Bagaimana kisah Fatimah Az-Zahra sebagai seorang ibu ?

Fatimah az-Zahra

Fatimah az-Zahra, yang mempunyai arti, Fatimah yang selalu berseri, merupakan putri bungsu Nabi Muhammad saw dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah.

Bagaimana kisah Fatimah Az-Zahra sebagai seorang ibu ?

Mendidik anak termasuk tugas yang sangat berarti dan urusan penting yang berat yang diletakkan pada pundak Fatimah, karena ia memperoleh lima orang anak: Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhsin yang meninggal keguguran ketika ia masih berupa janin di dalam perut ibunya. Tinggallah baginya dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

  • Kelahiran Hasan

    Pada tanggal 15 Ramadhan, 3 H, Fatimah melahirkan putra pertamanya, Hasan bin Abi Thalib. Putra pertama Fatimah ini terkenal dengan seorang yang berjiwa tenang. Tutur katanya lembut dan ia pandai bergaul dan menarik simpati orang. Karena sifat-sifatnya seperti itu, ia sangat disenangi oleh kaum muda dari kalangan Anshar dan Quraisy. Orang tua juga senang kepadanya mengingat kedudukan dan martabatnya serta hubungannya yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Hasan memiliki sifat dermawan yang sangat menonjol. Ia gemar memberikan pertolongan kepada orang lain baik diminta atau tidak.

  • Kelahiran Husain

    Al Husain dilahirkan di Madinah tanggal 5 Sya’ban tahun ke-4 H. Dilahirkan menjelang fajar, putra Fatimah ini disambut dengan kegembiraan bercampur kecemasan. Beberapa saat sesudah kelahirannya, Rasulullah SAW yang semula berwajah berseri, mendadak nampak sedih.

    “Anak ini kelak akan dibunuh oleh golongan angkara murka” ungkap Rasulullah.

    Seperti diketahui, apa yang dikhawatirkan Rasulullah beberapa saat sesudah kelahiran al Husain tersebut 56 tahun kemudian menjadi kenyataan.

  • Zainab dan Ummu Kultsum

    Fatimah juga diberkahi Allah dengan dua orang putri. Mereka adalah Zainab al-Kubra dan Zainab ash-Shughra. Bersama dengan Hasan dan Husain, kedua wanita itu sudah ditinggalkan oleh ibundanya sejak masa anak-anak. Dalam usia yang masih muda sekali ini, sebelum wafat, Fatimah telah berpesan khusus kepada Zainab al Kubra agar ia menjaga baik-baik kedua saudara laki-lakinya itu.

Fatimah bukanlah wanita berpikiran cetak yang membayangkan rumah sebagai lingkungan yang kecil dan sempit. Sebaliknya, ia menganggap lingkungan rumah luas dan penting. Baginya, rumah adalah pabrik untuk menghasilkan manusia-manusia pengemban risalah. Rumah adalah perguruan tinggi untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Rumah adalah markas untuk melatih pengorbanan, yang akan dipraktikkan nanti dalam masyarakat di luar rumah.

Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya wanita adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi mulia. Dan Allah telah menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang paling sulit dan tugas penting yang paling berat dalam kehidupan.

Beban berat bagi Fatimah sebelum meninggal dunia adalah keempat anaknya yang masih kecil itu. Dikisahkan bahwa sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir Fatimah tak dapat menahan kepedihan hatinya. Ia harus memenuhi panggilan Ilahi pada usia yang begitu muda, 28 tahun. Sedangkan anak-anaknya belum ada yang mencapai usia sepuluh tahun.

Karena itulah Fatimah memikul tanggung jawab pendidikan. Perkataan “pendidikan anak” memang singkat dan sederhana, namun maknanya dalam, luas dan sangat berarti. Pendidikan bukan hanya berarti seorang ayah memberikan makanan, minuman, dan pakaian, dan berusaha mencari nafkah, sedangkan sang ibu menyiapkan makanan, mencuci pakaian dan memperhatikan kebersihan anak, lalu tidak ada tanggung jawab lain. Islam tidak merasa cukup dengan batasan ini. Bahkan, ia menjadikan tanggung jawab kedua orang tua jauh lebih besar daripada itu dalam pendidikan anak. Karena, kepribadian seorang anak yang tak berdosa ketika dilahirkan, tergantung pada pendidikan, pengawasan, dan aturan orang tuanya. Setiap perbuatan dan tingkah laku orang tua akan berpengaruh dalam jiwa seorang anak yang halus. Si anak akan mengikuti mereka dan merefleksikan tingkah laku mereka secara utuh bagaikan sebuah cermin.

Fatimah, didikan wahyu yang tumbuh dalam asuhan kenabian ini mengetahui metode-metode pendidikan Islam. Ia tidak mengabaikannya dan tidak melupakan pengaruhnya terhadap anak, mulai dari menyusui anaknya dengan air susunya sendiri sampai perilakunya, perbuatannya, dan perkataannya. Fatimah mengetahui bahwa ia harus mendidik para pemimpin yang akan dipersembahkannya kepada masyarakat sebagai teladan Islam yang hidup sebagai gambaran, hakikat dan model Al Qur;an yang bergerak.

Akan tetapi sangat disayangkan, sejarah tidak banyak mencatat rincian dari metode yang lurus tersebut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karena program pendidikan pada saat itu berlangsung tertutup di dalam rumah, sehingga orang lain tidak mengamati secara rinci perilaku Ali dan Fatimah Az-Zahra baik perkataan dan perbuatan terhadap mereka.

Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa metode Fatimah dalam pendidikan adalah metode Islam itu sendiri. Secara singkat akan penulis tunjukkan beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari dalam keluarga Fatimah dalam pendidikan anak-anaknya antara lain:

Cinta dan kasih sayang.

Sebagian orang membayangkan bahwa masa pendidikan seorang anak dimulai ketika ia sudah dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang buruk, yang bagus dan yang jelek. Pendidikan sebelum masa itu tidak akan ada hasilnya karena si anak belum dapat menangkap apa-apa dari sekelilingnya dan lingkungannya.

Pendapat tersebut jelas tidak benar. Pakar-pakar pendidikan menekankan bahwa semua kejadian dan peristiwa yang terjadi di lingkungan seorang anak pada masa dininya, juga cara perlakuan kedua orang tua , temasuk cara penyusuannya, sangat berpengaruh terhadap si anak dan perkembangan kepribadiannya di masa mendatang.

Ahli-ahli psikologi dan pendidikan telah menetapkan bahwa di awal dan akhir masa kanak-kanak, seorang anak sangat membutuhkan cinta dan perhatian orang lain. Ia menghasratkan cinta dan keterkaitan (kedekaatan) ibu dan ayah kepadanya. Setelah itu, tidak penting lagi apakah ia hidup di istana atau di gubuk yang kosong, memakai pakaian yang bagus atau jelek, dan memakan makanan yang enak dan baik atau tidak, selama ia merasakan kehangatan, kelembutan dan kasih sayang yang dapat memuaskan perasaannya.

Hati ibu yang penuh kasih sayang dan asuhannya yang hangat serta cinta ayah yang tulus dan belas kasihnya akan memancarkan pada diri anak sumber-sumber kebaikan, semangat tolong menolong, serta cinta dan sayang kepada orang lain. Kasih sayang ini akan menyelamatkannya dari kelemahan dan ketakutan akan kesendirian dan akan memberinya harapan dalam kehidupan.

Sikap yang benar dan cinta yang dalam dan murni ini akan menumbuhkan benih kebaikan dan kebiasaan yang bagus pada diri anak. Cinta ini akan membuatnya berjiwa sosial, suka menolong dan melayani orang lain, menunjukannya jalan kebahagiaan, dan mengeluarkannya dari perilaku menarik diri dan lari dari kenyataan. Sebaliknya seorang anak yang yang tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang akan tumbuh sebagai seorang anak yang penakut, pemalu, lemah, penyendiri, pemurung, dan selalu bersedih. Ia akan berusaha menunjukkan bahwa ia tidak membutuhkan masyarakat. Ia pun melakukan kejahatan, seperti mencuri dan membunuh, untuk memberi balasan kepada masyarakat yang tidak memberinya cinta, kasih sayang, agar masyarakat mengerti bahwa ia tidak lagi membutuhkan cinta mereka yang tidak ia mereka berikan dahulu.

Ketika Nabi melewati rumah Fatimah dan mendengar Husain menangis. Maka beliau mengatakan,

”Apakah kamu tidak tahu bahwa tangisannya itu menyakitiku?”

Nabi begitu mencintai Hasan dan Husain. Pada suatu hari beliau memasuki rumah Fatimah sebagaimana yang beliau lakukan setiap hari sejak lahirnya anak-anak itu. Beliau masuk dan melihat keduanya sedang tidur, sedang Hasan lapar dan menangis. Beliau tak mendapatkan makanan. Beliau tak sampai hati membangunkan orang- orang yang paling beliau cintai itu. Dengan tenang dan tak beralas kaki beliau pergi ke biri-biri yang ada di rumah itu, memerahnya lalu memberikan susu kepada anak itu sehingga ia tenang.

Jadi, cinta dan kasih sayang termasuk kebutuhan yang paling penting dalam pendidikan anak. Pelajaran ini telah dipraktekkan dengan sangat cermat di dalam rumah Fatimah. Rasulullah telah mengajarkan hal itu kepada putrinya dalam praktik nyata.

Menumbuhkan kepribadian

Para ahli psikologi mengatakan bahwa seorang pendidik harus menumbuhkan pada anak sikap percaya diri, menghormati orang lain, dan bercita-cita tinggi. Ia harus menghargi pribadi dan keberadaannya, agar ia jauh dari perbuatan jelek dan tidak menyerah karena merasa hina dan rendah. Sebaliknya jika si pendidik meremehkannya, tidak menghormatinya, dan menghancurkan pribadinya, maka ia akan tumbuh menjadi seorang penakut, minder, dan tidak percaya diri. Ia tidak berani melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, karena ia merasa lemah dan tidak mampu mengerjakannya. Orang-orang demikian tidak akan memiliki peran dalam kehidupan dan masyarakat, cepat tunduk karena merasa hina dan rendah, dan segera menyerah karena mendapat kesulitan.

Menumbuhkan kepribadian dapat dilakukan dengan memberikan dorongan-dorongan kepada anak agar mempunyai sifat- sifat yang terpuji dengan menyebutnya di hadapan orang lain serta mengajarkannya untuk memiliki pribadi kuat dan terhormat.

Nabi sedang berbicara di atas mimbar, sedang Hasan berada di sisinya. Sekali waktu ia memandang orang-orang, sekali waktu ia memandang Nabi. Lalu Nabi mengatakan,

‘Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin.’”

Fatimah dan kedua anaknya Hasan dan Husain, datang ke tempat Rasulullah. Lalu ia berkata,

“Wahai Rasulullah, kedua anakmu ini adalah anak-anakmu. Warisilah mereka berdua sesuatu.”Maka Nabi mengatakan, “Untuk Hasan kewibawaanku dan kedudukanku, sedangkan untuk Husain keberanianku dan kedermaawananku.”

Menjadi teladan yang baik

Seorang wanita muslimah harus bisa menampilkan perilaku publik maupun personal yang mencitrakan prinsip-prinsip agama dan dakwahnya. Masalah ini sebenarnya adalah lanjutan dari kewajiban wanita muslimah. Mewujudkan syarat-syarat keteladanan adalah tanda keikhlasan dan jalan mempengaruhi orang lain. Oleh karena itu, tingkah laku seorang wanita muslimah harus bisa lebih fasih dalam menyuarakan dakwah dan lebih kuat pengaruhnya daripada ucapan dan penuturannya.

Seorang wanita muslimah harus bisa menjadi teladan pertama bagi anak-anaknya yang cepat sekali meniru dan terpengaruh dengan tingkah lakunya. Sebab anak adalah titipan terbesar setelah agama. Kepada para wanita hendaknya membentuk diri mereka dengan prinsip-prisnip kebaikan sehingga mereka akan menjadi teladan yang baik dan ditiru anak.

Imam Ghazali mengatakan bahwa anak adalah amanat pada kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata bening yang kosong dari segala pahatan dan gambar. Ia siap menerima segala sesuatu yang dipahatkan kepadanya dan mencenderungi segala sesuatu yang dicenderungkan kepadanya. Jika dibiasakan dengan kebaikan dan dididik melakukannya maka ia akan tumbuh dengan kebaikan. Sebaliknya jika ia dibiasakan berbuat buruk dan diacuhkan tanpa pendidikan maka ia akan celaka dan binasa, dan dosa akan ditanggung oleh orang yang dipasrahinya.

Anak-anak meniscayakan teladan di dalam keluarganya, dan kedua orang tuanya adalah model teladan yang terbaik baginya. Melalui keduanyalah ia menyerap prinsip-prinsip keislaman sejak dini dan menempuh kelurusan jalannya. Barangkali apa yang diciptakan Allah dalam karakter jiwa manusia berupa kecenderungan untuk meniru inilah yang dijadikan pertimbangan oleh para pakar pendidikan untuk meletakkan pendidikan keteladanan di urutan pertama daftar metodologi pendidikan.

Fatimah Az-Zahra telah menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang tepuji pada diri anak-anaknya sejak dini. Ketika Hasan dan Husain jatuh sakit, Nabi bersama Abu Bakar dan Umar menjenguknya kemudian Nabi berkata

“Wahai Abal Hasan, jika engkau bernazar untuk kedua anakmu, tentu Allah akan menyembuhkan mereka.”

Lalu Ali berkata,

“Aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.”

Begitu juga yang diucapkan oleh Fatimah dan kedua putranya. Akhirnya mereka berpuasa selama tiga hari tanpa ada makanan untuk berbuka karena Allah telah menguji kesabaran mereka dengan mendatangkan fakir miskin selama tiga hari berturut-turut ketika menjelang berbuka puasa. Fatimah Az-Zahra telah memberikan teladan yang nyata bagi kedua putranya tentang pelajaran mengutamakan orang lain atas diri sendiri.

Pelajaran iman dan taqwa

Rasulullah menanamkan ajaran-ajaran agama di rumah Fatimah sejak masa kanak-kanak yang paling awal dan masa penyusuan. Ketika Hasan dilahirkan, beliau mengazaninya di telinga yang kanan dan mengiqamahinya di telinga yang kiri. Ketika Husain dilahirkan, beliau juga melakukan hal yang sama.

Abu Abdillah mengatakan bahwa Rasulullah melakukan sholat, sedang Husain di sampingnya. Rasulullah bertakbir, namun Husain tidak bertakbir. Sampai Rasulullah bertakbir tujuh kali barulah Husain bertakbir.

Jadi, Rasulullah mengajarkan pendidikan rohani sebagai hal yang sangat penting sejak masa kelahiran. Hal ini melahirkan konsep pendidikan Islam seperti yang dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan bahwa Tugas seorang pendidik adalah menumbuhkan dan membesarkan anak atas dasar konsep pendidikan iman dan atas dasar ajaran-ajaran Islam sehingga ia terikat oleh akidah dan ibadah Islam dan berkomunikasi dengan-Nya lewat sistem dan peraturan Islam. Setelah pengarahan dan bimbingan ini, ia tidak mengenal selain Islam sebagai agama, al-Qur’an sebagai iman, dan Rasulullah SAW sebagai pimpinan dan panutan.

Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.

Rumah memiliki peranan yang sangat penting untuk menjadi salah satu media pendidikan anak. Sebab lingkungan pertama yang dilihat anak adalah rumah dan keluarganya. Gambaran hidup yang pertama-tama terbentuk di alam pikirannya adalah apa yang dilihatnya dari kondisi keseharian keluarga di dalam rumah dan cara hidup mereka. Jiwa anak kecil sangat fleksibel, menyerap segala sesuatu dan terpengaruh dengan segala pengaruh yang terjadi di lingkungannya pertama ini.

Fatimah, didikan wahyu yang tumbuh dalam asuhan kenabian ini mengetahui metode-metode pendidikan Islam. Ia tidak mengabaikannya dan tidak melupakan pengaruhnya terhadap anak, mulai dari menyusui anaknya dengan air susunya sendiri sampai perilakunya, perbuatannya, dan perkataannya. Fatimah mengetahui bahwa ia harus mendidik para pemimpin yang akan dipersembahkannya kepada masyarakat sebagai teladan Islam yang hidup sebagai gambaran, hakikat dan model Al Qur’an yang bergerak. Jelas pekerjaan ini tidak mudah. Fatimah tahu bahwa ia harus mendidik orang seperti Hasan dan Husain, yang rela mengorbankan dirinya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan penolong-penolongnya di jalan Allah, demi membela agama dan mencegah kedzaliman, agar ia dapat mengairi pohon Islam dengan darahnya.

Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya wanita adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi mulia. Dan Allah telah menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang paling sulit dan tugas penting yang paling berat dalam kehidupan.

Referensi :

  • Ali Syari’ati, Fatimah Az Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2006), hlm. 214-215.
  • Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Membangun Keluarga Qur’ani, terj. Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayati, (Jakarta: Amzah, 2005) Cetakan I.
  • Abdullah Nashih Ulwan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, terj. Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), Cetakan I.
  • Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah).