto sudah mengantisipasinya. Tidak lama setelah menerima Supersemar, “pasal kedua mengenai perlindungan bagi Soekarno dicoret dari dokumen tersebut,” ungkap Jusuf.

Kekuatan anti-PKI mendorong Soeharto segera mengadakan Sidang MPRS untuk mengeluarkan ketetapan yang mengkukuhkan Supersemar. Pada 20 Juni-6 Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum. Pidato pertanggungjawaban Sukarno yang berjudul Nawaksara, ditolak MPRS. Pada saat yang sama, MPRS menetapkan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tetang Supersemar.

Presiden Sukarno sempat mengecam aksi Soeharto gunakan Supersemar di luar kewenangan yang dia berikan. Dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), 17 Agustus 1966, Sukarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah “ transfer of sovereignity ” dan bukan pula “ transfer of authority ”. Sama sekali bukan pengalihan kekuasaan.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya penetapan Supersemar sebagai ketetapan MPRS telah mengikis habis kekuasaan Sukarno sekaligus menghilangkan kemampuannya untuk mencegah tindakan politis yang dilakukan Soeharto atas nama surat tersebut. “Dia pun tak akan dapat mencabut surat perintah itu,” tulis Baskara dalam Membongkar Supersemar .

Menurut Jusuf, TAP MPRS itu juga tidak menyebut kewajiban untuk melindungi Sukarno, keluarga, ideologi, dan ajarannya. Padahal di dalam Supersemar disebutkan bahwa pengemban amanah wajib melakukan itu. “Inilah bukti kelicikan Soeharto agar dia tidak terdorong untuk berhadapan dengan Soekarno,” ujar Jusuf, “Pendekatan bertahap ini berhasil”

Supersemar, Jusuf menyimpulkan, adalah “kemenangan hukum dan politik Soeharto, walaupun belum sepenuhnya karena secara konstitusional Soekarno masih presiden dan masih berkuasa.” Soeharto baru berkuasa penuh ketika dilantik sebagai penjabat presiden pada 12 Maret 1967.

Setelah itu, jangankan melindungi Sukarno, Soeharto malah menjadikan Sukarno “tahanan rumah” di Istana Bogor, kemudian di Wisma Yaso di Jakarta. Sukarno juga menjalani interogasi oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang baru dihentikan setelah dia sakit parah. Selama sakit, Sukarno tidak mendapatkan perawatan yang baik, sampai meninggal pada 21 Juni 1970.

Supersemar yang otentik belum juga ditemukan hingga sekarang. Akibat dari surat perintah itu begitu mengerikan.

Menurut Asvi, naskah otentik Supersemar sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyimpan tiga versi Supersemar. Namun, setelah diuji laboratorium forensik Mabes Polri, semuanya tidak otentik alias palsu. Meski demikian, ANRI tetap menyimpannya sebagai pembanding jika suatu saat nanti naskah otentik Supersemar ditemukan.

Supersemar, lanjut Asvi, diperoleh dengan cara tekanan. Hal ini terlihat dari upaya sebelumnya melalui Hasjim Ning dan Dasaad, dua pengusaha yang dekat dengan Sukarno, yang menemui Sukarno dengan membawa surat dari Soeharto. Mereka meminta Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Sukarno marah dan sempat melempar asbak sambil mengatakan, “Kamu sudah pro-Soeharto.”

Setelah misi kedua pengusaha itu gagal, pada 11 Maret, tiga jenderal, Basuki Rachmat, M. Jusuf, dan Amirmachmud, menemui Sukarno di Istana Bogor. Merekalah yang membawa Supersemar dan menyerahkannya kepada Soeharto di markas Kostrad.

“Mayor Jenderal Amirmachmud menginterpretasikan surat itu sebagai pengalihan kekuasaan ( transfer of authority ), sesuatu yang dibantah kemudian oleh Presiden Sukarno,” ujar Asvi.

Padahal, kata Asvi, fotokopi Supersemar yang tersimpan di ANRI, meski terdapat berbagai versi, memiliki substansi yang sama, yakni pemberian tugas kepada Jenderal Soeharto untuk pengamanan jalannya pemerintahan dan pengamanan keselamatan pribadi presiden, kemudian melaporkan pelaksanaannya kepada Sukarno. Itu yang tidak sepenuhnya dijalankan Jenderal Soeharto.

“Seandainya arsip Supersemar yang otentik tidak kunjung ditemukan, hal itu tidak mengurangi kelengkapan narasi sejarah tentang pergantian kekuasaan tahun 1965/1966,” kata Asvi.

Aiko Kurasawa melihat Supersemar dari sudut pandang Dewi Sukarno, istri Presiden Sukarno dari Jepang. Menurutnya, semula Dewi sama sekali tidak sadar atas seriusnya dampak dari Supersemar itu, malah dia optimis dengan Supersemar akan dapat mengendalikan keadaan. Dewi baru menyadari ketika dia dan Soeharto bermain golf pada 20 Maret 1966. Soeharto memberi tiga opsi kepada Dewi agar dipilih Sukarno: pergi ke luar negeri untuk beristirahat, tetap tinggal tapi sebagai presiden sebutan saja, atau mengundurkan diri secara total. Soeharto merekomendasikan opsi pertama dan menyarankan Jepang atau Mekah sebagai tempat peristirahatan.

“Belakangan Dewi memberi kesaksian kepada saya bahwa begitu mendengar tiga opsi saran Soeharto itu, dia baru menyadari bahwa dia dan suaminya telah kalah dalam pertandingan ini,” kata Aiko.

Daniel Dhakidae mengatakan bahwa hampir tidak ada yang tahu pasti apakah benar ada Supersemar. Semua percaya ada, namun buktinya hampir tidak ada. Menurutnya, tandatangan Sukarno dalam Supersemar adalah palsu, apalagi yang satu dengan “Soekarno” yang lain “Sukarno”.

“Dengan demikian sesuatu yang dianggap inti Orde Baru sudah palsu,” kata Daniel.

“Kita membicarakan sesuatu yang sungguh mengerikan, historical inferno . Kalau kita mau melihatnya dari kacamata cause and effect , maka penyebabnya sama sekali sudah tidak penting. Surat itu ada atau tidak menjadi tidak penting karena konsekuensinya begitu brutal. Semua membunuh semua yang dianggap PKI,” lanjut Daniel.

Dengan dasar Supersemar, Soeharto mengeluarkan perintah pertama: bubarkan PKI, kemudian tumpas hingga ke akar-akarnya. Pembunuhan massal pun terjadi.

Setelah Supersemar, menurut Daniel, masyarakat dan sejarah Indonesia berubah total: tidak lagi extrovert versi Bung Karno yakni imperialisme/kolonialisme versus nasionalisme; tetapi menjadi terlibat versus tidak terlibat, bersih diri versus tidak bersih diri, bersih lingkungan versus tidak bersih lingkungan.

“Ketika memasuki tahap ‘bersih lingkungan’ maka terjadi criminalization of one’s genealogy , garis keturunan ke atas turut memikul beban dosa versi Orde Baru. Yang kakeknya seorang aktivis PKI terkutuk juga meskipun dia belum lahir pada tahun 1965,”

Sejarah Lahirnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)

Supersemar berawal dari terjadinya pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno membuka sidang pelantikan “Kabinet Dwikora yang Disempurnakan”, yang juga dikenal dengan istilah “Kabinet Seratus Menteri” , dinamakan istilah tersebut karena jumlah Menteri yang hadir 100 Menteri. Pada saat sidang Kabinet Seratus Menteri telah dimulai, Brigadir Jenderal Sabur merupakan Panglima Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden Soekarno) melaporkan bahwa banyak ‘pasukan liar’ atau ‘pasukan tak dikenal’ yang belakangan diketahui adalah pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang di kabinet yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Salah satu anggota kabinet tersebut adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.

Setelah mendengarkan laporan tersebut, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh langsung berangkat menuju Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan. Sidang kabinet itu sendiri akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang juga kemudian ikut menyusul ke Bogor.

Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Konon, Letnan Jenderal Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai skenario Pak Harto untuk ‘menunggu situasi’, karena cukup janggal.

Malam harinya, Letnan Jenderal Soeharto menyuruhtiga orang perwira tinggi Angkatan Darat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno, yaitu Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Brigandir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat. Setibanya di Istana Bogor, terjadi perbincangan antara tiga perwira tinggi Angkatan Darat tersebut dengan Presiden Soekarno mengenai keadaan yang terjadi. Tiga perwira tersebut menetapkan bahwa Letnan Jenderal Soeharto bisa mengntrol keadaan dan mengembalikan stabilitas keamanan nasional apabila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil tindakan.

Menurut Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, perbincangan dengan Presiden Soekarno berlangsung hingga pukul 20.30 WIB malam. Pada akhirnya, Presiden Soekarno menyetujui terhadap gagasan tersebut sehingga dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Panglima TNI Angkatan Darat agar mengambil segala kuasa yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari pukul 01.00 WIB yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Budiono. Hal tersebut berdasarkan penyampaian Sudharmono, dimana pada saat itu ia menerima telepon dari Mayor Jenderal Sutjipto selaku Ketua G-5 KOTI pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00 WIB malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) disiapkan dan harus kelar malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib Letnan Jenderal Soeharto. Bahkan, Sudharmono sempat berdebat dengan Murdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar tiba.

Latar Belakang Lahirnya Supersemar

Ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya Supersemar, diantaranya sebagai berikut:

  1. Keadaan negara secara umum dalam situasi kacau dan genting
  2. Untuk mengontrol keadaan yang tak jelas akibat pemberontakan G 30 S/PKI
  3. Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
  4. Untuk mengembalikan situasi dan wibawa pemerintah.

Itulah tadi 4 faktor yang melatar belakangi lahirnya surat perintah sebelas maret atau yang lebih dikenal dengan istilah Supersemar.