Bagaimana Karakteristik Klien (Konseli) didalam proses konseling?

Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang penolong (disebut konselor) kepada individu yang perlu mendapatkan pertolongan (disebut konseli) yang bertujuan agar masalah konseli dapat teratasi.

Bagaimana Karakteristik Klien (Konseli) didalam proses konseling ?

Pada dasarnya klien (konseli) merupakan orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Menurut Rogers dalam Latipun (2004) menyatakan bahwa klien adalah orang yang hadir ke konselor dan kondisinya cemas atau tidak kongruensi. Dalam konteks konseling, klien adalah subyek yang memiliki kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi perubahan dirinya. Jadi sekalipun klien itu dalah individu yang memperoleh bantuan, klien bukanlah obyek atau individu yang pasif, atau yang tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Pandangan yang lain dikemukakan oleh Yeo (2003), Ia berpandangan bahwa klien sebagai P-I-N (Person in Need) atau pribadi yang mempunyai kebutuhan. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa sejumlah klien dalam menghadapi masalah-masalahnya mempunyai kebutuhan untuk didengarkan atau memerlukan bantuan praktis berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan material, dan mungkin juga membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah pribadinya. Namun perlu dipahami dalam hal ini konselor bukan sebagai agen atau teknisi-teknisi mekanis yang berusaha menentukan hidup orang tanpa keterlibatan pribadi apapun. Artinya tetap saja klien dilihat sebagai pribadi yang memiliki kekuatan psikis (psychological strenght), memiliki kekuatan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik, memiliki kemampuan-kemampuan intrapribadi maupun antar pribadi.

Menurut Surya (2003) klien merupakan orang yang mengalami kekurangan ”psychological strength” atau daya psikologis yaitu suatu kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dalam keseluruhan hidupnya termasuk dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.

Konsep daya psikologis memiliki tiga dimensi yaitu need fulfillment (pemenuhan kebutuhan), intrapersonal competencies (kompetensi intrapribadi), dan interpersonal competencies (kompetensi pribadi). Dengan kata lain bila ketiga dimensi itu kuat maka akan memperkuat daya psikologis individu. Jadi jelaslah bahwa individu akan mengalami masalah ketika salah satu dimensi tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan demikian dalam memahami klien maka konselor melihat sosok klien adalah individu yang perlu dibantu dalam meningkatkan daya psikologisnya agar ia dapat makin efektif dalam mengelola perilakunya sendiri maupun dengan lingkungannya sehingga mencapai kebahagiaan dan kebermaknaan hidup.

Cavanagh dan Levitov (2002) menjelaskan bahwa konseli adalah individu yang memiliki kompetensi intrapersonal dan kompetensi interpersonal yang rendah. Rendahnya kompetensi intrapersonal mengakibatkan konflik internal dalam dirinya yang mempengaruhi hubungan intrapersonal dan pada akhirnya memunculkan tekanan atau stress. Keberlangsungan hubungan intrapersonal yang baik sangat bergantung pada tiga kompetensi, yakni self- knowledge, self- direction, dan self-esteem.

  • Self-knowledge menggambarkan “saya tahu siapa saya”,
  • self-direction menggambarkan “saya membuat sendiri keputusan mengenai diri saya”,
  • self esteem menggambarkan “saya adalah orang yang berharga”.

Kompetensi interpersonal adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan baik. Kompetensi intrapersonal sangat penting untuk pertumbuhan psikologis dan pemenuhan kebutuhan. Ketika individu dapat berhubungan atau berinteraksi dengan dirinya dan orang lain secara baik, maka mereka akan mengalami pemenuhan kebutuhan yang positif. Hambatan dan kesulitan pada salah satu atau kedua kompetensi tersebut akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan yang dapat menyebabkan disfungsi psikologis. Beberapa kompetensi interpersonal diantaranya adalah sensitivitas terhadap diri sendiri dan orang lain, asertivitas atau ketegasan diri, dan harapan yang realistis terhadap diri sendiri dan orang lain.

Menurut Glading (2009) ada beberapa jenis klien yang dianggap sukses dalam konseling yaitu yang memiliki ciri-ciri YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent, Succesfull). Dengan kata lain konselor menyukai jenis-jenis klien tersebut, karena kemungkinan sukses dalam konseling besar.

Sebaliknya klien yang tidak disukai, yang akan dianggap akan kurang sukses dalam konseling adalah yang mempunyai ciri-ciri HOUND (Homely, Old, Unintelligent, Nonverbal, Disadvataged) atau DUD (Dumb, Unintelligent, Disadvataged). Singkatan-singkatan ini memang begitu jahat kedengarannya, namun hal ini dapat dimengerti, karena memang agar dapat sukses dalam konseling individu memerlukan kemampuan dapat mengekspresikan diri, dan menemukan insight yang dapat membantunya untuk lebih memahami dirinya dari percakapannya dengan konselor. Supaya dapat menemukan insight, diperlukan peran inteligensi untuk mengolah masukan yang diperolehnya dari konselor.

Perlu dipahami bahwa konselor sebaiknya menghindari sindrom-sindrom tersebut (YAVIS dan HOUND), meskipun dalam bekerjanya konselor memang dipengaruhi oleh kemampuan atau tampilan dengan disiapa ia bekerja (klien).

Sumber :
Mulawarman, Eem Munawaroh, Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar bagi Konselor Pendidikan, Universitas Negeri Semarang