Bagaimana kisah nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu yang pertama ?

Muhammad saw

Bagaimana kisah nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu yang pertama ?

Menurut beberapa riwayat yang śaĥiĥ, Nabi Muhammad saw. pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 Ramadhan saat usianya 40 tahun. Malaikat Jibril datang untuk membacakan wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., yaitu Q.S. al-‘Alāq. Nabi Muhammad saw. diperintahkan membacanya, namun Rasulullah saw. berkata bahwa ia tidak dapat membaca. Malaikat Jibril mengulangi permintaannya, tetapi jawabannya tetap sama.

Itulah wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. sebagai awal diangkatnya sebagai rasul.

Nabi Muhammad saw adalah simbol manusia sempurna, lewat keindahan akhlaqnya, lurus prilakunya, kebersihan fitrahnya, keluasan pengalaman hidupnya, mulai berdagang ketika masih kecil, berangkat ke Syam untuk berdagang dalam perjalanan musim dingin, yang dengan safar dan dagang itu memberinya pengalaman tentang manusia, berperan serta bersama mereka dalam kehidupan nyata, memperluas wawasan.

Semua pekerjaan, perniagaan, dan keluarganya tidak merubahnya dari perenungan dan berfikir tentang kekuasaan langit dan bumi. Tidak merubahnya dari tabiatnya yang lama terdiam, suka berkhalwat (menyendiri) dari kaumnya, sehingga ia lepas dari kesibukannya. Apa yang dilakukan kaumnya yang menyembah berhala yang mereka buat sendiri, tidak nyaman di matanya, dan tidak dapat diterima akalnya.

Hal ini terjadi bukan karena kekerdilan jiwa atau menghindari kehidupan sosial. Beliau terlibat aktif dalam hilful fudhul sebelum Islam. Demikian juga statusnya sebagai pedagang tidak mungkin menyendiri dari komunitas kaumnya. Akan tetapi khalwah itu disebabkan oleh ketinggian jiwa, kemuliaan diri dari kehinaan kaumnya yang terbiasa dengan tradisi nenek moyangnya, seperti menyembah berhala, minum khamr, berjudi, berlebihan dalam kelalaian dan kenikmatan, makan harta orang lain dengan bathil.

Nabi Muhammad saw. tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang disibukkah oleh urusan hidupnya sehingga kehilangan perhatian dan pemikirannya, akan tetapi orang yang senang berfikir tentang alam semesta, langit dan bumi, dan yang ada di antara keduanya. Mencari rahasia alam semesta ini, Penciptanya, tujuan keberadaan alam semesta dan manusia.

Dari itulah beliau hidup sejak mudanya dengan perjalanan hidup yang bersih, catatan kenangan yang indah. Tak seorangpun yang dapat mencela akhlaknya atau popularitasnya. Nabi Muhammad saw tidak pernah terlibat dalam penyembahan berhala bersama dengan kaumnya, tidak pernah sekalipun bersujud pada berhala.

Khalwat di Gua Hira

Ketika Nabi Muhammad telah berusia empat puluh tahun, Beliau mulai mengalami kejadian yang merubah total hidupnya, sebagaimana perubahan sejarah menusia keseluruhannya.

Dalam keadaan terjaga Beliau lihat dengan jelas kejadian yang dilihatnya dalam mimpinya. Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata:

"Mula-mula yang Rasulullah saw. alami adalah mimpi yang baik ketika tidur, lalu tidak ada yang terlihat dalam mimpinya itu kecuali datang seperti cerahnya pagi." (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw. senang berkhalwat, menyendiri dan menjauhi khalayak ramai, berdzikir mengingat Allah swt, merenungkan ayat-ayat dalam ciptaan-Nya. Maka Beliau jadikan bulan Ramadhan sebelum masa kenabian sebagai waktu khusus untuk beribadah, Beliau tahannuts beberapa malam di gua Hira, sebuah gua di sekitar Makkah di atas bukit yang tinggi.

Di sinilah diam panjang berlangsung, hati dibersihkan dari seluruh kesibukan duniawi. Untuk khalwah ruhiyah ini Rasulullah saw. berbekal makanan dan air, berdiam di gua untuk berdzikir dan berfikir. Fikirannya disibukkan oleh alam semesta yang demikian agung, berisi ayat-ayat nyata. Dalam khalwat itulah Nabi Muhammad menemukan kejernihan jiwa, ketenangan batin, dan kebahagiaan ruhnya.

Pada malam tujuh belas Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijrah (Februari 610 M), ketika Rasulullah berada di gua Hira, melakukan seperti yang dilakukan setiap tahun, Beliau dikejutkan oleh Jibril as. terjadi dialog antara keduanya:

Jibril as : Bacalah!

Muhammad : Saya tidak bisa membaca (saya belum pernah belajar membaca dan menulis).

Kemudian Jibril memeluknya dengan pelukan kuat, kemudian dilepaskan dan berkata lagi

Jibril as : Bacalah!

Muhammad : Saya tidak bisa membaca

Kemudian Jibril memeluknya dengan pelukan kuat ke dadanya, lalu melepaskannya dan berkata:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan menggunakan pena ,(Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (Al-'Alaq: 1-5)

Inilah ayat Al-Qur’an pertama yang turun di hati Nabi Muhammad saw. Turun di bulan Ramadhan pada malam berkah yaitu malam lailatul-qadr pertama yang Allah terangkan kedudukannya:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (Al-Qadar: 1-5)

Al-Qur’an mulai turun pertama kali pada malam lailatul-qadr. Jibril turun pada malam penuh berkah, malam yang terbebaskan dari seluruh kejahatan dan syetan. Malam yang paling mulia bagi manusia, karena merupakan kejadian istimewa, yang menandai era baru dan mulai terpilihnya Muhammad saw. sebagai Nabi.

Malaikat Jibril as. mengejutkan Nabi Muhammad saw. ketika di gua hira saat beribadah kepada Allah. Jibril membacakan awal surah Al-'Alaq, sebagian ayat dari Kitabullah. Dekapan Jibril as. dengan yang sangat kuat itu untuk meyakinkan Nabi Muhammad saw, bahwa Beliau dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, kedua matanya tidak menipunya, hatinya tidak mendustakannya, dan yang mengajaknya bicara adalah Malaikat yang mulia, bukan syetan terkutuk.

Rasulullah saw. mengalami demam karena kejadian dan peristiwa yang sangat mengagetkan itu. Maka Rasulullah saw pulang ke rumahnya menemui isterinya, Khadijah dengan hati berdebar-debar, dan gemetar badannya karena kejadian yang baru saja dialami. Ia ceritakan peristiwa itu kepada isterinya, dan memintanya untuk menyelimutinya:

"Selimuti aku… selimuti aku."

Isteri shalihah itu segera menyelimuti suaminya yang mulia itu agar dapat beristirahat dengan tenang. Maka ketika Nabi saw. sudah bangun dari tidurnya itu, Beliau sampaikan peristiwa di gua Hira itu kepadanya dan berkata:

“Sesungguhnya aku sangat takut pada diriku sendiri”

Ia takut jika peristiwa ini adalah permainan syetan, atau keburukan yang akan dialaminya nanti. Akan tetapi jauh sekali kemungkinan bagi Allah Yang Maha Pemurah menghinakan seorang yang mulia akhlaqnya, harum jejaknya. Karena keindahan akhlaq dan sikap yang disaksikan oleh Khadijah ra, maka ia mengatakan dengan jujur penuh rasa dan logika, kekaguman akan pribadinya yang mulia:

"Tidaklah demikian! Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkaulah orang yang menyambung silaturrahim, benar dalam bertutur kata, mampu memikul beban berat, membantu orang yang tidak berada, memuliakan tamu dan membantu pencari kebenaran."

Kalimat Khadijah ra. memberikan ketenangan, kedamaian dan harapan ke dalam hati Rasulullah saw. Agar suaminya yang agung itu semakin tenang, Khadijah ra. membawanya ke rumah Waraqah bin Naufal, anak pamannya, seorang Nasrani di masa jahiliyah yang memiliki ilmu tentang agama-agama terdahulu. Ia meminta kepada Waraqah agar menyampaikan sesuatu kepada Muhammad saw.

Maka ketika Nabi Muhammad menceritakan apa yang dialaminya di gua Hira, Waraqah berkata:

“Itulah malaikat yang pernah datang kepada Musa, maksudnya adalah Jibril as yang Allah tugaskan untuk menyampaikan risalah dan kitab-Nya kepada para nabi dan rasul. ”

Waraqah berkhayal seandainya ia masih muda ia ingin membela Nabi yang mulia ini, dan melindunginya ketika kaumnya memusuhi dan mengusirnya dari negerinya.

Nabi Muhammad saw heran dengan penjelasan Waraqah ini dan bertanya:

“Apakah mereka akan mengusirku?”

Maka Waraqah menegaskan:

“Bahwa ini adalah keadaan para Rasul yang datang seperti yang ada pada Nabi Muhammad. Sesungguhnya musuh para Rasul itu adalah al-mutrafin (orang-orang kaya) para pelaku kejahatan. Mereka tidak akan membiarkan para Rasul menyerukan agama Allah dengan aman dan damai.”

Dengan pertemuan ini maka sempurnalah sikap Khadijah yang mulia itu. Rasulullah merasa tenang dan optimis dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Karunia besar dan pilihan langsung dari-Nya. Satu kabar gembira tentang kenabian.

Setelah itu tidak lagi turun wahyu, Jibril tidak pula datang menemui. Beberapa waktu lamanya Nabi Muhammad saw tidak pergi ke gua Hira, karena Beliau beribadah bukan untuk menjadi Nabi atau menunggu kedatangannya. Tidak juga untuk mempersiapkan dirinya menerima risalah. Tidak pernah terbayangkan dalam dirinya bahwa Beliau akan menjadi Nabi.

Kemudian beliau berkhalwat untuk berzikir dan bertafakur tentang ciptaan Allah. Beliau habiskan beberapa malam, di gua hira dengan mempersiapkan sekantung kurma dan air sebagaimana biasanya.

Ketika berjalan menuju Makkah Beliau mendengar suara memanggil:

“Ya Muhammad!”

Beliau menoleh di sekelilingnya, kiri dan kanan, tidak melihat seorangpun. Menoleh ke belakang tidak ada juga seorangpun. Lalu ia meneruskan perjalanannya. Suara itu terdengar kembali:

“Ya Muhammad!”

Beliau arahkan pandangannya ke langit, dan melihat wajah yang pernah dilihatnya pertama kali di gua Hira, turun dari langit, dalam bentuk asli malaikat, yang kedua sayap besarnya menutup cakrawala, kemudian mendekatinya, sehingga sejauh dua busur dari Nabi atau lebih dekat lagi, dan menyerukan:

“Ya Muhammad, saya Jibril, dan sesungguhnya engkau adalah Rasulullah (utusan Allah)”.

Kemudian menyampaikan firman Allah kepadanya:

"Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu, agungkanlah! Dan pakaianmu, bersihkanlah, dan perbuatan dosa, tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah." (Al-Muddatstsir: 1-7)