Bagaimana Keadaan Politik Setelah Kemerdekaan?

Keadaan Politik Setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan diproklamasikan keadaan politik Indonesia tidak otomatis stabil. Ketidakstabilan politik karena adanya konflik yang terjadi di berbagai daerah, hal inilah yang memengaruhi situasi politik Indonesia setelah kemerdekaan.
Bagaimana Keadaan Politik Setelah Kemerdekaan ?

Keadaan Politik Setelah Kemerdekaan


Setelah kemerdekaan diproklamasikan keadaan politik Indonesia tidak otomatis stabil. Ketidakstabilan politik karena adanya konflik yang terjadi di berbagai daerah, hal inilah yang memengaruhi situasi politik Indonesia setelah kemerdekaan. Situasi politik memburuk akibat adanya konflik dengan Belanda. Konflik terjadi akibat adanya kesadaran rasa nasionalisme seluruh rakyat Indonesia. Rakyat bertekad bahwa kemerdekaan harus tetap dipertahankan apa pun akibatnya. Pada awalawal pemerintahan Indonesia, keadaan Indonesia penuh dengan insiden pertempuran terutama terjadinya pertempuran di Surabaya dan Ambarawa. Pertempuran yang terjadi telah menyadarkan SEAC (South East Asia Command). Komandan SEAC, Lord Mountbatten berpendapat bahwa proklamasi kemerdekaan bukan hanya cetusan dari segelintir orang yang dianggap berbau Jepang, tetapi merupakan dampak dari arus nasionalisme yang telah berkembang di Indonesia.

Nasionalisme yang didukung oleh rakyat dan pemuda Indonesia. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pemuda dianggap menjadi inti pendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pemuda sangat dibutuhkan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kekuasaan penjajahan Belanda. Perjuangan yang dilakukan para pemuda merupakan bukti bahwa mereka bersedia membela tanah air Indonesia dengan ikhlas. Hal itu menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam panggung politik Republik Indonesia. Pada awalnya pemuda-pemuda Indonesia meyakini bahwa kemerdekaan sepenuhnya hanya dapat dicapai dengan perjuangan bersenjata.

Pada perkembangan selanjutnya pemuda menyadari bahwa kemerdekaan tidak hanya dapat dipertahankan dengan perjuangan bersenjata saja. Perjuangan juga memerlukan perundingan diplomasi. Peristiwa pertempuran di Surabaya dan Ambarawa merupakan salah satu politik yang digunakan pada pemerintahan Soekarno-Hatta untuk melawan pemerintahan Belanda. Peristiwa tersebut telah membawa hasil, pada tanggal 10 November 1945 tentara Inggris-India dapat dipukul mundur oleh para pemuda Indonesia. Inggris-India tidak dapat menguasai kota Surabaya dan Ambarawa lagi.

Kekalahan pasukan Inggris membawa akibat serta ancaman bagi Pemerintah Belanda atas kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Van Mook yang menyadari situasi tersebut, sistem politik Belanda di Indonesia yang harus diperbaiki. Menurutnya pertempuran Ambarawa dan Surabaya merupakan kemelut di bidang politik yang harus diatasi. Jika hal tersebut tidak bisa diatasi maka akan berakibat buruk bagi masa depan Indonesia, dalam hal kerjasama membangun bangsa. Van Mook menawarkan suatu cara untuk mengatasi kemelut politik tersebut dengan perundingan perunding dengan Belanda. Perundingan yang ditawarkan oleh Van Mook tidak begitu saja diterima oleh Soekarno-Hatta. Kemudian Soekarno-Hatta mengajukan syarat untuk dilakukan perundingan jika pemerintahan Belanda mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat itu keadaan politik juga dipengaruhi adanya perebutan kekuasaan dalam tubuh pemerintahan Indonesia, yakni antara Tan Malaka-Subardjo terhadap Soekarno-Hatta.

Perebutan kekuasaan terjadi karena saat itu sistem pemerintahan belum teratur. Soekarno-Hatta memaksakan menggunakan sistem kabinet presidensial. Sistem pemerintahan Presidensial tersebut tidak memberikan kepuasan Tan Malaka-Soebardjo. Sistem pemerintah Presidensial yang dijalankan oleh Soekarno-Hatta dianggap otoriter. Adanya ketidakpuasan atas sistem pemerintahan presidensial dipandang oleh Tan Malaka dan Subardjo sebagai sesuatu kekosongan politik. Syahrir yang ketika itu menjadi Perdana Menteri menyadari jika politik Tan Malaka-Subardjo yang bersifat sosialis tersebut berkembang dalam Republik Indonesia akan menciptakan situasi yang berbahaya untuk mendapatkan simpati dari dunia internasional.

Politik sosialis Tan Malaka-Soebardjo tersebut tidak disukai banyak orang yang berada di dalam Republik Indonesia. Dalam perkembangannya selanjutnya ternyata Soebardjo-Tan Malaka makin berhasil menciptakan sesuatu partai politik sosialis yang otoriter yang terorganisasi secara birokratis. Bersamaan usaha Tan Malaka dan Subardjo untuk merebut kekuasaan, terjadi juga perkembangan politik lain yang punya akibat jangka panjang yang jauh lebih besar. Hal ini diyakini Syahrir tidak akan memberikan perkembangan politik yang lebih baik untuk masa depan Bangsa Indonesia. Mahasiswa banyak yang tidak puas akan pola pemerintahan darurat pimpinan Soekarno-Hatta. Ketidakpuasan bermula dari susunan kabinetnya.

Mahasiswa beranggapan bahwa orang-orang yang bekerja dalam kabinet tersebut memiliiki jabatan tinggi pada zaman Jepang. Syahrir dan kelompoknya yang kontra dengan proklamasi 17 Agustus khawatir terhadap deklarasi Soekarno-Hatta yang dianggap terlalu lemah untuk membawa rakyat Indonesia kepuncak revolusi melawan Belanda. Syahrir menghendaki sistem pemerintahan Presidensil Soekarno-Hatta harus diubah. Untuk menyelamatkan situasi politik yang tidak stabil dimasa pemerintahan Soekarno-Hatta, beberapa tokoh seperti: Supeno, Sukarni, Subadio, Ir. Sakirman dan suami istri Mangungsarkoro serta semua anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) telah bekerjasama memberikan dukungan kepada Syahrir. Mereka membuat rencana untuk mengubah sistem pemerintahan Presidensil menjadi pemerintahan Parlementer. Syahir berkeinginan, kekuasaan legislatif berada di tangan KNIP. Taktik Syahir tersebut bertujuan untuk menjatuhkan kabinet Soekarno-Hatta. Perubahan sistem pemerintahan ini ternyata ditentang oleh Soekarno maupun Hatta. Soekarno-Hatta bersedia memenuhi dan menyetujui usul KNIP dilimpahi kekuasaan legislatif penuh. Ini berarti bahwa semua undang-undang terlebih dahulu harus disetujui KNIP maupun presiden. Semua kekuaasaan telah dilimpahkan kepada KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). KNIP mempunyai tanggung jawab besar dalam menjalankan pemerintahan. KNIP yang telah diilimpahi kekuasaan penuh segera memilih Syahrir dan Sjarifoeddin untuk menjadi ketua dan wakil ketua badan pekerja KNIP.

KNIP mempunyai hak untuk memilih 13 anggota lainnya. Ketiga belas anggota tersebut adalah Soetan Syahrir, Mr. Amir Syarifoeddin Prawiranegara, Kyai Wachid Hasjim, Mr. R. Hendromartono, Dr. R.M. Sunario Kolopaking, Dr. A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Mr. Tamling Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, dan Dr. Sudarsono, semua yang dipilih mendapatkan pendukung yang kuat solid. Kebanyakan dari mereka pernah aktif dalam gerakan bawah tanah anti-Jepang. Semua berjumlah 15 orang badan pekerja S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tajaludin dan Dr. Sudarsono. Semua yang dipilih merupakan pendukung kuat.

Kebanyakan dari mereka pernah aktif dalam gerakan bawah tanah anti Jepang. Semuanya berjumlah 15 anggota badan pekerja.6 Setelah Syahrir ditunjuk sebagai ketua, terjadi perubahan pada badan pekerja KNIP, situasi politik menjadi tidak stabil. Keinginan Syahrir dan para pengikutnya untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari penyimpangan pemerintah yang otoriter dan organisasi politik yang otoriter dan totaliter tidak berhasil. Pada prinsipnya perubahan dibidang pemerintahan dijadikan sarana untuk mencapai tujuan akhir politik. Dibalik kebijakan ini, masih ada suatu pertimbangan yang penting namun jelas bersifat sekunder, yaitu keinginan untuk sedapat mungkin menghapus noda kolaborator dari pemerintahan. Syahir yakin bahwa cara ini akan memperkuat kedudukan Internasional Republik ini dalam berunding dengan Belanda.

Sejak Syahrir menjadi Perdana Menteri semua sistem pemerintahan berubah. Pada tanggal 14 November 1945 Kabinet Soekarno-Hatta mengundurkan diri kemudian sistem pemerintahan diganti dengan sistem Demokrasi Parlementer, yaitu pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Perdana Mentri dan bertanggung jawab kepada KNIP. Akan tetapi pada dasarnya hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun karena keadaan yang mendesak maka perubahan ini tetap dilaksanakan. Dalam hal ini Presiden Soekarno tetap berfungsi sebagai Presiden begitu juga dengan Hatta tetap menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden. Syahrir yang diangkat menjadi Perdana Menteri juga ditugaskan menjadi Menteri Luar Negeri karena mempunyai tanggung jawab dalam semua urusan pemerintahan kepada KNIP, pada masa itu KNIP dianggap sebagai parlemen.

Perubahan struktur pemerintahan RI ini ternyata memberi kepuasan kepada Van Mook, sebab yang akan menjadi mitra dalam pembicaraan antara pemerintahan Belanda dengan pemerintahan Republik Indonesia adalah Sutan Syahrir bukan Soekarno dan kawan-kawannya. Sutan Syahrir dapat diterima oleh Belanda, selain beliau termasuk golongan moderat pernah juga mengenyam pendidikan di Belanda dikalangan Republik Indonesia, beliau juga tidak pernah berkolaborasi dengan pemerintahan pendudukan Jepang di Jawa. Bahkan beliau menyembunyikan diri dan mengumpulkan pemuda-pemuda yang menentang fasisme Jepang. Maka dengan latar belakang figur Sutan Syahrir ini Van Mook mempunyai harapan besar bahwa dalam masa yang akan datang pembicaraan atau perundingan antara pihak Belanda dan pihak Republik Indonesia akan dapat dilangsungkan.

Sutan Syahrir yang memiliki tanggung jawab atas kekuasaan di pemerintahan banyak didukung oleh pemuda-pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia menghendaki, adanya perubahan dalanm sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pemuda sebenarnya hanya menghendaki tercapainya seratus persen kemerdekaan Indonesia. Menurut Syahrir bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan terlebih dahulu masalah-masalah yang menyangkut politik Indonesia harus diselesaikan. Jika ingin mendapatkan pengengakuan Internasional, situasi politik dalam negeri harus stabil sehingga bisa menarik simpati dunia Internasional atas kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah situasi politik stabil dan mendapat pengakuan dunia Internasional maka perlu diadakan perundingan dengan pihak Belanda. Perundingan dimaksudkan untuk meletakan dasar kerjasama antara Republik Indonesia dengan Pemerintahan Belanda dikemudian hari.