Bagaimana kajian teori mengenai Formalisme?

image

Bagaimana kajian teori mengenai Formalisme?

Formalisme lahir di Rusia sebagai suatu reaksi terhadap aliran positivisme abad ke-19 yang memperhatikan “keterangan” biografis. Selain sebagai reaksi terhadap aliran positivisme (Erlich, 1980), kelahiran aliran formalisme juga beriringan dengan berkembangnya kecenderungan penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan disiplin sejarah, psikologi, dan sosiologi.

Selain itu, aliran Formalisme Rusia juga didorong oleh adanya kecenderungan pergeseran paradigma dalam ilmu humaniora dari paradigma diakronis ke paradigma sinkronis (Holub, 2004). Aliran formalisme ini menentang kecenderungan di Rusia untuk meneliti sastra sebagai ungkapan pandangan hidup atau iklim perasaan dalam masyarakat.

Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Sjklovski, Tynjanov, dan Jacobson (walaupun pada akhirnya di kemudian hari Tynjanov berubah pikiran). Hal yang menarik dari aliran ini adalah bahwa mereka bukanlah kelompok yang homogen dan kompak. Pandangan-pandangan mereka berbeda-beda satu sama lainya. Mereka menekankan bahwa suatu ilmu yang hidup tidak dapat diikat pada sejumlah kebenaran.

Mereka tidak ingin menyusun secara apriori beberapa teori yang berlaku umum, melainkan berdasarkan sejumlah analisis pada beberapa prinsip yang berlaku sementara saja. Kaum formalis Rusia ini dipandang sebagai peletak dasar bagi ilmu sastra modern. Baru pada tahun 1960-an, karya mereka disebarluaskan ke dunia Barat. Sebelumnya, pandangan mereka diolah oleh kaum strukturalis Ceko (Luxemburg, 1986).

Dalam konteks sastra, kaum Formalis Rusia membagi wilayah studi sastra ke dalam tiga bagian: stilistika, komposisi, dan tematik (Todorov, 1985). Ketiga wilayah studi sastra itu tidak akan dikupas dalam tulisan ini karena bukan menjadi objek formalnya. Kaum formalis menyusun sejumlah besar analisis dan dalil umum tentang karya sastra, antara lain pandangan mereka mengenai ciri khas sastra atau kesastraan (literaturnost) dalam sebuah teks (Watten, 2010).

Mereka tidak setuju kalau dibedakan antara bentuk dan isi. Istilah kesastraan berasal dari Jacobson, seorang penganut formalisme, yang meletakkan dasar bagi teori fungsi puitik (Bann, 2004). Bahasa puisi adalah bahasa yang sederhana yang memiliki fungsi estetik (Erlich, 1964).

Menurut pandangan formalis, sifat kesastraan timbul dengan menyusun dan mengubah “bahan”nya yang bersifat netral. Dalam hal puisi, bahan itu ialah riwayat yang disajikan (Luxemburg, 1986). Yang menjadi pusat perhatian dalam pandangan kaum formalis mengenai sastra ialah pengertian pengasingan atau making strange atau juga disebut defamiliarization (Jefferson, 1987).

Orang yang memperkenalkan istilah ini ialah Shklovsky; ia berpendapat bahwa sastra, sama seperti seni-seni lainnya, mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan kenyataan dengan suatu cara baru, sehingga sifat otomatik dalam pengamatan dan pencerapan kita didobrak. Shklovsky memakai istilah pengasingan bila sebuah karya sastra memakai gaya bahasa yang menonjol atau menyimpang dari yang biasa, atau menggunakan teknik bercerita yang baru.

Selain itu, para formalis memperkenalkan beberapa pengertian untuk analisis teks cerita, yakni motif sebagai kesatuan naratif terkecil dalam peristiwa yang diceritakan; fabula/fable sebagai rangkaian motif dalam urutan cerita (tataran peristiwa), dan suzjet sebagai penyusunan artistik motif-motif tersebut (tataran penceritaan) (Luxemburg, 1986; Sherwood, 1973, Todorov, 1985). Didasarkan pada prinsip formalisme, meminjam istilah Saussure, bahasa memiliki dua tanda, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signifie).

Penanda memiliki aspek sementara dan menghasilkan rantai diakronis. Diakronis mengacu pada hubungan kata yang linear dan runtut di dalam sebuah ucapan, sementara sinkronis mengacu pada keseluruhan sistematis yang ada pada waktu tertentu (Eagleton, 1986).

Kombinasi yang berasal dari hubungan saling ketergantungan yang berurutan, Saussure menyebutnya sebagai sintagmatik (“hampir semua unit linguistik tergantung pada apa yang mendahului, atau mengikuti pada rangkaian yang diucapkan”, sedangkan hubungan dalam sistem, secara keseluruhan, disebut sebagai paradigmatik (yaitu, “paradigma fleksional” sistem infleksi, deklinasi, sinonim, dan sebagainya yang disimpulkan dan digantikan oleh kata-kata dalam kombinasi sintagmatik).

Gambaran bahasa yang sistematis dan individual tersebut – yang ada sebagai keseluruhan entitas hubungan dan juga sebagai perbedaan yang linear dan sequential (berurutan) – mengubah linguistik dan menjadi dasar bagi teori strukturalisme semiotika, antropologi, psikoanalisis, narasi, dan sejumlah bidang lainnya (Castle, 2007).

Orang-orang pertama yang menerapkan ide-ide Saussure mengenai bahasa adalah para formalis Rusia, di antaranya adalah Roman Jakobson, Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky yang mempunyai hubungan dengan Moscow Linguistic Circle (Erlich, 1964). Jakobson menguraikan tahapan penelitian formalis: “(i) analisis aspek-aspek suara dari sebuah karya sastra; (ii) masalah-masalah makna dalam kerangka puisi; (iii) integrasi suara dan makna ke dalam keseluruhan yang tidak terpisahkan” (Castle, 2007).

Dari tataran substansi pemikiran, di samping ada Moscow Linguistic Circle, kaum formalis juga mendirikan The Petrograd Society for the Study of Poetic Language (Opojaz) yang berpandangan bahwa studi terhadap karya sastra – terutama puisi – cukup dari sisi intrinsiknya saja (Todorov, 1973). Jadi, menurut sebagian kaum formalis, studi sastra pada umumnya tidak perlu melibatkan aspekaspek di luar teks formal dari karya sastra itu. Studi formalis mengenai puisi ada di dalam studi bahasa yang lebih umum, yang digolongkan oleh Jakobson sesuai dengan fungsinya.

Unsur-unsur utama sistem fungsional ini adalah pembicara (fungsi emotif) dan penerima (fungsi konatif); yang berada di antara keduanya adalah satu set faktor penentu yang kompleks yang mencakup konteks (fungsi referensial), pesan, kontak (fungsi phatic: “saluran fisik dan hubungan psikologis antara pembicara dan penerima”), dan sebuah kode (fungsi metalingual) yang dimengerti oleh pembicara dan penerima.

Jakobson menekankan fungsi puitis bahasa yang “fokus pada pesan untuk kepentingan pesan itu sendiri.” Namun, itu adalah penyederhanaan yang berlebihan untuk mereduksi puisi menjadi sebuah fungsi puitis. “Fungsi puitis bukan satu-satunya fungsi seni verbal, ia merupakan fungsi penentu, sedangkan pada kegiatan verbal lainnya, fungsi puitis bertindak sebagai unsur pokok tambahan” (Castle, 2007).

Dalam hal ini, Faruk (1988) lebih memerinci lagi bahwa faktor-faktor pembangun itu menentukan fungsi-fungsi bahasa. Faktor pertama membuahkan fungsi ekspresif, yang kedua fungsi puitik, yang ketiga fungsi konatif, yang keempat fungsi referensial, yang kelima fungsi metalingual, sedangkan yang keenam fungsi phatic. Fungsi pertama melayani diri pengirim, fungsi kedua penanda verbal itu sendiri, fungsi ketiga penerima, fungsi keempat referen, fungsi kelima kode, sedangkan fungsi keenam mementingkan konteks. Jakobson mendefinisikan dominant sebagai “komponen sebuah karya sastra yang fokus,” yang dapat mencakup hal-hal seperti sajak, skema suku kata, atau struktur metris.

Perbedaan antara metafora dan metonimia bahasa yang diusulkan oleh Jakobson berkembang dari teori Saussure mengenai aspek sistem bahasa sinkronis (paradigmatik) dan diakronis (sintagmatik) dan dari karyanya sendiri dengan aphasia.
Pada akhirnya, Jacobson menemukan dua sumbu atau tingkatan makna yang merupakan asal dari puisi, yaitu sumbu metafora dan seleksi (substitusi) yang beroperasi secara sinkronis, dan sumbu metonimia dan kombinasi yang beroperasi secara diakronis. “Fungsi puitis memproyeksikan prinsip kesetaraan dari sumbu seleksi ke sumbu kombinasi” (Castle, 2007).

Dengan demikian, Jakobson mengartikan bahwa di dalam puisi, pilihan yang dibuat pada tingkat metafora “sangat berimbas” pada tingkat metonimia yang pilihan ini dikombinasikan dengan kata-kata lainnya untuk menciptakan efek puitis. Jadi, jika saya menulis “anak perempuan saya mulai mekar,” Saya menggantikan “mekar” untuk konsep serupa (tumbuh, berkembang) dan kemudian menggabungkannya dengan “anak perempuan” untuk memberi kesan mekarnya kecantikan muda.

Bentuk proyeksi ini “memberikan esensi simbolik, multipleks (sistem atau sinyal yang melibatkan transmisi simultan dari beberapa pesan di sepanjang saluran tunggal komunikasi), dan polisemantik pada puisi secara menyeluruh”. Meskipun fungsi puitis cenderung menghapus kualitas metonimia yang tersembunyi dari sebuah metafora (dan sebaliknya), metafora cenderung menggolongkan puisi dari jenis tertentu (misalnya tren romantis dan simbolis), sedangkan metonimia cenderung menggolongkan bentuk yang realistis (Castle, 2007).

formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Dalam ilmu sastra, formalisme adalah teori yang digunakana untuk menganalisa karya sastra yang mengutamakan bentuk dari karya sastra yang meliputi tehnik pengucapan –meliputi ritma, rima, aquistik atau bunyi, aliterasi, asonansi dsb, kata-kata formal (formal words) dan bukan isi serta terbebas dari unsur luar seperti sejarah, biografi, konteks budaya dsb sehingga sastra dapat berdiri sendiri (otonom) sebagai sebuah ilmu dan terbebas dari pengaruh ilmu lainnya. Teori formalis ini bertujuan untuk mengetahui keterpaduan unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut sehingga dapat menjalin keutuhan bentuk dan isi dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi.

Sementara dalam kamus istilah sastra karya Panuti Sudjiman, formalisme adalah aliran kritik sastra yang mementingkan pola-pola bunyi dan kata yang formal (tradisional). Begitu pun dengan formalisme Rusia adalah alliran kritik sastra yang lahir di Rusia pada tahun 1920-an sebagai reaksi tarhadap aliran kritik sastra yang berlaku di Rusia waktu itu, yang mementingkan isi dan ciri sosial sebuah karya sastra. Formalisme Rusia timbul berkat adanya eksperimen - eksperimen dalam sastra yang avant-garde sifatnya.

Formalisme Rusia adalah sebutan yang diberikan kepada kelompok yang mengembangkan sebuah metode yang mereka sebut sebagia “metode formal” (formal ‘nyj metod) kelompok inilah yang muncul di Rusia. Kelahiran formalisme Rusia diantar oleh esei dari Victor Sklovskij yang diterbitkan oleh Piter di St. Petersburg pada tahun 1914.

Formalisme merupakan salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Para ahli sastra dan linguistik berkumpul dalam dua kelompok, yakni The Moscow Linguistics Circle (1915) yang anggotanya sebagian besar para ahli linguistic, dan The Opojaz Group (1916) yang sebagian besar anggotanya para ahli sastra. Opojaz juga merupakan The Society for the Study of Poetic Language. Tokoh utamanya adalah Roman Jakobson pendiri Prague Linguistics Circle dan tokoh utama kelompok kedua adalah Victor Shlovsky.

Formalisme adalah reaksi terhadap pendekatan sastra yang bersifat positivistik yang merupakan sebuah pendekatan yang didasari oleh filsafat positivisme, yakni suatu faham yang menganggap bahwa segala ilmu pengetahuan harus berasaskan fakta yang dapat diamati. Ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada keterangan pancaindra, menurut faham tersebut, ditolak karena dianggap sebagai spekulasi kosong. Pemikiran positivisme memiliki pengaruh kuat pada pemikiran pada umumnya terutama para ahli sastra.

Kaum formalis menolak anggapan bahwa teks sastra adalah pencerminan individu ataupun gambaran masyarakat. Menurut mereka, teks sastra adalah fakta kebendaan yang terbangun atas kata-kata. Di sisi lain kaum formalis juga menggunakan 2 konsep yakni konsep “defamiliarisasi” dan “deotomatisasi”. Konsep ini digunakan untuk mempertentangkan karya sastra dengan kehidupan atau kenyataan sehari-hari. Sesuatu yang sudah akrab dan secara otomatis diserap, dalam karya sastra dipersulit atau ditunda pemahamannya sehingga terasa asing dan ganjil yang tujuannya adalah agar pembaca lebil tertarik pada bentuk.

Kaum formalis tidak lagi menjadikan puisi sebagai satu-satunya objek pengkajian, juga tidak lagi terpadu sarana yang mengganjilkan atau mengasingkan karya sastra. Shlovky mengembangkan teory oposisi “fabula” (story) dengan sjuzet (plot). Fabula adalah bahan dasar berupa jalan cerita menurut logika dan kronologi peristiwa, sedangkan sjuzet adalah sarana untuk menjadikan jalan cerita menjadi ganjil atau aneh.

Berdasarkan teori formalisme Rusia, merupakan karya otonom yang harus diteliti dari karya itu sendiri (intrinsikalitasnya), bukan dari sisi luarnya (ekstrinsikalitas). Hal ini karena teori tersebut lebih menekankan keindahan aspek. Sebab itu, yang perlu dalam proses kritik sastra dalam teori formalisme adalah close reading, pembacaan secara mikroskopis atas karya satra sebagai bahasa yang indah. Menurut teori formalisme, karya sastra telah mengalami defamiliarisasi dan deotonomisasi. Sastra memiliki sifat aneh atau asing, karena sastra merupakan hasil sulapan (proses kreatif) pengarang, di mana di dalamnya terdapat estetika bentuk (bahasa) , dan merupakan hasil ekploitasi rasa, imajinasi, dan logika yang di dalamnya juga terdapat estetika makna. Sastra pun, karenanya dilihat aliran kritik formalis kemudian kehilangan otonomisasinya untuk langsung bisa dipahami pembaca. Pembaca atau peneliti, untuk itu, diperkenenkan membuat penafsiran dengan cara menyingkap rahasia estetika dan gagasan dibalik teks.

Dengan sifat otonom karya sastra sebagai salah satu ciri teori formalisme, seorang peneliti karya sastra tidak tergantung pada aspek di luar karya sastra dan penelitian karya sastra pun menjadi positivistik. Pasalnya, karena penelitian yang dilakukan berdasarkan teksnya bisa dibuktikan secara empirik dengan merujuk kembali pada teks sastra yang diteliti. Teks sastra pun menjadi sebanding dengan tingkah laku sosial, baik politik, ekonomi, maupun sikap sosial lainnya yang menjadi rujukan empiris ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi.

Ringkasan

Ali al-Khuli, Muh., Dr., 1982, Dictionary of Theoritical Linguistic, Lebanon: Lebanon Press.