Bagaimana kisah kelahiran Fatimah Az-Zahra serta pertumbuhannya?

Fatimah az-Zahra

Fatimah az-Zahra, yang mempunyai arti, Fatimah yang selalu berseri, merupakan putri bungsu Nabi Muhammad saw dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah.

Bagaimana kisah kelahiran Fatimah Az-Zahra serta pertumbuhannya ?

Pada masa kehamilan Fatimah az Zahra, Khadijah ditinggal Rasulullah saw selama 40 hari untuk melaksanakan perintah Allah. Walaupun begitu, Khadijah tetap bisa menghindarkan diri dari belenggu keterasingan dan ia merasa senang dengan janin yang dikandungnya.

Imam Ja’far ash shadiq mengatakan,

“Sesungguhnya ketika Khadijah menikah dengan Rasulullah SAW, ia diejek oleh wanita- wanita Mekkah. Mereka tidak mau masuk ke tempatnya, tidak mengucapkan salam kepadanya, dan tidak membiarkan seorang wanita pun masuk ke tempatnya, sehingga Khadijah masuk ke tempatnya. Ia berduka dan bersedih hati jika Rasulullah keluar rumah. Maka ketika ia mengandung Fatimah, bayi dalam kandungannya itu menjadi temannya.

Ketika Fatimah lahir, Nabi bersimpuh sujud kepada Allah swt sebagai tanda syukur yang tak terhingga. Nabi tahu bahwa dari Fatimah lah kelak anak keturunannya akan lahir. Ia adalah anak yang paling disayangi dan yang paling menyejukkan matanya. Ummu Salamah berkata:

“Ketika Nabi menikahiku, ia menyerahkan putrinya kepadaku.

Akulah yang membesarkannya dan mendidiknya. Demi Allah! Dia lebih beradab dan terdidik dibandingkan aku; dan dia lebih alim tentang segala hal dibanding diriku”.

Ketika Fatimah lahir, wanita yang berada di hadapannya mengambilnya dan membersihkannya. Kemudian ia mengatakan

“Ambillah bayi ini, Khadijah, bayi yang suci dan disucikan, yang cerdas dan diberkahi. Ia dan keturunannya diberkahi”.

Khadijah mengambilnya dengan perasaan senang, gembira dan bahagia. Ia lalu menyusukannya. Khadijah mengetahui bahwa penyusuan dengan air susu ibu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan si anak. Dengan itu, si anak tumbuh dalam asuhan ibu sambil merasakan cinta dan kasih sayangnya. Karena itu, ia menyusukan sendiri Fatimah dan mendidiknya, agar ia dapat menyusukannya dengan air susu yang berasal dari sumber kemuliaan, keagungan, kebaikan, ilmu, keutamaan, kesabaran, dan keberanian.

Nabi diutus ketika berusia 40 tahun. Beliau bergerak sendiri untuk melakukan dakwah yang diberkahi dan menentang kekufuran. Semula beliau menyampaikan dakwahnya secara diam-diam demi menjaga risalahnya yang baru dari para musuh, sampai Allah memerintahkan beliau untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.

Ketika orang-orang Quraisy melihat bahwa Islam mulai tersiar dan tersebar di kalangan kabilah dan mereka tidak mampu mencegahnya, mereka pun sepakat untuk membunuh Rasulullah. Ketika Abu Thalib merasakan hal itu, ia bertolak ke lembahnya (Lembah Abu Thalib).

Dalam suasana berbahaya itulah Fatimah menghabiskan masa penyusuan di lembah Abu Thalib. Ia disapih di sana dan belajar di tanah yang panas di lembah tersebut. Ia belajar bicara di tengah rintihan orang-orang yang kelaparan dan tangisan anak-anak yang tak mendapat makanan.

Demikianlah hal itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Ketika berusia lima tahun, ia kembali ke rumah bersama Rasulullah dan seluruh anggota Bani Hasyim setelah mereka meninggalkan lembah dan selamat dari kelaparan.

Fatimah belum lagi bernapas lega dan belum memperoleh kesenangan ketika ia harus bersedih lantaran kematian ibunya yang menyayanginya. Kejadian yang tiba-tiba itu sungguh menyakitkan jiwanya yang lembut. Perasaannya yang halus terluka.

Abu Thalib dan Khadijah wafat pada tahun ke sepuluh kenabian. Kejadian itu membuat Nabi menjadi sangat sedih. Tahun itu dinamakan tahun kesedihan (***‘am al huzn***), karena Nabi kehilangan dua orang penolongnya dan penjaganya di Mekkah: pendamping hidupnya, ibu dari anak-anaknya (Khadijah) serta sandaran dan pembelanya (Abu Thalib). Maka berubahlah kehidupan Nabi di dalam dan di luar rumah. Orang-orang Quraisy menjadi sangat keras terhadap beliau. Gangguan dan siksaan mereka sampai pada tingkatan yang tidak pernah mereka lakukan di saat Abu Thalib masih hidup. Sampai-sampai ada di antara mereka ada yang menebarkan tanah di atas kepalanya, dan ada pula yang melemparkan perut kambing kepadanya saat beliau sedang sholat.

Kaum musyrikin Quraisy melakukan perbuatan apa saja terhadap diri Rasul Allah baik dengan ejekan, cemoohan, penghinaan dan perbuatan jahat lainnya. Pada suatu hari, Rasulullah sedang melaksanakan sholat di Ka’bah seorang diri, dan di dekatnya terdapat sekerumunan orang Quraisy. Salah seorang di antaranya mengatakan:

“Lihat itu apa yang sedang dilakukan Muhammad, tidak adakah di antara kalian yang mau pergi ke tempat pembantaian hewan dan mengambil kotoran binatang?”

Salah seorang yang paling jahat bernama Uqbah bin Abi Mu’aith setelah mengambil kotoran dari tempat pembantaian hewan, lalu melemparkan kotoran tersebut ke punggung Rasulullah yang sedang sujud. Perbuatan ini disambut tawa oleh gerombolan orang-orang quraisy yang menyaksikan perbuatan keji itu. Beberapa saat kemudian datanglah Fatimah lalu diambillah kotoran dari punggung ayahnya. Seusai sujud, Rasulullah dengan tenang berdo’a:

“Ya Allah, binasakanlah orang-orang Quraisy itu.”

Di kemudian hari Rasulullah melihat sendiri semua orang itu mati terbunuh dalam perang Badr.

Fatimah mengalami kejadian-kejadian yang menyakitkan ini sejak masa kecilnya. Ia memberikan bantuan kepada ayahnya serta melayaninya, sampai-sampai orang memanggilnya Ummu Abiha (ibu dari ayahnya) sebab dia adalah putri Nabi yang paling kecil yang selalu menemani dan menjaga Nabi SAW setelah wafatnya Siti Khadijah ra.

Sejarah telah melaporkan bahwa Nabi sering memanggil Fatimah dengan sebutan “Fatimah Ummu Abiha”, dan memperlakukan putrinya ini bagaikan ia memperlakukan ibunya sendiri. Nabi mencium tangannya dan berziarah khusus kepadanya setiap kali ia pulang ke kota Madinah. Nabi sangat manja bagaikan manjanya seorang anak kecil kepada ibunya. Ketika Nabi di masa kecilnya ditinggalkan ibunya Aminah binti Wahab, Nabi beralih kepada Fatimah binti Asad, ibu Imam Ali. Setiap kali ia melihat putrinya Fatimah, maka ia akan ingat pada Fatimah binti Asad yang merawatnya dan sangat sayang kepadanya.

Demikianlah beberapa cobaan berat terhadap ayahnya yang disaksikan sendiri di saat usianya masih sangat muda. Semua ini tidak hanya diketahui oleh Fatimah, akan tetapi juga ikut dirasakannya. Semua pengalaman yang serba berat dan keras itu turut membentuk kepribadian dan memberinya pelajaran kepadanya tentang bagaimana cara menghadapi kehidupan dan cobaan yang kelak mungkin akan dialaminya sendiri. Semua itu merupakan ujian iman untuk dapat dengan teguh menghadapi berbagai kesukaran dan kesulitan di masa yang akan datang.

Ketika Khadijah wafat, tanggung jawab di dalam rumah jatuh ke pundak Fatimah. Namun, sejarah tidak menjelaskan masa yang memilukan dan sulit dilalui oleh rumah tangga Nabi itu.

Masa itu pun berlalu. Rasulullah menikah dengan Saudah, dan kemudian dengan wanita-wanita lain. Mereka menunjukkan rasa cinta terhadap Fatimah baik dengan cara yang sama atau berlainan. Tetapi, sulit bagi seorang yatim yang kehilangan ibunya melihat orang lain menempati kedudukan ibunya. Istri dari ayah, bagaimanapun kasih sayangnya tidak akan menggantikan kemurnian cinta dan kasih sayang seorang ibu. Hanya ibulah satu-satunya yang dengan kasih sayangnya mampu memberikan ketenangan dan kekuatan di dalam hati anaknya.

Setiap kali bertambah perasaan kehilangan ibu pada diri Fatimah, bertambah pula kecintaan Nabi kepadanya dan beliau memberitahukan rasa cintanya itu kepadanya, karena beliau mengetahui apa yang dirasakan putrinya itu akibat kehilangan seorang ibu. Karena inilah, Rasulullah tidak tidur sebelum mencium tubuh dan pakaian Fatimah. Inilah ringkasan delapan tahun usia putri Nabi, Fatimah Az-Zahra.

Fatimah Az-Zahra Sebagai Seorang Putri

Partisipasi wanita shalihah atau peranannya yang bersifat edukatif dapat dilihat dari sifat-sifat ketaqwaan yang dimilikinya. Sifat taqwa yang dimiliki wanita shalihah dapat melahirkan perbuatan atau tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral, karena inti dari taqwa itu sendiri adalah taat kepada agama, sedangkan agama mengajarkan nilai-nilai moral.

Sesungguhnya Fatimah telah memiliki sifat-sifat ketakwaan tersebut. Dia telah ikut memberikan pengorbanan dan memikul pemboikotan dan kesulitan untuk membantu ayahandanya menyebarkan agama Allah, menyiarkan kalimat tauhid, dan mengibarkan panji keadilan. Beliau selalu setia mendampingi ayahnya untuk menyelamatkan manusia dalam memberi petunjuk kepada umat manusia kepada tujuan-tujuan yang suci. Dengan demikian, Fatimah Az-Zahra telah memberikan peranan penting sebagai seorang wanita shalihah yaitu ikut menyebarkan nilai-nilai moral untuk bisa mewarnai kehidupan manusia.

Referensi :

  • Abu 'Alam Al-Mishri, Taufik, Fatimah Az-Zahra Ummu Abiha , (Bandung: Pustaka Pelita, 1999), Cetakan pertama.
  • Al Hamid Al Husaini, Riwayat Hidup Siti Fatimah Az-Zahra r.a., (Semarang: CV Toha Putra, 1993).