Bagaimana Kebudayaan Hindu di Tanah Jawa?

hindu di jawa
Bagaimana Kebudayaan Hindu di Tanah Jawa ?

Prasasti Mantyasih

Kerajaan Mataram Hindu pernah memimpin peradaban di tanah Jawa dengan mewariskan peradaban luhur dan agung. Sumber penulisan sejarah Mataram Kuno yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan pada masa Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907. Warisan tulisan sejarah ini merupakan dokumen penting demi penyusunan sejarah.

Penemuan Prasasti Mantyasih menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa kuno terlalu peduli pada dokumentasi dan kearsipan. Dalam prasasti ini menyebutkan para raja Mataram Kuno yaitu: Sri Maharaja Rakai Ratu Sanjaya (732–760), Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760–780), Sri Maharaja Rakai Pananggalan (780–800), Sri Maharaja Rakai Warak (800–820), Sri Maharaja Rakai Garung (820–840), Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856), Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856–882), Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882–899), Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung (898–915), Sri Maharaja Rakai Daksa (915– 919), Sri Maharaja Rakai Tulodhong (919–921), Sri Maharaja Rakai Wawa (921–928), Sri Maharaja Rakai Empu Sindok (929–930).

Sri Maharaja Rakai Panangkaran, pemerintah Mataram Hindu pada tahun 760–780. Rakai Panangkaran berarti raja mulia yang selalu berhasil mengembangkan potensi wilayahnya. Panangkaran berasal dari kata Tangkar, yang berarti berkembang. Dia memang berhasil mewujudkan cita-cita Ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Mataram Hindu kemudian diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pananggalan (780–800). Rakai Pananggalan berarti raja mulia yang sangat peduli terhadap siklus perjalanan waktu. Pananggalan berasal dari kata tanggal. Dia memang berjasa terhadap sistem kalender Jawa Kuno.

Penggantinya bernama Sri Maharaja Rakai Warak (800–820). Rakai Warak berarti raja mulia yang amat peduli pada cita-cita luhur. Dia memang bertekad bulat untuk meneruskan kejayaan nenek moyangnya. Dinasti Hindu lantas dipimpin oleh Sri Maharaja Rakai Garung (820–840). Garung berarti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi kemakmuran rakyatnya, Rakai Garung mau bekerja siang malam. Kekuasaan Mataram Hindu dilanjutkan oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856). Pada tahun 850 prasasti Tulang Air di Candi Perut menyebutkan bahwa Rakai Pikatan bergelar Ratu. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan ini kerajaan Mataram Hindu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Dinasti Sanjaya menjadi gemilang dan harum namanya. Bahasa sanskerta pada saat itu menjadi bahasa pengantar ilmu pengetahuan yang sangat bergengsi (Zoetmulder, 1985).

Prasasti Ratu Baka

Prasasti Ratu Baka mengatakan bahwa Rakai Pikatan sangat memperhatikan keamanan dan ketertiban negara. Tatkala pasukan dari dinasti Balaputra Dewa menyerang wilayahnya, Rakai Pikatan tetap dapat mempertahankan kedaulatannya. Bahkan bala tentara penyerang dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang Sumatera Selatan. Rakai Pikatan bisa melakukan suksesi secara damai. Dia lengser keprabon madeg pandhita. Kekuasaannya diserahkan secara konstitusional kepada Rakai Kayuwangi tahun 856. Rakai Pikatan atau Prabu Jatiningrat benar-benar ahli dalam kenegaraan dan pemerintahan. Bersama permaisurinya, Pramodha Wardhani, putra raja Samaratungga, Rakai Pikatan mencapai masa keemasan (Djoko Dwiyanto, 2003).

Rakai Pikatan memerintah Kerajaan Mataram Hindu sekitar tahun 998 Çaka atau 856 Masehi. Istrinya adalah putri Raja Samaratungga yang bernama Pramodha Wardhani. Pada zaman pemerintahan Rakai Pikatan itu dibangun Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang. Prasasti yang mengungkapkan tentang Candi Prambanan yaitu Prasasti Siwagraha yang berangka tahun 778 Çaka atau 856 Masehi, yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan (Moertjipto & Bambang Prasetyo, 1994: 30). Sekarang prasasti itu disimpan di Musium Pusat Jakarta. Nama Rakai Pikatan juga disebut dalam Prasasti Mantyasih. Begitu terkenalnya, Rakai Pikatan mendapat julukan Jatiningrat. Pada masa ini disusun kitab Ramayana yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa (Poerbatjaraka, 1964).

Dalam prasasti Siwagraha disebutkan bahwa Rakai Kayuwangi pada tahun 856 mendapat gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Loka berarti tempat, pala berarti buah. Apa saja akan berbuah kebaikan di tempat sang Prabu Dyah Lokapala. Rakai Kayuwangi ibarat pohon kayu cendana yang harum, semerbak mewangi ke kanan dan ke kiri. Perjuangan Rakai Kayuwangi pada negaranya memang telah dicatat dalam prasasti Wuatan Tija pada tahun 880. Tugas utama seorang raja menurut Rakai Kayuwangi adalah memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya. Raja harus mau berkorban demi rakyatnya. Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (Djoko Dwiyanto, 2003).

Perjuangan Rakai Kayuwangi diteruskan oleh Rakai Watuhumalang. Pada tahun 907 prasasti Kedu mencatat dengan ukiran indah mengenai prasasti cemerlang Rakai Watuhumalang. Prasasti Panunggalan pada tahun 896 memberi penghargaan yang tinggi kepada Rakai Watuhumalang. Dia dianugerahi gelar Prabu Haji Agung, yang berarti raja diraja besar yang mumpuni. Dalam prasasti Mantyasih Kedu disebutkan bahwa tahun 907 keagungan dan keanggunan Rakai Watuhumalang ini dilanjutkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung. Ruparupanya saat itu proses pergantian kepemimpinan sudah dapat berlangsung secara beradab (Djoko Dwiyanto, 2003).

Pada masa pemerintahan Balitung ada seorang teknokrat intelektual yang bernama Daksottama. Dia adalah konseptor pemerintahan yang handal dan tangguh, sehingga pemikirannya sangat mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah Balitung. Dinasti Tang (618–906) dari Cina bekerja sama dengan Raja Balitung dengan membuat proyek terjemahan kitab Ta-Teo-Kan-Hung. Memang raja Balitung sangat gemar akan sastra, bahasa, seni dan budaya. Unsur profesionalitas, kapasitas, dan integritas amat diperlukan oleh Raja Balitung dalam mengelola pemerintahan. Kelak Daksottama itu menggantikan kepemimpinan Dyah Balitung (Djoko Dwiyanto, 2003).

Dyah Balitung adalah maharaja dari kraton Mataram Kuno yang bertahta tahun 898–910. Dia masih keturunan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang terkenal karena telah berhasil dalam mengembangkan seni, bahasa, budaya dan ilmu pengetahuan (Zoetmulder, 1985). Salah satu karya sastra dari Dinasti Syailendra ini adalah Kitab Candha Karana, sebuah buku yang ditulis di atas daun rontal, berisi tentang ajaran moral, seni tembang, tata bahasa dan kamus. Pada tahun 700 Çaka, Wangsa Syailendra membangun Candi Kalasan. Pada tahun 782–872 dibangunlah sebuah candi megah nan indah, yaitu Candi Prambanan yang reliefnya memuat kisah Ramayana.

Raja Balitung sendiri aktif dalam berolah cipta karya yang berusaha mengembangkan kemajuan masyarakat. Hal ini merupakan prestasi sang raja yang bersedia menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual. Keterlibatan Raja Balitung dalam kreativitas dan sosialisasi cerita Bima Kumara dan Ramayana sangat dominan. Pada masa raja Balitung pula ditulis Prasasti Kedu atau Mantyasih yang berangka tahun 907. Prasasti ini memuat secara lengkap silsilah raja Mataram Kuno:

“Rahyang ta rumuhun ri medang ri poh pitu, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warah, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri Maharaja Rakai Pikatan, Sri Raja Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan kemudian disusul oleh raja yang sedang memerintah yaitu Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung Dharmodaya Makasambhu (Moertjipto & Bambang Prasetyo, 1994: 34).

Empu Yogiswara adalah pengarang Kakawin Ramayana pada tahun 825 Çaka atau 903 Masehi. Beliau hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung tahun 820-832 Çaka atau 898–910 Masehi. Kakawin Ramayana merupakan terjemahan karya sastra ciptaan pujangga Hindu, Walmiki, pada permulaan masehi. Kitab Ramayana terdiri dari 7 kandha dan 24.000 seloka. Ketujuh kandha dalam Kakawin Ramayana tersebut adalah sebagai berikut: Bala Kandha, berisi cerita tentang Prabu Dasarata, raja di negeri Kosala yang beribukota di Ayodya. Dalam Lakon Sayembara Widekadirja atau Sayembara Mantili, Dewi Sinta, putri Prabu Janaka disunting oleh Rama. Ayodya Kandha, berisi kisah Rama, Sinta dan Lesmana yang disingkirkan di hutan Dandaka (Lakon Rama Tundhung). Aranya Kandha, berisi kisah Sinta yang diculik Rahwana (Lakon Rama Gandrung). Sundara Kandha, berisi tentang cerita kepahlawanan Anoman yang berhasil berjumpa dengan Dewi Sinta di Alengka (Lakon Anoman Duta).

Kiskendha Kandha, berisi kisah tentang bala tentara Rama yang menyeberangi samudra untuk menuju ke Alengka (Lakon Rama Tambak). Yudha Kandha, berisi kisah peperangan antara tentara Alengka dengan tentara Rama, yang berakhir dengan kembalinya Rama Sinta ke Ayodya (Lakon Brubuh Alengka). Uttara Kandha, berisi kisah Rama Sinta setelah kembali ke Ayodya. Rakyat Ayodya menyangsikan kesucian Sinta lagi. Untuk membuktikan kesucian Sinta maka dilakukan pembakaran atas diri Sinta (Sinta Obong) (Haryanto, 1988: 229).

Kejayaan Mataram Hindu berlanjut pada masa pemerin-tahan Sri Maharaja Rakai Daksottama (915–919). Rakai Daksottama memang sengaja dipersiapkan oleh Raja Balitung untuk menggantikannya sebagai raja Mataram Hindu. Sebelum memangku jabatannya, dia dididik secara intensif oleh Raja Balitung. Berbagai jabatan strategis telah dipegang oleh Daksottama. Posisi-posisi penting dalam pemerintahan dijalani oleh Daksottama sebagai bekal untuk melanjutkan estafet kepemimpinan. Seluk beluk birokrasi benar-benar dia kuasai. Kesungguhan dan kerja keras Daksottama memang sesuai benar dengan namanya. Daksottama atau Daksa Utama yang berarti seorang pemimpin yang utama dan istimewa.

Rakai Layang Dyah Tulodhong menggantikan kepemimpinan Rakai Daksottama. Prasasti Poh Galuh menyebutkan bahwa Rakai Layang Dyah Tulodhong pada tahun 890 pernah mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Karir politik Dyah Tulodhong dimulai dari jabatan yang paling bawah. Dengan tekun akhirnya dia mencapai posisi struktural yang paling tinggi. Dia mengenal betul strategi teritorial. Pemahaman atas strategi teritorial, membuat Dyah Tulodhong mendapat dukungan yang luas dari daerah-daerah. Seluruh penjuru kerajaan Mataram mengenal sosok handal, yaitu Dyah Tulodhong yang memerintah tahun 919-921.

Pada tahun 921 Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan menjadi Raja Mataram. Dia terkenal sebagai raja yang ahli diplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional. Dyah Wawa juga mempunyai strategi suksesi dengan sistem magang. Empu Sindok yang mempunyai integritas dan moralitas dibina oleh Raja Wawa untuk dipersiapkan sebagai calon pemimpin Mataram. Empu Sindok diangkat oleh Raja Wawa sebagai Rakryan Mahamantri I Hino, sebuah jabatan yang prestis dan strategis. Empu Sindok diterima oleh semua kalangan. Sebelumnya dia menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I Halu. Dari jabatan daerah (I Halu) menuju jabatan pusat (I Hino). Pada masa inilah nantinya kekuasaan Mataram Hindu yang berlokasi di Jawa Tengah kemudian pindah ke wilayah Jawa Timur. Babak baru dalam sejarah kebudayaan Jawa.

Sumber:

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132309869/pendidikan/diktat-sejarah-kebudayaan-jawa.pdf

Prasasti Mantyasih

Kerajaan Mataram Hindu pernah memimpin peradaban di tanah Jawa dengan mewariskan peradaban luhur dan agung. Sumber penulisan sejarah Mataram Kuno yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan pada masa Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907.

Warisan tulisan sejarah ini merupakan dokumen penting demi penyusunan sejarah. Dalam konteks sejarah ini Paul Michel Munoz (2006) telah memberi deskripsi tentang kerajaankerajaan Awal Kepulauan Indonesia. Penemuan Prasasti Mantyasih menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa kuno terlalu peduli pada soal-soal dokumentasi dan kearsipan.

Dalam prasasti ini menyebutkan para raja Mataram Kuno yaitu: Sri Maharaja Rakai Ratu Sanjaya (732–760), Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760–780), Sri Maharaja Rakai Pananggalan (780–800), Sri Maharaja Rakai Warak (800–820), Sri Maharaja Rakai Garung (820–840), Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856), Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856–882), Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882–899), Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung (898–915), Sri Maharaja Rakai Daksa (915– 919), Sri Maharaja Rakai Tulodhong (919–921), Sri Maharaja Rakai Wawa (921–928), Sri Maharaja Rakai Empu Sindok (929–930).

Sri Maharaja Rakai Panangkaran, pemerintah Mataram Hindu pada tahun 760–780 Rakai Panangkaran berarti raja mulia yang selalu berhasil mengembangkan potensi wilayahnya. Panangkaran berasal dari kata Tangkar, yang berarti berkembang. Dia memang berhasil mewujudkan cita-cita Ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Mataram Hindu kemudian diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pananggalan (780–800).

Rakai Pananggalan berarti raja mulia yang sangat peduli terhadap siklus perjalanan waktu. Pananggalan berasal dari kata tanggal. Dia memang berjasa terhadap sistem kalender Jawa Kuno. Penggantinya bernama Sri Maharaja Rakai Warak (800–820). Rakai Warak berarti raja mulia yang amat peduli pada cita-cita luhur. Dia memang bertekad bulat untuk meneruskan kejayaan nenek moyangnya.

Dinasti Hindu lantas dipimpin oleh Sri Maharaja Rakai Garung (820–840). Garung berarti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi kemakmuran rakyatnya, Rakai Garung mau bekerja siang malam. Kekuasaan Mataram Hindu dilanjutkan oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856).

Pada tahun 850 prasasti Tulang Air di Candi Perut menyebutkan bahwa Rakai Pikatan bergelar Ratu. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan ini kerajaan Mataram Hindu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Dinasti Sanjaya menjadi gemilang dan harum namanya. Bahasa sanskerta pada saat itu menjadi bahasa pengantar ilmu pengetahuan yang sangat bergengsi (Zoetmulder, 1985).

Prasasti Ratu Baka

Prasasti Ratu Baka mengatakan bahwa Rakai Pikatan sangat memperhatikan keamanan dan ketertiban negara. Tatkala pasukan dari dinasti Balaputra Dewa menyerang wilayahnya, Rakai Pikatan tetap dapat mempertahankan kedaulatannya. Bahkan bala tentara penyerang dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang Sumatera Selatan.

Rakai Pikatan bisa melakukan suksesi secara damai. Dia lengser keprabon madeg pandhita. Kekuasaannya diserahkan secara konstitusional kepada Rakai Kayuwangi tahun 856. Rakai Pikatan atau Prabu Jatiningrat benar-benar ahli dalam kenegaraan dan pemerintahan. Bersama permaisurinya, Pramodha Wardhani, putra raja Samaratungga, Rakai Pikatan mencapai masa keemasan (Djoko Dwiyanto, 2003).

Rakai Pikatan memerintah Kerajaan Mataram Hindu sekitar tahun 998 Çaka atau 856 Masehi. Istrinya adalah putri Raja Samaratungga yang bernama Pramodha Wardhani. Pada zaman pemerintahan Rakai Pikatan itu dibangun Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang.

Prasasti yang mengungkapkan tentang Candi Prambanan yaitu Prasasti Siwagraha yang berangka tahun 778 Çaka atau 856 Masehi, yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan (Moertjipto & Bambang Prasetyo, 1994: 30). Sekarang prasasti itu disimpan di Musium Pusat Jakarta. Nama Rakai Pikatan juga disebut dalam Prasasti Mantyasih. Begitu terkenalnya, Rakai Pikatan mendapat julukan Jatiningrat.

Pada masa ini disusun kitab Ramayana yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa (Poerbatjaraka, 1964). Dalam prasasti Siwagraha disebutkan bahwa Rakai Kayuwangi pada tahun 856 mendapat gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Loka berarti tempat, pala berarti buah. Apa saja akan berbuah kebaikan di tempat sang Prabu Dyah Lokapala. Rakai Kayuwangi ibarat pohon kayu cendana yang harum, semerbak mewangi ke kanan dan ke kiri.

Perjuangan Rakai Kayuwangi pada negaranya memang telah dicatat dalam prasasti Wuatan Tija pada tahun 880. Tugas utama seorang raja menurut Rakai Kayuwangi adalah memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya. Raja harus mau berkorban demi rakyatnya. Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (Djoko Dwiyanto, 2003). Perjuangan Rakai Kayuwangi diteruskan oleh Rakai Watuhumalang.

Pada tahun 907 prasasti Kedu mencatat dengan ukiran indah mengenai prasasti cemerlang Rakai Watuhumalang. Prasasti Panunggalan pada tahun 896 memberi penghargaan yang tinggi kepada Rakai Watuhumalang. Dia dianugerahi gelar Prabu Haji Agung, yang berarti raja diraja besar yang mumpuni.

Dalam prasasti Mantyasih Kedu disebutkan bahwa tahun 907 keagungan dan keanggunan Rakai Watuhumalang ini dilanjutkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung. Rupa-rupanya saat itu proses pergantian kepemimpinan sudah dapat berlangsung secara beradab (Djoko Dwiyanto, 2003). Pada masa pemerintahan Balitung ada seorang teknokrat intelektual yang bernama Daksottama. Dia adalah konseptor pemerintahan yang handal dan tangguh, sehingga pemikirannya sangat mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah Balitung.

Dinasti Tang (618–906) dari Cina bekerja sama dengan Raja Balitung dengan membuat proyek terjemahan kitab Ta-Teo-Kan-Hung. Memang raja Balitung sangat gemar akan sastra, bahasa, seni dan budaya. Unsur profesionalitas, kapasitas, dan integritas amat diperlukan oleh Raja Balitung dalam mengelola pemerintahan. Kelak Daksottama itu menggantikan kepemimpinan Dyah Balitung (Djoko Dwiyanto, 2003).

Dyah Balitung adalah maharaja dari kraton Mataram Kuno yang bertahta tahun 898–910. Dia masih keturunan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang terkenal karena telah berhasil dalam mengembangkan seni, bahasa, budaya dan ilmu pengetahuan (Zoetmulder, 1985). Salah satu karya sastra dari Dinasti Syailendra ini adalah Kitab Candha Karana, sebuah buku yang ditulis di atas daun rontal, berisi tentang ajaran moral, seni tembang, tata bahasa dan kamus. Pada tahun 700 Çaka, Wangsa Syailendra membangun Candi Kalasan.

Pada tahun 782–872 dibangunlah sebuah candi megah nan indah, yaitu Candi Prambanan yang reliefnya memuat kisah Ramayana. Raja Balitung sendiri aktif dalam berolah cipta karya yang berusaha mengembangkan kemajuan masyarakat. Hal ini merupakan prestasi sang raja yang bersedia menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual. Keterlibatan Raja Balitung dalam kreativitas dan sosialisasi cerita Bima Kumara dan Ramayana sangat dominan.

Pada masa raja Balitung pula ditulis Prasasti Kedu atau Mantyasih yang berangka tahun 907. Prasasti ini memuat secara lengkap silsilah raja Mataram Kuno: “Rahyang ta rumuhun ri medang ri poh pitu, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warah, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri Maharaja Rakai Pikatan, Sri Raja Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan kemudian disusul oleh raja yang sedang memerintah yaitu Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung Dharmodaya Makasambhu (Moertjipto & Bambang Prasetyo, 1994: 34).

Empu Yogiswara adalah pengarang Kakawin Ramayana pada tahun 825 Çaka atau 903 Masehi. Beliau hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung tahun 820-832 Çaka atau 898–910 Masehi. Kakawin Ramayana merupakan terjemahan karya sastra ciptaan pujangga Hindu, Walmiki, pada permulaan masehi. Kitab Ramayana terdiri dari 7 kandha dan 24.000 seloka.

Ketujuh kandha dalam Kakawin Ramayana tersebut adalah sebagai berikut: Bala Kandha, berisi cerita tentang Prabu Dasarata, raja di negeri Kosala yang beribukota di Ayodya. Dalam Lakon Sayembara Widekadirja atau Sayembara Mantili, Dewi Sinta, putri Prabu Janaka disunting oleh Rama. Ayodya Kandha, berisi kisah Rama, Sinta dan Lesmana yang disingkirkan di hutan Dandaka (Lakon Rama Tundhung).

Aranya Kandha, berisi kisah Sinta yang diculik Rahwana (Lakon Rama Gandrung). Sundara Kandha, berisi tentang cerita kepahlawanan Anoman yang berhasil berjumpa dengan Dewi Sinta di Alengka (Lakon Anoman Duta). Kiskendha Kandha, berisi kisah tentang bala tentara Rama yang menyeberangi samudra untuk menuju ke Alengka (Lakon Rama Tambak).

Yudha Kandha, berisi kisah peperangan antara tentara Alengka dengan tentara Rama, yang berakhir dengan kembalinya Rama Sinta ke Ayodya (Lakon Brubuh Alengka). Uttara Kandha, berisi kisah Rama Sinta setelah kembali ke Ayodya. Rakyat Ayodya menyangsikan kesucian Sinta lagi. Untuk membuktikan kesucian Sinta maka dilakukan pembakaran atas diri Sinta (Sinta Obong) (Haryanto, 1988: 229).

Kejayaan Mataram Hindu berlanjut pada masa pemerin-tahan Sri Maharaja Rakai Daksottama (915–919). Rakai Daksottama memang sengaja dipersiapkan oleh Raja Balitung untuk menggantikannya sebagai raja Mataram Hindu. Sebelum memangku jabatannya, dia dididik secara intensif oleh Raja Balitung. Berbagai jabatan strategis telah dipegang oleh Daksottama.

Posisi-posisi penting dalam pemerintahan dijalani oleh Daksottama sebagai bekal untuk melanjutkan estafet kepemimpinan. Seluk beluk birokrasi benar-benar dia kuasai. Kesungguhan dan kerja keras Daksottama memang sesuai benar dengan namanya. Daksottama atau Daksa Utama yang berarti seorang pemimpin yang utama dan istimewa. Rakai Layang Dyah Tulodhong menggantikan kepemimpinan Rakai Daksottama.

Prasasti Poh Galuh menyebutkan bahwa Rakai Layang Dyah Tulodhong pada tahun 890 pernah mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Karir politik Dyah Tulodhong dimulai dari jabatan yang paling bawah. Dengan tekun akhirnya dia mencapai posisi struktural yang paling tinggi. Dia mengenal betul strategi teritorial. Pemahaman atas strategi teritorial, membuat Dyah Tulodhong mendapat dukungan yang luas dari daerah-daerah. Seluruh penjuru kerajaan Mataram mengenal sosok handal, yaitu Dyah Tulodhong yang memerintah tahun 919-921.

Pada tahun 921 Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan menjadi Raja Mataram. Dia terkenal sebagai raja yang ahli diplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional. Dyah Wawa juga mempunyai strategi suksesi dengan sistem magang. Empu Sindok yang mempunyai integritas dan moralitas dibina oleh Raja Wawa untuk dipersiapkan sebagai calon pemimpin Mataram.

Empu Sindok diangkat oleh Raja Wawa sebagai Rakryan Mahamantri I Hino, sebuah jabatan yang prestis dan strategis. Empu Sindok diterima oleh semua kalangan. Sebelumnya dia menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I Halu. Dari jabatan daerah (I Halu) menuju jabatan pusat (I Hino). Pada masa inilah nantinya kekuasaan Mataram Hindu yang berlokasi di Jawa Tengah kemudian pindah ke wilayah Jawa Timur. Babak baru dalam sejarah kebudayaan Jawa.