Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Mendukung Demokratisasi di Timur Tengah?

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Mendukung Demokratisasi di Timur Tengah

Keberadaan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang menjadi kepentingan strategis bagi negara ini, mulai dari konflik Israel-Palestina hingga kekayaan minyak yang dikandung oleh kawasan ini

Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Mendukung Demokratisasi di Timur Tengah ?

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Mendukung Demokratisasi di Timur Tengah


Keberadaan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang menjadi kepentingan strategis bagi negara ini, mulai dari konflik IsraelPalestina hingga kekayaan minyak yang dikandung oleh kawasan ini. Namun, di samping berbagai isu ini, sejumlah ahli Timur Tengah di Amerika Serikat juga mengemukakakan pandangan mereka bahwa AS juga memiliki keinginan untuk mendukung proses reformasi di kawasan ini, yang dimanifestasikan melalui demokratisasi dan dukungan bagi sistem ekonomi berbasis pasar bebas. Namun di lain sisi, hal ini juga mendapat kritik karena ada anggapan bahwa reformasi rezim di Timur Tengah belum tentu berpihak pada kepentingan AS karena hasil dari reformasi politik dapat menempatkan kaum Islamis di puncak kepemimpinan, yang disebabkan begitu lemahnya pengaruh kelompok liberal di Arab.

Menanggapi hal ini, Kenneth M. Pollack beranggapan bahwa grand strategy Amerika Serikat untuk merealisasikan reformasi di Timur Tengah akan difokuskan pada perubahan politik, ekonomi, dan sosial yang bertahap dengan membantu (secara politik, ekonomi, atau bahkan militer dengan melindungi Timur Tengah dari bermacam-macam ancaman militer eksternal) berbagai kekuatan yang ada di dalam suatu negara Timur Tengah untuk berubah. Namun, di sisi lain, Pollack setuju bahwa usaha untuk membantu reformasi di kawasan ini tidaklah mudah, terutama karena adanya oposisi dari rezim yang berkuasa itu sendiri terhadap ide ini. Terlebih ketika ada beberapa rezim yang mencoba untuk mencegah munculnya semangat reformasi dengan retorik bahwa demokratisasi hanyalah usaha Barat untuk mendominasi negara tersebut, dengan memainkan kartu sentimen anti-Amerika, nasionalisme, dan terkadang sikap anti-Israel juga.

Oleh karena itu, Pollack menganggap bahwa Washington sebaiknya memfokuskan dirinya untuk mendorong liberalisme ekonomi untuk menciptakan kesempatan ekonomi yang lebih besar di Timur Tengah (yang dipandangnya akan mengurangi dukungan bagi kelompok Islamis) serta membantu modernisasi institusi pemerintahan dan militer di kawasan ini. Sementara itu, demokratisasi akan berkembang secara bertahap setelah langkah-langkah yang disebutkan sebelumnya telah dijalankan.

Dalam wawancara yang diterbitkan dalam buku pada tahun 2008 oleh kolumnis Washington Post, David Ignatius kepada dua figur signifikan dalam politik luar negeri Amerika Serikat, Zbigniew Brzezinski dan Brent Scowcroft, diskusi mengenai peran AS di Timur Tengah juga dipertanyakan. Menurut Scowcroft, meskipun AS tampak mendukung rezim otoritarian di kawasan tersebut—seperti kerajaan Saudi dan rezim Mubarak di Mesir—tidak berarti AS tidak dapat berhubungan dengan publik Timur Tengah. Scowcroft melihat bahwa justru dengan memberikan dukungan kepada negaranegara Arab, AS menunjukkan inisiatifnya untuk mendukung pembangunan yang berlangsung, yang akan direspon positif oleh publik di sana.

Brzezinski menambahkan bahwa setelah Perang Dunia II, AS dipandang sebagai suatu “liberating force,” walaupun dirinya juga memiliki pendapat yang sama dengan kekhawatiran beberapa ahli Timur Tengah di atas bahwa usaha untuk menciptakan demokrasi tidak selamanya akan mendatangkan hasil yang AS inginkan.

Oleh karena itu, tampak bahwa kebijakan AS untuk mempromosikan demokrasi di Timur Tengah bersifat dilematis bagi AS sendiri. Di satu sisi, AS menginginkan adanya reformasi, khususnya di bidang politik, mengingat kebanyakan rezim pemerintahan di Arab bersifat otoritarian; namun di lain sisi, AS memiliki kepentingan strategis dalam menjalin hubungan dengan rezim-rezim yang masih berkuasa ini, baik itu dengan motif ekonomi maupun keamanan. Belum lagi munculnya kekhawatiran bahwa kelahiran demokrasi di negara-negara Timur Tengah hanya akan menempatkan kaum Islamis—beberapa di antaranya memiliki sentimen anti-Barat/anti-Amerika—di puncak-puncak kepemimpinan, padahal kawasan ini memiliki nilai strategis yang begitu tinggi bagi AS.