Bagaimana kedudukan Penyadapan telepon dalam alat bukti?

Bagaimana syarat dan kewenangan melakukan penyadapan dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK? Bagaimana kedudukan rekaman penyadapan telepon itu sendiri sebagai pembuktian dalam tindak pidana korupsi?

Kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan telepon diatur
dalam pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan dalam pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Dasar hukum lainnya adalah pasal 42 ayat
(2) huruf b UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan, untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan
penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

Mengenai syarat melakukan penyadapan telepon yang dilakukan
oleh KPK, diatur dengan Standard Operational Procedures (SOP) tersendiri dan berdasarkan Keputusan KPK itu sendiri. Mengutip penjelasan dari salah satu pimpinan KPK Chandra M. Hamzah, proses penyadapan di KPK dilakukan cukup ketat, ada formulirnya, jangka waktunya, pertimbangan, dan hasil yang diharapkan.
Setiap tahun pelaksanaan penyadapan KPK juga diaudit oleh tim khusus yang dibentuk berdasarkan Permenkominfo No. 11/PER/M.KOMINFO/020/2006 (lebih jauh baca: KPK: Penyadapan Atas Permintaan Antasari Sesuai SOP).

Mengenai kedudukan rekaman penyadapan telepon sebagai alat
bukti dalam persidangan, pasal 26A huruf a UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu. Jadi, rekaman penyadapan telepon adalah sebagai alat bukti petunjuk.

Berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dalam hal ini, berdasarkan pasal 188 ayat (3) KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Sumber: hukumonline.com