Bagaimana Kepercayaan masyarakat Kerajaan Bone sebelum masuknya Islam?

Kepercayaan masyarakat Kerajaan Bone sebelum masuknya Islam

Bagaimana Kepercayaan masyarakat Kerajaan Bone sebelum masuknya Islam?

Kepercayaan masyarakat Kerajaan Bone sebelum masuknya Islam.


Sejak masa fajar sejarah, orang-orang Sulawesi Selatan telah mengenal nama dewa dan beberapa jenis upacara persembahan telah dilakukan. Agama pra-Islam ini selama berabad-abad menjiwai dan dipegang teguh oleh orang Bugis sebagai pedoman hidup dan hingga kini masih terasa pengaruhnya pada hasrat sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat Bugis. Orang Bugis menyebut agama asli mereka dengan istilah attoriolong , yang secara harfiah berarti “anutan leluhur” atau “tata cara nenek moyang”. Tidak jarang istilah ini digunakan sebagai legitimasi agama baru orang Bugis (Islam) sebagai agama modern.

Sebelum Islam masuk ke daerah Bone, penduduknya telah mengenal dan menganut kepercayaan asli, suatu paham dogmatis yang terjalin dengan adat istiadatnya. Pokok kepercayaannya merupakan apa saja adat/ kebiasaan hidup yang mereka peroleh dari warisan nenek moyangnya. Suku bangsa ini mempunyai ceritacerita, atau mitos yang menyatakan asal usul suku atau silsilahnya yang melalui nenek moyang naik sampai ke dewa-dewa. Mitos ini memberikan juga tentang aturan hidup, atau adat yang diberikan oleh dewa-dewa dan nenek moyangnya. Adat ini dipelihara oleh seluruh anggota suku/masyarakat, tetapi tidak di luar lingkungan ini.

Akhirnya semua anggota masyarakat suku tersebut turut dalam ibadah dewa-dewa dan nenek moyang tersebut.

1. Kepercayaan Pada Dewa (dewatae)

Dalam naskah-naskah I La Galigo, dijelaskan adanya suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggal yang oleh masyarakat pendukungnya disebut “ Dewata Seuwae ”. Dewata Seuwae dipercayai sebagai Patoto-e (dia yang menentukan nasib) dan Tenrie A’rana (pemilik kehendak yang tinggi).

Dewata Seuwae dipandang sebagai pusat kekuatan manusia, hewan dan makhluk lainnya, meliputi makhluk halus, orang yang masih hidup dan orang yang telah mati semuanya bergantung kepadanya. Dewata Seuwae sebagai pengatur alam semesta beserta segala isinya termasuk manusia, maka untuk menghormatinya, dilakukanlah pemujaan melalui upacara tradisional dan mempersembahkan sesajen. Pemujaan kepada Dewata Seuwae tidak boleh langsung, tetapi harus melalui dewadewa pembantunya. Namun dalam keadaan khusus yaitu pada saat dewa-dewa lain tidak dapat lagi melakukan kewajibannya, maka setiap orang melakukan persembahan sendiri. Berdasarkan tugas dan persembahan yang diberikan kepada dewa-dewa dalam attoriolong orang Bugis, maka para pembantu Dewata Seuwae dikelompokkan dalam tiga kelompok besar:

Dewa langit ( dewata langie ) yaitu dewa yang menghuni langit. Dewa yang menurunkan hujan, menurunkan petir, dan mendatangkan kemarau. Agar dewa ini tidak marah, maka disajikan makanan berupa empat warna nasi ketan dan disimpan di atas loteng rumah.

  • Dewata bumi ( dewata mallinoe ) yaitu dewa yang banyak menempati tempat-tempat tertentu, pohon besar, batu-batu besar, pusat bumi (posi tana/posi bola), dan sebagainya. Persajiannya dengan meletakkan telur, beberapa sisir pisang, ayam, dan empat macam warna nasi ketan.
  • Dewa air ( Dewata uwae ), yaitu dewa yang tinggal di air dan sering pula dipersonifikasikan dengan buaya. Persembahannya dengan melarutkan telur yang belum masak, empat macam warna nasi ketan, dan sebagainya. Kepercayaan seperti itu dikarenakan masyarakat mempercayai adanya kekuatan-kekuatan yang di luar kemampuan manusia dan ritual-ritual dilakukan agar pemilik kekuatan tidak marah dan tidak membuat mereka murka kepada manusia.

2. Kepercayaan Kepada Makhluk Halus ( Tau Tenrita ) dan Keramat ( Makerrek )

Selain percaya adanya dewa, mereka juga yakin bahwa di dunia alam gaib terdapat makhluk-makhluk supranatural, kedudukan makhluk ini lebih rendah derajatnya daripada dewata-dewata. Mereka tidak mengganggu manusia jika mereka diberi persembahan atau orang-orang yang memiliki jimat. Orang Bugis menamakan makhluk-makhluk halus tersebut dengan sebutan: jing, kammang, poppo parakang, dongga, dan lain sebagainya.

Orang Bugis percaya adanya kekuatan gaib dalam gejala-gejala dan peristiwaperistiwa yang luar biasa. Gejala itu dapat berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Gejala-gejala alam yang dianggap mempunyai tenaga gaib adalah angin topan ( laso angin ). Angin seperti itu, dapat merusak bangunan-bangunan besar, menumbangkan pohon-pohon, merusak tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum membangun rumah, terlebih dahulu memeriksa kayu yang bakal menjadi ramuan rumah. Ramuan rumah harus bebas dari serangan angin topan, kebakaran, dan terkena petir. Semuanya diatur dan ditetapkan oleh seorang ahli yang bernama, “ panrita bola ”. Kurangnya pengetahuan tentang gejala-gejala alam yang terjadi, sehingga masyarakat mempunyai larangan-larangan ( pemmali ) dalam melakukan aktifitas kesehariannya dan meminta pertimbangan kepada orang-orang pintar untuk menghindarkan mereka dari gejala-gejala alam tersebut.

3. Kepercayaan Kepada Arajang

Di samping kepercayaan tersebut, terdapat pula keyakinan bahwa bendabenda yang dianggap turun dari kayangan bersama To Manurung yang disebut “ arajang ” adalah sakti. Hampir di setiap daerah di Sulawesi-Selatan, seperti Bone, Gowa, Luwu, Soppeng, dan lain-lain, To Manurung datang dengan benda-benda atau peralatan-peralatan sakti. Menurut kepercayaan masyarakat pendukungnya, bahwa To Manurung adalah keturunan dewa di atas langit yang dijelmakan di alam kayangan.

To Manurung yang turun di Bone bernama Mata Silompoe, dia datang membawa arajang yang berbentuk payung ( pajung ), tepat sirih, gendang, dan sebagainya. Kedatangan To Manurung bersama dengan benda saktinya ( arajang ), dapat menertibkan masyarakat dan menjamin keamanan dari bahaya, baik dari sesamanya maupun di sekitar lingkungannya, termasuk alam gaib. Ada dua sebab benda tersebut dianggap mempunyai sifat luar biasa, yaitu karena cara menemukannya atau kedatangannya dan bentuk yang tidak lazim.

Dengan demikian, setiap manusia atau masyarakat mempunyai kecenderungan untuk mempercayai akan adanya kekuatan gaib atau kekuatan supranatural. Kepercayaan itu kemudian mendorong timbulnya perilaku keagamaan dalam kehidupan sosial dari masyarakat pendukungnya. Karena itu mereka melakukan upacara-upacara sesembahan kepada sang pemilik kekuatan sebagai bentuk pengabdian mereka, agar mereka dikasihi oleh pemilik kekuatan tersebut dan memelihara mereka dari berbagai bencana.

Bentuk pemujaan yang ditunjukkan oleh masyarakat atau individu pra agama samawi, menandakan bahwa mereka memang meyakini adanya kekuatan dahsyat di luar dirinya, hanya saja karena keterbatasan akal dan pikirannya sehingga mereka menunjukkan melalui pemujaan terhadap leluhurnya ataupun pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan dahsyat.

Dalam kajian tentang islamisasi, maka dianggap penting untuk menguraikan bagaimana karakteristik budaya masyarakat pra-Islam, yang dalam kajian ini mengenai masyarakat Bone pra-Islam. Islamisasi merupakan proses penyebaran Islam, maka proses itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari proses akulturasi. Menurut Koentjaraningrat, bahwa dalam melakukan studi tentang proses akulturasi, maka perlu diperhatikan beberapa hal, salah satu diantaranya adalah keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan. Uraian ini akan membantu dalam menganalisis mengapa Islam diterima atau ajaran Islam tidak mudah didamaikan dengan kebudayaan lokal. Di samping itu dalam proses akulturasi tersebut, akan muncul varian-varian sikap kultur, seperti menolak ( rejection ), negosiasi ( negosiation ) ataukah menerima secara penuh ( reception ). Varian-varian sikap kultur tersebut, ditentukan oleh karakter dari kedua budaya yang berakulturasi tersebut

Kepercayaan Masyarakat Bone Sebelum Masuk Islam

Sejak masa fajar sejarah, orang-orang Sulawesi Selatan telah mengenal nama dewa dan beberapa jenis upacara persembahan telah dilakukan. Agama pra-Islam ini selama berabad-abad menjiwai dan dipegang teguh oleh orang Bugis sebagai pedoman hidup dan hingga kini masih terasa pengaruhnya pada hasrat sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat Bugis. Orang Bugis menyebut agama asli mereka dengan istilah attoriolong, yang secara harfiah berarti “anutan leluhur” atau “tata cara nenek moyang”.Tidak jarang istilah ini digunakan sebagai legitimasi agama baru orang Bugis (Islam) sebagai agama modern.

Sebelum Islam masuk ke daerah Bone, penduduknya telah mengenal dan menganut kepercayaan asli, suatu paham dogmatis yang terjalin dengan adat istiadatnya. Pokok kepercayaannya merupakan apa saja adat/ kebiasaan hidup yang mereka peroleh dari warisan nenek moyangnya. Suku bangsa ini mempunyai ceritacerita, atau mitos yang menyatakan asal usul suku atau silsilahnya yang melalui nenek moyang naik sampai ke dewa-dewa. Mitos ini memberikan juga tentang aturan hidup, atau adat yang diberikan oleh dewa-dewa dan nenek moyangnya. Adat ini dipelihara oleh seluruh anggota suku/masyarakat, tetapi tidak di luar lingkungan ini. Akhirnya semua anggota masyarakat suku tersebut turut dalam ibadah dewa-dewa dan nenek moyang tersebut.

Kepercayaan masyarakat Kerajaan Bone sebelum masuknya Islam.

a. Kepercayaan Pada Dewa (dewatae)

Dalam naskah-naskah I La Galigo, dijelaskan adanya suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggal yang oleh masyarakat pendukungnya disebut “Dewata Seuwae”. Dewata Seuwae dipercayai sebagai Patoto-e (dia yang menentukan nasib) dan Tenrie A’rana (pemilik kehendak yang tinggi). Dewata Seuwae dipandang sebagai pusat kekuatan manusia, hewan dan makhluk lainnya, meliputi makhluk halus, orang yang masih hidup dan orang yang telah mati semuanya bergantung kepadanya. Dewata Seuwae sebagai pengatur alam semesta beserta segala isinya termasuk manusia, maka untuk menghormatinya, dilakukanlah pemujaan melalui upacara tradisional dan mempersembahkan sesajen. Pemujaan kepada Dewata Seuwae tidak boleh langsung, tetapi harus melalui dewadewa pembantunya. Namun dalam keadaan khusus yaitu pada saat dewa-dewa lain tidak dapat lagi melakukan kewajibannya, maka setiap orang melakukan persembahan sendiri. Berdasarkan tugas dan persembahan yang diberikan kepada dewa-dewa dalam attoriolong orang Bugis, maka para pembantu dewata seuwae dikelompokkan dalam tiga kelompok besar:

  1. Dewa langit (dewata langie) yaitu dewa yang menghuni langit. Dewa yang menurunkan hujan, menurunkan petir, dan mendatangkan kemarau. Agar dewa ini tidak marah, maka disajikan makanan berupa empat warna nasi ketan dan disimpan di atas loteng rumah.

  2. Dewata bumi (dewata mallinoe) yaitu dewa yang banyak menempati tempat-tempat tertentu, pohon besar, batu-batu besar, pusat bumi (posi tana/posi bola), dan sebagainya. Persajiannya dengan meletakkan telur, beberapa sisir pisang, ayam, dan empat macam warna nasi ketan.

  3. Dewa air (Dewata uwae), yaitu dewa yang tinggal di air dan sering pula dipersonifikasikan dengan buaya. Persembahannya dengan melarutkan telur yang belum masak, empat macam warna nasi ketan, dan sebagainya. Kepercayaan seperti itu dikarenakan masyarakat mempercayai adanya kekuatan-kekuatan yang di luar kemampuan manusia dan ritual-ritual dilakukan agar pemilik kekuatan tidak marah dan tidak membuat mereka murka kepada manusia.

b. Kepercayaan Kepada Makhluk Halus (Tau Tenrita) dan Keramat (Makerrek)

Selain percaya adanya dewa, mereka juga yakin bahwa di dunia alam gaib terdapat makhluk-makhluk supranatural, kedudukan makhluk ini lebih rendah derajatnya daripada dewata-dewata. Mereka tidak mengganggu manusia jika mereka diberi persembahan atau orang-orang yang memiliki jimat. Orang Bugis menamakan makhluk-makhluk halus tersebut dengan sebutan: jing, kammang, poppo parakang, dongga, dan lain sebagainya

c. Kepercayaan Kepada Arajang

Di samping kepercayaan tersebut, terdapat pula keyakinan bahwa bendabenda yang dianggap turun dari kayangan bersama To Manurung yang disebut “arajang” adalah sakti. Hampir di setiap daerah di Sulawesi-Selatan, seperti Bone, Gowa, Luwu, Soppeng, dan lain-lain, To Manurung datang dengan benda-benda atau peralatan-peralatan sakti. Menurut kepercayaan masyarakat pendukungnya, bahwa To Manurung adalah keturunan dewa di atas langit yang dijelmakan di alam kayangan.