Bagaimana Kisah dan Perjuangan Syekh Siti Jenar?

Syekh Siti Jenar

Ada yang mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang wali, bahkan dianggap keluar dari ajaran Islam. Syekh Siti Jenar memang seorang tokoh Jawa yang kontroversial hingga saat ini.

Bagaimana kisah dan perjuangan Syekh Siti Jenar ?

Syekh Siti Jenar lahir pada tahun (829-930 Hijriah./1348-1446 Masehi.) dan wafat pada tahun (1524 Masehi.). Sejak kecil Syekh Siti Jenar bernama San Ali dan dikenal sebagai Syekh Abdul Jalil, ia adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh al-'Alawi binSyekh 'Isa 'Alawi bin Ahmadsyah Jalaluddin Husain bin Syekh 'Abdullah Khannuddin 'Azamat Khan bin Syekh Sayid 'Abdul Malik al-Qazam.

Syekh Siti Jenar diasuh oleh Ki Danusela, serta penasihatnya Ki Samadullah sang Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon di bawah asuhan Syekh Datuk Kahfi.
Sebuah nama (Syekh Siti Jenar) yang sangat akrab bagi masyarakat Indonesia, terutama di kalangan Jawa. Nama Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih banyak di selubungi misteri. Hingga detik ini, riwayat biografisnya masih banyak diselimuti oleh dongeng. Sedangkan nama legendaris Syekh Siti Jenar sebagai nama filosofis dan mistik, di mana yang mempunyai arti yaitu Siti berarti “tanah” dan Jenar berarti “merah”.

Ki Danusela adalah adik dari Ki Danuwarsih, seorang tokoh pendeta Hindu di Gunung Dieng Wonosobo, yang kemudian memeluk agama Islam. Ki Danuwarsih memiliki anak Endang Geulis yang kemudian menjadi istri Ki Santang atau Pangeran Walangsungsang, yang juga dikenal dengan sebutan Kiai Samadullah. Semula, Ki Danusela adalah seorang Kuwu (Kepala Wisaya) di Caruban, namun kemudian dilengserkan oleh Rsi Bungsu. Kemudian hari Rsi Bungsu ini digantikan oleh Ki Samadullah atau Pangeran Cakrabuana Adipati Sri Mangana.

Syekh Siti Jenar dikenal dengan banyak nama, antara lain Syekh Lemah Abang, Syekh Sitibrit, Syekh Jabaranta, Syekh Abdul Jalil, Syekh Siti Luhung dan Susuhunan Kajenar. Nama Syekh Siti Jenar berasal dari kata “Siddi Jinnar” yang berarti Tuan yang kekuatannya seperti api. Ia lebih populer disebut dengan Siti Jenar. Kata Siti dalam bahasa Jawa berarti lemah atau tanah dan kata Jenar adalah bahasa Kawi yang berarti kuning. Jadi, Siti Jenar berarti lemah kuning atau tanah kuning. Meskipun, kuning dan merah itu berbeda, tetapi dalam hal ini keduanya dianggap sama saja. Artinya, Syekh Siti Jenar identik dengan Syekh Lemah Abang.

Ada juga yang mengatakan Syekh Siti Jenar atau Lemah Abang berasal dari nama dukuh atau padepokan yang pernah ia pimpin. Menurut cerita Jawa, Syekh Siti Jenar berasal dari Krendhsawa dekat Cirebon. Memang antara Krendhsawa-Cirebon ada desa yang bernama Lemah Abang. Daerah yang disebut Lemah Abang yaitu terletak antara Bekasi dan Karawang, Jawa Barat, tetapi jelas bahwa daerah itu bukan tempat asal Syekh Siti Jenar. Tidak mustahil jika Syekh Siti Jenar berasal dari daerah sekitar Cirebon, karena pada masa pemerintahan Islam berpusat di Demak, Cirebon sudah menjadi salah satu tempat atau pusat penyiaran Islam yang penting di Jawa dengan Sunan Gunung Jati sebagai tokoh utamanya.

Pendidikan

Dalam buku yang berjudul Babad Tanah Jawa yang ditulis oleh Wiryapanitra dijelaskan bahwa Syekh Lemah Abang (Siti Jenar) yang tinggal di Lemah Abang yang termasuk wilayah Majapahit, ia berasal dari keturunan Buddha. Ia berguru dengan Sunan Ampel Denta atau Raden Rahmat (guru ngaji). Setelah cukup lima tahun di Ampeldenta, ia diajarkan mengaji dengan kitab-kitab seperti hukum Islam, tafsir, fiqih dan lain sebagainya. Syekh Lemah Abang juga diajari ilmu mengenai syariat, tarikat, hakikat dan makrifat, sembahyang lima waktu, puasa dan zakat fitrah. Semua itu sudah dapat terima dan dipahami oleh Syekh Lemah Abang selama 7 tahun di Ampeldenta. Syekh Lemah Abang ingin pergi berkelana ke dalam hutan. Disitu Ia menemukan sebongkah batu besar yang rata halus bagaikan tikar, kemudian istirahat disitu. Oleh karena itu hari Jumat, ia pun bersembahyang lohor. Ia merasa kerasan tinggal disitu sampai 7 bulan lamanya. Banyak pohon-pohonan yang tumbuh subur disekitar tempat itu, sampai Syekh Siti Jenar tidak mengerti arah utara dan selatan.

Kemudian Ia melanjutkan bergurunya ke Padepokan Giri Amparan Jati, disana ia diserahkan ke Syekh Datuk Kahfi (Pengasuh Padepokan Giri Amparan Jati) agar ia di didik agama Islamnya. Ia diajarkan tentang berbagai pelajaran keagamaan, seperti nahwu, sharaf, ilmu tafsir, hadits, dan ushul fiqih.

Sekitar tahun 1446 M, setelah 15 tahun Syekh Siti Jenar menimba ilmu di Padepokan Giri Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok, dan mulai berniat untuk mendalami kerohaniannya (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan paran” dirinya. Tujuan pertamanya adalah di Pajajaran, yang dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Buddha. Di Pajajaran ini, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Di dalam Kitab tersebut bahwa terdapat banyak mutiara hikmah dari Prabu Kertawijaya yang sebagian di antaranya adalah hasil pengajaran Islam dari Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Kitab Catur Viphala ini terdapat 4 pokok ajaran, yaitu : Nihsprha (suatu keadaan dimana tidak ada lagi sesuatu yang ingin dicapai manusia), Nirhana (seseorang yang tidak memiliki tujuan), Niskala (proses rohani yang bersatu dengan Tuhan), dan Nirasraya (suatu keadaan jiwa yang meninggalkan bersatunya dengan Tuhan).

Selanjutnya Syekh Siti Jenar menuju ke Palembang ia juga berguru kepada Aria Damar. Ia mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta, yang dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nuril” maksudnya adalah Cahaya Maha Cahaya atau yang kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi (martabat tujuh). Aria Damar adalah seorang penguasa ksetra Bhairawa.

Martabat 7 adalah tingkatan kezahiran rahasia Allāh Ta‟ala, seperti : pertama, ahdiyah (Dzat-Nya atau keesaan-Nya). Kedua, wahdah (Hakikatul Muhammadiyah atau sifatullah). Ketiga, wahiddiyah (Hakikat Insan, Asma dan Roh). Keempat, alam arwah (hakikat segala makhluk yang bernyawa dan Roh hayat). Kelima, alam mitsal (hakikat segala bentuk rupa). Keenam, alam ajsam (hakikat segala bentuk tubuh atau raga). Ketujuh, alam Insan (hakikat segala manusia).

Setelah dari Palembang, Syekh Siti Jenar pun melanjutkan perjalanannya ke Malaka. Di Malaka, ia memasuki dunia bisnis dengan menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Di dunia bisnis tersebut dimanfaatkan oleh Syekh Siti Jenar untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus menguji laku zuhudnya di tengah gelimpang harta. Selain menjadi Saudagar, ia juga menyiarkan agama Islam, yang diberi gelar oleh masyarakat setempat yaitu Syekh Jabaranta. Ia juga bertemu dengan Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad.

Kemudian Syekh Siti Jenar juga pernah berguru kepada Sunan Giri, namun ia merasa tidak memperoleh apa-apa dari pesantren Sunan Giri lebih tepatnya lagi, proses bergurunya Syekh Siti Jenar terhadap Sunan Giri dan beberapa wali yang lain adalah sebagai bentuk kesantunan (sikap tawadhu‟ dan wara‟nya) terhadap ulama sufi yang lain.

Perjalanan Dakwah

Agama bagi Syekh Siti Jenar bukan teori yang harus dihafal. Agama adalah sebuah jalan yang harus dilalui. Dia tidak ambil pusing dengan nama agama, walaupun agama yang disandangnya adalah Islam. Kenyataannya, keberadaan diri itulah yang menjadi bagian kesadaran Syekh Siti Jenar.

Awal mula memasuki tahun kelima abad dari pedalaman Nusa Jawa, sampailah Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar berada di Dukuh Lemah Abang yang terletak di kaki utara Gunung Mahendra (Lawu) di Lembah Selatan Bengawan Sori, tetapi Abdul Jalil memutuskan tidak tinggal disana. Ketika di Dukuh Lemah Abang, murid-murid dan pengikutnya menyebut nama baru sesuai dengan nama dukuh tempat ia mengajar, yaitu Syekh Siti Jenar yang artinya guru suci dari Dukuh Siti Jenar. Sebelumnya nama Syekh Siti Jenar itu adalah Syekh Jabarantas.

Ketika di Dukuh Siti Jenar yang terpencil itu ia tidak pernah berhenti mengajarkan Sasyahidan, belajar mati, menaklukan setan, dan menjadi manusia yang tanpa memandang seseorang dari derajat maupun pangkatnya, sehingga keberadaan ia sebagai guru yang ditandai dari berbagai kelebihan dalam waktu singkat, ia telah menjadi buah bibir penduduk yang ada disekitar dukuh Siti Jenar.

Kemudian Syekh Siti Jenar pun menjadi buah bibir dari satu mulut ke mulut yang lainnya, lalu tersebarlah nama Syekh Siti Jenar yang sebelumnya itu adalah Syekh Jabarantas, beribu-ribu orang datang meminta keberkahan dalam keselamatan dan limpahan kekeramatan kepada seorang guru. Bahkan diantara mereka ada yang mencium tangannya, mencium lututnya, sampai mencium kakinya.

Perubahan demi perubahan yang terkait dengan mahsyurnya nama Syekh Siti Jenar, sedikit pun ia tidak sadar bahwa ia sebagai manusia yang diberhalakan oleh pengikutnya. Lalu istrinya menegur dengan keras karena selama berhari hari ia membiarkan para pengikutnya memperlakukan Syekh Siti Jenar tidak semestinya dan Syekh Siti Jenar pun baru sadar kalau dia sebagai manusia yang diberhalakan oleh pengikutnya. Setelah Syekh Siti Jenar sadar, ia dan istrinya pun buru-buru mengambil keputusan untuk meninggalkan Dukuh Siti Jenar. Setelah ia meninggalkan Dukuh Siti Jenar, ia menimba ilmu sampai ke Baghdad, yang pada saat itu masih menjadi pusat ilmu Islam dan kebatinan. Jika dilihat ilmunya Syekh Siti Jenar, ia sangat dalam menimba ilmu dari Al-qur’an, sampai-sampai beliau menerima gelar “Syekh” yang berarti maha guru atau profesor.

Sekitar tahun 1463 Masehi., Syekh Siti Jenar kembali dari masa perantauannya, setelah menimba ilmu di Baghdad dan Makkah. Syekh Siti Jenar bertekad untuk mengadakan perubahan pada masyarakat Islam di Jawa, serta masyarakat keseluruhannya, menuju masyarakat yang lebih maju. Tepatnya di wilayah Cirebon, ia bisa menjadi penyiar dakwah Islamnya, dengan cara mengambil lokasi di bukit Amparan Jati, dan menyatupadukan langkah dakwah bersama Syekh Datuk Kahfi.

Sementara di bukit Amparan Jati, umat Islam pada saat itu belum siap menerima ajaran semacam ajaran Syekh Siti Jenar, karena banyak dari mereka yang baru pindah dari agama Hindu, Buddha, dan Animisme yang imannya pun masih lemah. Karena itu, akhirnya ajaran Syekh Siti Jenar dianggap meresahkan oleh masyarakat. Kemudian dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Buddha dan Animisme melakukan perlawanan secara sembunyi-sembunyi. Untuk mendomplengkan kepada salah satu anggota walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijaga.

Agar Sunan Kalijaga mengajarkan agama Islam yang benar kepada pengikut Hindu, Buddha dan Animisme. Tetapi sebenarnya Syekh Siti Jenar hanya mengajarkan sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu, Buddha dan Animisme, Jawa ke agama Islam. Oleh karena itu, menurut pengikutnya isi gerakan Syekh Siti Jenar itu selalu sinis terhadap ajaran Islam dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas dan tampak tidak masuk akal.

Ajaran Syekh Siti Jenar tidak diterima oleh pengikut Hindu, Buddha dan Animisme, kemudian ia meluaskan dakwahnya ke Banten (arah barat), ke Sumatera, sebelum akhirnya ia kembali menetap di Cirebon hingga diadili oleh dewan Walisongo di bawah keputusan trio-wali (pengadilan pertama oleh Sunan Giri, pengadilan kedua dan vonis hukuman mati di bawah kepemimpinan Sunan Bonang dan atas persetujuan Sunan Gunung Jati yang pernah menjadi muridnya).

Karya-Karyanya

Salah satu karya Syeh Siti Jenar adalah Serat Natarata. Natarata adalah bentuk serat atau tembang yang menjelaskan tentang Ngelmu Kasunyatan. Ngelmu kasunyatan membahas tentang hakikat Tuhan dan manusia serta keduanya ada hubungan dalam serat ini. Ngelmu kasunyatan juga yang dipilihnya pun lebih condong membicarakan sangkan paraning dumadi. Serat Natarata banyak diminati pembaca dan bahkan menjadi pembicaraan kontroversial tentang ajaran- ajaran yang disampaikan dinilai sebagai menggugat kemapanan. Karena serat natarata, mengulas keberadaan Tuhan beserta alam semesta yang ciptaannya dianggap nyeleneh menurut tradisi yang sesuai dengan jamannya. Serat Natarata ini ditulis oleh Kulawarga pada tahun 1958, serat ini ditulis dalam huruf latin.

Sumber : Dalilah Ukhriyati, Ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, UIN Syarif Hidayatullah

Referensi
  • Sudirman Tebba, Syekh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf al-Hallaj di Jawa (Jakarta: Penerbit Pustaka irVan, 2008).
    Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti Jenar.
    W.Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Wali Songo (Bandung
    : Mizan, 1995).
  • Wiryapanitra R, Babad Tanah Jawa (Semarang: Dahara Prize, 1991).
  • Agus Sunyoto, Suluk Malang Sungsang : Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar (Yogyakarta : Pustaka Sastra, 2005).
  • Muhammad Solikhin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
  • Muhammad Solikhin, Manunggaling Kawula Gusti: Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014).