Bagaimana Kebijakan Politik dan Ekonomi JP. Coen Dalam Memperkuat Posisi Batavia dengan cara Memperbanyak Aktivitas Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Sunda Kalapa?

JP. Coen

Bagaimana Kebijakan Politik dan Ekonomi JP. Coen Dalam Memperkuat Posisi Batavia dengan cara Memperbanyak Aktivitas Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Sunda Kalapa?

Salah satu prasasti Purnawarwan raja Tarumanagara, yang ditemukan di desa Tugu, Jakarta Utara, mengisyaratkan tentang adanya “Kota” di daerah pantai utara Jawa Barat sekitar perairan Teluk Jakarta (Poerbatjaraka, 1952, Noorduyn & Verstappen, 1972). Berita-berita Cina yang berasal dari masa pertengahan abad V sampai abad VII telah menyebutkan pula adanya hubungan antara Cina dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, yaitu Ho-lo-t’o atau Holo- tan, dan To-lo-mo (Taruma) (Wolters, 1967). Berdasarkan berita Cina tersebut, diduga di daerah pantai utara Jawa Barat telah terdapat tempat-tempat yang menjadi pusat pelayaran dan perdagangan, salah satunya adalah Sunda Kalapa.

Letak geografisnya yang sangat strategis di daerah dekat jalur pelayaran kawasan barat (India) dan kawasan timur (Cina), menyebabkan beberapa tempat di daerah pantai utara Jawa Barat telah berkembang dengan pesat menjadi kota-kota pelabuhan yang besar dan penting serta ikut berperan dalam perdagangan di Jalur Sutera.

Sumber utama mengenai pelabuhan Sunda Kalapa terutama diperoleh dari sumber-sumber Eropa, khususnya sumber Portugis. Sumber Portugis ini yaitu laporan kejadian Tome Pires yang ditulis di Malaka dan India tahun 1512- 1515, berjudul Suma Oriental. Berisi pelaporan atau kisah perjalanan ke Asia, dari daerah sekitar Laut Merah sampai ke Jepang.

Pada tahun 1513 Tome Pires sampai di Jawa dan menyusuri pantai utara, serta singgah di beberapa pelabuhan. Uraian mengenai Jawa (ylha de Jaoa) Tome Pires memulainya dengan uraian tentang Sunda (Cumda). Uraiannya sangat rinci, meliputi keadaan daerah, kota-kota dan pelabuhan, perdagangan dan hasil bumi, kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

Berdasarkan pemberitaan Tome Pires ini kita mengetahui bahwa Kerajaan Sunda beribu kota Dayo (Dayeuh) yang terletak di pedalaman, dan dapat ditempuh melalui perjalanan selama dua hari dari pelabuhan Calapa. Tome Pires menyebutkan pula pada waktu itu kerajaan Sunda telah memiliki enam buah pelabuhan, yaitu :

  • Bamtam (Banten)
  • Pomdam (Pontang)
  • Chegujde (Cigede)
  • Tamgaram (Tanggerang)
  • Calapa (Kalapa)
  • Chemano (Cimanuk).

Tome Pires melukiskan kota pelabuhan Kalapa sebagai pelabuhan utama yang sangat megah dan paling baik diantara pelabuhan-pelabuhan yang lain. Pelabuhan ini dikelola dengan baik oleh suatu pemerintahan lokal di bawah kekuasaan seorang Syahbandar (Cortessao, 1944).

Pada masa Kerajaan Sunda pelabuhan Sunda Kalapa sudah menjadi pelabuhan utama. Ibukota kerajaan ini, Pakuan Pajajaran, terletak di Batutulis (Bogor) dan pada masa itu dapat dicapai dalam dua hari perjalanan dengan menyusuri Ciliwung. Sunda Kalapa dikunjungi kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, dan Madura, bahkan oleh pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan, dan Kepulauan Ryuku (kini Jepang). Sunda Kalapa mengekspor antara lain lada, pala, beras, dan juga emas, seperti juga cula badak ke Tiongkok (Heuken SJ, 1997).

Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang menakjubkan dan yang terpenting di antara pelabuhan lainnya. Perjalanan ke Pelabuhan Sunda Kalapa memakan waktu dua hari dari Kota Dayo (Pakuan Pajajaran) di masa Sang Raja Selalu Tinggal. Karena itulah, pelabuhan ini dianggap yang terpenting. Pelabuhan ini hampir menyatu dengan Negeri Jawa, namun Cimanuk memisahkan mereka. Perjalanan dari Cimanuk ke pelabuhan ini memakan waktu sehari semalam dengan angin ynag baik.

Komoditas dagang dari seluruh penjuru kerajaan di bawa ke pelabuhan ini. Tempat ini dikelola dengan baik; dengan adanya hakim, peradilan, dan juru tulis. Dikabarkan bahwa [peraturan] di kota ini telah [dicantumkan] dalam tulisan, [sebagai contoh] seseorang yang melakukan perbuatan A akan dikenakan B dan seterusnya sesuai hukum kerajaan. Banyak Jung yang merapat ke pelabuhan ini (Pires, 2014).

Menjelang masa akhir kerajaan Sunda terjadi peristiwa penting yaitu perjanjian antara pihak Portugis dan Sunda. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Isinya ialah kesepakatan pihak Portugis untuk membantu kerajaan Sunda jika sewaktu-waktu Sunda diserang oleh orang-orang Islam. Sebaliknya sebagai imbalan pihak Sunda menjanjikan Portugis mendirikan benteng di Bandar Banten, dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak 350 kuintal setiap tahunnya. Saksi dari pihak Sunda adalah ‘Padam Tumungo, Ssamgydepati et Bemgar, yakni Paduka Tumenggung, Sang Adipati dan Syahbandar dari Sunda Kalapa dan dari pihak Portugis delapan orang. Perjanjian itu (tidak ditandatangani oleh pihak Sunda , tetapi) disahkan menurut adat dengan mengadakan selamatan (Heuken SJ, 1999).

Walaupun sudah ditetapkan bahwa benteng Portugis berdasarkan perjanjian tersebut akan dibangun di Banten tetapi kemudian mereka memilih Kalapa sebagai tempat yang cocok untuk pendirian benteng itu. Sehubungan dengan perjanjian antara Portugis dan kerajaan Sunda pada tahun 1522, seorang ahli sejarah dari Perancis Claude Guillot, telah menulis sebuah artikel berjudul “Le necessaire relecture de I’accord Iuso-sundanais de 1522”, yang dimuat dalam majalah Archipel, 42, 1991:53-77. Di dalam artikelnya ini Guillot mengemukakan sanggahannya terhadap anggapan para ahli sejarah selama ini, yaitu bahwa perjanjian 1522 antara Portugis dan Sunda itu tidak diadakan di Sunda Kalapa, dan tugu padrao tidak dipancangkan di Sunda Kalapa.

Ke-empat alasan Guillot tersebut mendapat sanggahan dari Pater Adolf Heuken, berdasarkan telaah-ulang atas dokumen-dokumen Portugis yang berkaitan dengan masalah Perjanjian Sunda – Portugis tahun 1522. Untuk melengkapi sanggahannya yang Pater Adolf Heuken melakukan pula penelaahan terhadap peta-peta kuno Portugis maupun Belanda dari masa sekitar abad XVI (Djafar, 2008).

Dengan tercapainya persetujuan antara Portugis dengan kerajaan Sunda, berarti Portugis berkesempatan meluaskan kekuasaannya sampai pulau Jawa. Hal itu akan merugikan monopoli dagang Demak di pelabuhan pantai utara Jawa dan membahayakan kesultanan Demak. Oleh karena itu, maka sebelum Portugis berhasil mendirikan benteng di pelabuhan Sunda, yaitu Kalapa, pelabuhan itu harus direbut lebih dahulu oleh pasukan bersenjata Demak (Atja, 1986).

Langkah awal yang dilakukan VOC untuk membangun jaringan perdagangannya adalah mengangkat Jan Pieterszoon Coen dari kota Hoorn Belanda sebagai Kepala Tata Buku (Akuntan) VOC yang diberi wewenang atas kantor dagang VOC di Banten dan Jayakarta. J.P. Coen yang menaruh perhatian besar terhadap Jayakarta dan berusaha untuk menjadikan tempat ini sebagai pusat kegiatan perdagangan VOC di pulau Jawa (Lubis dkk., 2003).

Potensi dan nilai ekonomis yang dimiliki oleh wilayah Batavia, ternyata tidak hanya dilihat oleh VOC saja, akan tetapi pihak kongsi dagang Inggris (EIC) juga melihat potensi tersebut. J.P.Coen sebagai pimpinan VOC saat itu merumuskan dua langkah utama agar dapat menguasai dan mengamankan posisi mereka di Batavia, dari ancaman EIC dan penguasa Batavia saat itu (Pangeran Wijayakrama). Langkah pertama yang dilakukan J.P.Coen adalah mendapatkan izin dar penguasa Batavia untuk mendirikan kantor dagang di wilayah Batavia, kemudian langkah berikutnya ialah mendirikan benteng sebagai pertahanan militer untuk mengamankan segala asset yang dimiliki oleh VOC di Batavia. Keberadaan benteng inilah yang kelak menjadi awal keberatan dari Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Batavia, dan memunculkan ketegangan antara VOC dengan Pangeran Wijayakrama (Lubis dkk, 2003).

1 Like