Bagaimana Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin?

Bagaimana Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin?

Merumuskan kebijakan dan program yang efektif untuk menanggulangi kemiskinan di sumbernya, kita memerlukan pengetahuan spesifik tentang kelompok-kelompok yang sangat miskin ini dan karakteristik perekonomian mereka. Karakteristik ini dibagi menjadi beberapa bagian,diantaranya yaitu:

1) Kemiskinan di Pedesaan


Seperti yang kita tahu bahwa sebagian besar orang miskin hidup di pedesaan. Dimana terdapat beberapa karakteristik yang ada di pedesaan antara lain:

  • Aktivitas utama di pedesaan mengacu pada sektor pertanian dan aktivitas lain yang terkait.
  • Komposisi jumlah kaum perempuan dan anak-anak lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Hal ini di karenakan kebanyakan laki-laki dari desa memilih untuk merantau mencari nafkah yang lebih banyak.
  • Orang yang mendiami desa kebanyakan adalah keluarga etnis minoritas dan penduduk pribumi.

Perlu di perhatikan bahwa sebagian besar pengeluaran pemerintah di kebanyakan negara berkembang selama beberapa dasawarsa yang lalu justru diarahkan ke daerah perkotaan dan terutama pada sektor manufaktur dan perniagaan modern yang relatif makmur.

Dengan adanya pengetahuan mengenai begitu banyaknya jumlah orang yang miskin yang hidup di kawasan pedesaan, setiap kebijakan yang ditetapkan untuk meniadakan kemiskinan seharusya sebagian besar diarahkan untuk membangun pedesaan pada umumnya dan sektor pertanian pada khususnya.

2) Perempuan dan Kemiskinan


Ketika dibandingkan penduduk di berbagai komunitas paling miskin di seluruh negara berkembang pada kenyataannya mereka yang sangat kekurangan merupakan kaum perempuan dan anak-anak.

Ada banyak rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan. Hal ini kerap ditemui bahwa para kaum perempuan memiliki keterbatasan akses dalam pendidikan, lapangan kerja sektor formal, jaminan sosial, dan program penciptaan lapangan pekerjaan. Kondisi seperti ini menyebabkan sumber keuangan kaum perempuan lebih kecil dan tidak stabil dibandingkan dengan sumber keuangan laki-laki. Maka, hal ini akan sangat berpengaruh pada kemungkinan untuk miskin dan tidak cukup nutrisi serta untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi yang baik, dan manfaat lainnya.

Selain itu, terdapat pula fakta bahwa perempuan terhambat untuk memperoleh pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Misal perbedaan pada kawasan perkotaan dan pedesaan. Di kawasan perkotaan, kemungkinan keci, perempuan mendapatkan pekerjaan formal di perusahaan swasta atau di kantor-kantor pemerintah dan sering kali terkukung dalam pekerjaam ilegal yang produktivitasnya rendah seperti industri garmen, pabrik dengan mengabaikan peraturan resmi tentang upah minimum maupun jaminan sosial.

Selain kedua fakta tentang bagaimana perempuan terhambat aksesnya untuk bisa menyukupi hidupnya beserta keluargkanya berikut ini adalah fakta-fakta yang terkait dengan keterbatasan perempuan.

  • Peraturan perundang-undangan dan kebiasaan sosial sering kali menghambat perempuan untuk memiliki harta benda atau menandatangani kontrak keuangan tanpa disertai dengan tanda tangan suami.

  • Program penciptaan lapangan kerja dan program peningkatan pendapatan pada umumumnya hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sehingga menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan

  • Sebagian besar rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan berada pada kawasan-kawasan paling miskin, yang hanya sedikit atau sama sekali tidak mendapat layanan yang disponsori pemerintah seperti saluran air bersih, sanitasim dan perawatan kesehatan yang akan menyebabkan dirinya dan keluarga lebih rentan terhadap penyakit.

  • Selain itu terdapat penelitian empiris menyenai alokasi sumber daya rumah tangga—seperti nutrisi, perawatan kesehatan, pendidikan dan warisan—sangat mengurangi tingkat kelangsungan hidup bayi perempuan. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa rasio perempuan dan laki-laki jauh di bawah nilai perkiraan, terutama di negara Asia, sehingga 100 juta anak perempuan dan perempuan dewasa dinyatakan “hilang”. Hal ini karena adanya fakta bahwa laki-laki dipandang memiliki potensi lebih besar untuk memberi kontribusi finansial bagi keberlangsungan hidup keluarga

  • Ketika perempuan dinikahkan dengan anak dari desa lain maka perempuan tersebut hanya bertanggung jawab kepada mertua mereka dan tidak lagi berkontribusi bagi keluarga asalnya.

Oleh sebab itu, jika program- program yang ditujuakan untuk meningkatkan asupan nutrisi dan kesehatan keluarga akan lebih efektif kalau di targetkan kepada perempuan daripada la. ki-laki. Bahkan kenaikan pendapatan total rumah tangga yang cukup signifikan tidak selalu berarti meningkatnya status asupan nutrisi rumah tangga itu.

Fakta bahwa kesejahteraan perempuan dan anak-anak sangat dipengaruhi oleh rancang kebijakan pembangunan menegaskan pentingnya upaya mengikutsertakan kaum perempuan dalam program pembangunan. Selain itu, sangat penting diupayakan adanya jaminan bagi perempuan untuk memperoleh akses yang setara dalam berbagai peluang pemberdayaan melalui program pendidikan, pelayanan, dan kesempatan kerja.

Modal manusia kemungkinan merupakan prasyarat terpenting bagi pertumbuhan, pendidikan dan perbaikan status ekonomi perempuan sangat penting artinya untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang. Dan perlu ditekankan bahwa keterlibatan perempuan tidak boleh dianggap sekedar pelengkap, pelibatan itu justru paling efektif jika dijadikan hal yang utama—dan basis yang konsisten untuk bertindak—ketika menanggulangi kemiskinan.

3) Etnis Minoritas, Penduduk Pribumi, dan Kemiskinan


Sekitar 40% negara-bangsa di dunia memiliki lebih dari lima etnis besar dalam komposisi penduduknya, dengan satu atau lebih kelompok etnis itu mengalami diskriminasi ekonomi, politik dan sosial yang serius. Terdapat gagasan baru tentang situasi kemiskinan di negara berkembang, yang menyatakan bahwa kemiskinan kebanyakan dialami oleh kelompok etnis minoritas dan penduduk pribumi.

Konflik domestik dan perang antar saudara kerap ditemui pada akhir-akhir ini, dikarenakan ada kelompok minoritas yang merasa tersingkirkan dari persaingan untuk memperoleh sumber daya dan kesemparan kerja.

Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa orang-orang miskin berasal dari negara-negara miskin. Hubungan negatif anatara kemiskinan dan pendapatan per kapita menunjukkan bahwa kemiskinan akan berkurang jika pendapatan lebih tinggi dapat dicapai; tetapi ini hanya terjadi kalau sumber daya yang akan diperoleh negara-negara itu lebih banyak dialokasikan untuk menangani masalah-masalah kemiskinan serta menumbuhkan masyarakat madani dan sektor swadaya masyarakat.

Kita dapat menyimpulkan bahwa pendapatan nasional yang lebih tinggi akan sanagat memfasilitasi upaya pengurangan kemiskinan, sementara pada saat yang sama, kemiskinan masih perlu ditangani secara langsung.

Kelompok penduduk miskin yang berada di masyarakat pedesaan dan perkotaan, umumnya berprofesi sebagai buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan dan pengemis (gepeng), dan pengangguran. Kelompok miskin ini akan menimbulkan problema yang terus berlanjut bagi kemiskinan kultural dan struktural, bila tidak ditangani secara serius, terutama untuk generasi berikutnya. Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin adalah “golongan residual”, yakni kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh berbagai kebijakan pemerintah yang terkonsentrasikan secara khusus, seperti melalui IDT, namun secara umum sudah melalui PKT, Program Bimas, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan, NKKBS, KUD, PKK didesa.dsb. Golongan ini termasuk sulit disentuh, karena kualitas sumber daya yang rendah sehingga kurang memanfaatkan fasilitas, termasuk faktor-faktor produksi. Mereka juga kurang memiliki kemampuan, tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang sangat minimal, termasuk memanfaatkan pemberian bantuan bagi kebutuhan dasar manusia, dan perlindungan hukum atau perundang-undangan yang tidak kurang memihak mereka.

Kriteria lain tentang pendudukan miskin berkenaan dengan implementasi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) menurut versi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bahwa untuk menentukan penduduk miskin paling tidak memenuhi 6 (enam) kriteria sebagai berikut:

  1. Rumah layak huni: milik sendiri dan bukan milik sendiri.
  2. Akses air bersih dan sanitasi
  3. Pendapatan atau dikonversi dengan pengeluaran
  4. Kepemilikan aset
  5. Frekuensi makan (lebih dari 2 kali sehari) dan kualitas gizi makanan
  6. Dalam setahun dapat membeli minimal 1 stel pakaian baru. Dari 6 (enam) variabel atau kriteria tersebut jika mendapat skor 3 atau lebih maka keluarga tersebut dikategorikan miskin.

Oleh karena itu, komitmen dan konsistensi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dengan cara-cara yang adil tanpa mengecualikan masyarakat miskin akan meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari oleh hak-hak asasi manusia, nondiskriminasi, dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung merupakan hakikat paradigma pembangunan sosial.

Sebab-sebab Terjadinya Kemiskinan

  1. Terjadinya Kemiskinan
    Kemiskinan massal yang terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar masalahnya (Hardiman dan Midgley, dalam Kuncoro, 1997:131). Penduduk negara tersebut miskin menurut Kuncoro (1997:131) karena menggantungkan diri pada sektor pertanian yang subsistem, metode produksi yang tradisional, yang seringkali dibarengi dengan sikap apatis terhadap lingkungan.

Sharp, et.al (dalam Kuncoro, 1997:131) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonom :

  • secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.

  • kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan.

  • kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) menurut Nurkse (dalam Kuncoro, 1997:132): adanya keterbelakangan, ketidaksempumaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktivitasnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.

  1. Karakteristik Kemiskinan

Masyarakat miskin sesuai karakteristiknya menurut Kartasasmita (1993:4), umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi, sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Sementara itu Soemardjan (dalam Sumodingrat 1999:81), mendeskripsikan berabagai cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbeda-beda, dengan tetap memperhatikan dua kategori tingkat kemiskinan, sebagai berikut:

  • kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pedidikan.

  • kemiskinan relatif adalah penghitungan kemisikinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah. Kemiskinan jenis ini dikatakan relatif kerena berkaitan dengan distribusi pendapatan antar lapisan sosial.

Chamber (1983:109) mengemukakan lima karakteristik sebagai ketidak beruntungan (disadventages) yang melingkupi orang miskin atau keluarga miskin antara lain:

  • poverty
  • physical weakness
  • isolation
  • powerlessness.

Moeljarto (1995:98) mengemukakan tentang Poverty Profile sebagaimana berikut: Masalah kemiskinan bukan saja masalah welfare akan tetapi mengandung enam buah alasan antara lain :

  • Masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan.

  • Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja karena hubungan produksi dalam masyarakat tidak memberi peluang kepada mereka untuk berpartisipasi dalam proses produksi.

  • Masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi, emosional dan sosial dalam menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan menyangkut dirinya tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, sehingga membuatnya tidak berdaya.

  • Kemiskinan juga berarti menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk konsumsi pangan dalam kualitas dan kuantitas terbatas.

  • Tingginya rasio ketergantungan, karena jumlah keluarga yang besar.

  • Adanya kemiskinan yang diwariskan secara terus menerus.

Selanjutnya Supriatna (1997:82) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin, antara lain:

  1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri.

  2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri.

  3. Tingkat pendidikan pada umunya rendah.

  4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas.

  5. Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.

Pemahaman terhadap karakteristik kemiskinan dimaksudkan agar dapat pula mengetahui strategi program yang bagaimana yang relevan dengan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut.

Ringkasan

Sumodiningrat, Gunawan, (1999). Pemberdayaan Masyarakat, Jaring Pengaman Sosial, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.