Bagaimana kajian arkeologi mengenai asal-usul masyarakat Maluku dan budayanya?

Sebuah kutipan yang dituangkan dalam tulisan Sahusilawane (2005), menjelaskan berdasarkan penyelidikan geologi pembentukan pulau-pulau di Maluku terjadi pada masa Mesozoikum dan Neozoikum yakni antara 150 juta sampai 1 juta tahun yang lalu. Pulau Seram ternyata merupakan pulau yang tertua struktur geologinya. Di masa Pleistocen Kepulauan Maluku berada di luar daerah daratan Asia dan letaknya lebih dekat dengan dataran Sahul yang berhubungan dengan Benua Australia (Sahusilawane, 2005). Sahusilawane juga mengutip pendapat ahli paleoantropologi yang mengatakan bahwa manusia Wajak daerah persebarannnya sampai pula di Benua Australia yang akhirnya menurunkan ras-ras Austro Melanesia dan Proto Melayu. Teori ini cenderung spekulatif, karena berdasarkan penelitian Olson, manusia arkaik (purba) tidak ada yang menyebrang melakukan perjalanan ke Australia (Olson, 2004). Selain itu kronologi Homo wajakensis sekitar 400.000 tahun yang lalu (Nurani, 2000), sementara berdasarkan teori genetika sekitar 60.000 tahun barulah manusia modern sampai di Benua Australia. Dengan demikian, kemungkinan persebaran manusia Wajak tidak sampai ke Australia. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa masyarakat yang mendiami kepulauan Maluku tidak ada keterkaitannya atau dengan kata lain tidak ada keterhubungannya dengan manusia Wajak (Homo wajakensis).

Mengenai pendapat bahwa pulau Seram menurunkan penduduk asli dari pulau ini, pendapat ini tampaknya sulit sekali dipegang kebenarannya. Hal ini karena tidak ada yang dapat menjelaskan hal itu, meskipun dugaan itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Berdasarkan penelitian arkeologi, ditemukan alat batu paleolitik di wilayah Sawai Pulau Seram bagian Utara, hal ini kemudian dihubungkan dengan migrasi manusia arkaik di Nusantara (Sapri Hadiwisastra, 1999/2000). Lantas, apakah kemudian manusia pendukung alat batu paleolithik inilah yang kemudian menurunkan penduduk asli Maluku? Tentu saja tidak demikian. Hal ini karena tidak ada petunjuk baik antropologis, arkeologis maupun genetis untuk menjelaskan hal ini. Juga hampir tidak ada kemungkinan terjadi percampuran genetis antara manusia pendukung budaya paleoltik itu dengan manusia modern yang datang ke wilayah Maluku. Hal ini sama sekali setidaknya sampai saat ini tidak ada bukti yang mengarah ke penjelasan itu. Pendapat ini sama halnya bantahan beberapa ahli paleoantropologi menyangkut berbagai asal-asal manusia di benua. Seperti yang dituliskan sebelumnya, hampir tidak ada kemungkinan, adanya percampuran manusia Wajakensis dengan manusia modern di Australia, yang kemudian menurunkan ras Austro-Melanosoid. Juga bantahan teori genetik tentang asal-usul manusia modern Eropa berasal dari hasil perkawinan manusia modern dengan manusia Neandhertal seperti yang diyakini oleh para ahli paleoantroplogi. Yang kemudian terbantahkan dengan teori genetik dari Olson (2004). Dari penelitian yang dituliskan oleh Olson, sesungguhnya menegaskan, tidak ada data secara genetis menjelaskan tentang adanya percampuran hasil perkawinan manusia modern yang terus hidup dan berkembang sekarang ini dengan kelompok manusia-manusia arkaik yang hidup ratusan ribu tahun sebelum manusia modern itu ada.

Kembali menyoal tentang adanya budaya paleolithik yang ditemukan di Maluku. Segera saja kita dapat memperkirakan bahwa di Maluku pada jaman prasejarah telah hidup manusia sebangsa Homo erectus, meskipun bukti-bukti fosilnya tidak didapatkan hingga sekarang. Namun, tidak ada sama sekali petunjuk, dan kemungkinan memang tidak mungkin sama sekali manusia zaman paleolitik ini menurunkan manusia-manusia modern yang pertama kali mendiami wilayah Maluku. Hipotesis yang paling dapat diterima adalah, manusia pendukung budaya paleolitik telah punah ketika manusia modern bermigrasi ke wilayah Maluku. Selain tentunya, rentang waktu yang sangat jauh antara masa manusia modern yang diperkirakan antara 40.000-60.000 ribu tahun yang lalu dengan manusia pendukung budaya paleolotik yang telah hidup ratusan ribu tahun sebelumnya.

Menurut Antropolog AH Keane, Pulau Seram merupakan pulau yang tertua di Maluku, pada zaman dulu telah didiami oleh suku-suku Alifuru yang disebut oleh antropolog Keane sebagai bangsa Alfuros. Suku Bangsa Alfuros ini adalah percampuran antara bangsa Kaukasus, Mongol, dan Papua. Di Pulau Seram Suku Bangsa Alfuros ini terkenal dengan nama suku Bangsa Alune dan Wemale. Selanjutnya antropolog Sachse dan DR O.D Taurn berpendapat bahwa suku Alune berasal dari utara, kemungkinan dari Sulawesi Utara dan Halmahera, sedangkan suku bangsa Wemale berasal dari timur kemungkinan dari Melanesia (NN.1977/1978, Sahusilawane, 2005;Tim Penelitian, 2007).

Berdasarkan kajian arkeologi, asal-usul penduduk di Indonesia dapat diamati dari hasil budaya materi yang ditinggalkannya. Penemuan data arkeologi terutama masa prasejarah, dapat memberikan petunjuk dengan pendekatan atau analisis perbandingan dengan temuan benda budaya lainnya di lain benua. Sisa-sisa budaya material yang ditemukan di daerah ini sebagian besar merupakan artefak yang memiliki ciri-ciri sebagai bagian dari budaya Austronesia, yaitu budaya yang dikenal dan disebarkan oleh bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Austronesia di kawasan antara Madagaskar di belahan Barat hingga Easter Island (di Pasifik) di belahan timur, serta Formosa di sebelah utara (Bellwood, 2001 dalam Sogondho, 2005). Budaya tersebut ditandai dengan dikenalnya beliung batu persegi (quadrangular adze) sebagai peralatan untuk bercocok tanam, bangunan megalit (megalith monument) sebagai sarana upacara atau pemujaan terhadap nenek-moyang, dan tempayan kubur (burial jar) sebagai perlengkapan penguburan (Geldern, 1945; Duff, 1970). Beliung batu persegi merupakan alat-alat untuk tebang-bakar (slash and burn) di dalam kegiatan bercocok tanam, sedangkan bangunan megalit dan tempayan kubur adalah merupakan alat-alat upacara ritual yang berorientasi pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang (ancestor worship) yang menjadi ciri-ciri dari budaya Austronesia itu (Geldern, 1945; Duff, 1970).

Masyarakat Maluku, terutama di daerah pedalaman Seram, hingga kini dikenal sebagai komunitas yang masih mempertahankan tradisi leluhur, hal ini dapat diamati dalam kehidupan mereka sehari-hari, terutama menyangkut kepercayaan terhadap leluhur. Telah banyak dituliskan dan diketahui, bahwa salah satu kebiasaan masyarakat Alifuru di Maluku pada masa lampau adalah memenggal (mengayau) kepala manusia. Bellwood (1978) menuliskan, berdasarkan observasi arkeologi dan antropologi, tradisi budaya mengayau (memenggal kepala) di Asia Tenggara diduga sudah berlangsung sejak atau sebelum 4000-3000 th SM. Tradisi ini kemungkinan dibawa bermigrasi ke kawasan nusantara, khususnya Borneo, Sulawesi, Maluku, Papua, Filipina, dan Melanesia. Menurut Heine Van Geldern dibawa oleh orang-orang Austronesia awal, pendukung tradisi budaya kapak batu persegi pada zaman Neolithik sekitar awal pertengahan melenium kedua sebelum masehi. (Peter Belwood 1978:157, 162, 174-175, dalam Mawardi, 2006).

Tampaknya jika merujuk pendapat Rainsfield, yang mengatakan bahwa ciri budaya Austronesia, satu diantaranya adalah masyarakatnya mengenal cerita tentang asal-usul nenek moyangnya. Maka Maluku juga tergolong masyarakat yang berasal dari ras AustroMelanesia dengan budaya Austronesia-nya.Dengan penjelasan itu segera saja dapat disimpulkan bahwa budaya yang berkembang pada masyarakat Maluku juga berasal dari masyarakat pendukung budaya Austronesia.

Belwood (1978), Solheim (1966) dan Shuttler (1975) mengatakan sebuah daerah dapat diduga sebagai daerah kunci yang dapat memberi jawaban atas permasalahan daerah asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang pada masa kemudian mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di Bagian Barat sampai dengan Easter Island di Kepulauan Pasifik di bagian timur, serta Formosa Island di bagian Utara. Daerah yang dimaksud para ahli di atas itu setidaknya memiliki ciri budaya dengan tinggalan budaya meliputi peninggalan neolithik, megalithik, disamping budaya masa logam tua (paleometalik). Jika merujuk pendapat itu maka wilayah Maluku sangat mungkin merupakan sebuah daerah asal (home land) wilayah persebaran budaya Austronesia ke daerah lain yang kemudian mendiami daerah Madagaskar, Pasifik serta kepulauan Formosa di bagian utara. Dengan kata lain berdasarkan pendapat para ahli itu, Maluku sangat mungkin merupakan daerah awal penyebaran budaya Austronesia. Para ahli itu juga menyebut daerah kunci untuk mencari jawaban sebagai daerah asal adalah Sulawesi dan Maluku, karena di kedua daerah itu tersebar budaya neolithik, megalithik bahkan perundagian (paleometalik).

Posisi strategis wilayah Kepulauan Maluku telah dikemukakan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu diantaranya:

  1. dari segi zoogeografi merupakan wilayah transisi antara dua lini fauna yakni Wallacea dan Weber

  2. dari segi geolinguistik dianggap sebagai bagian dari tanah asal suku-suku bangsa pemakai bahasa-bahasa Austronesia

  3. dari segi geokultural merupakan lintasan strategis migrasi-migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia, Oceania dan ke arah timur yang diikuti oleh perkembangan budaya wilayah timur sejak ribuan tahun lalu; (Bellwood, 1978; Andili, 1980; Shutler dan Shutler; 1975, Meilink-Roelofsz, 1962 dalam Ambary, 1998).

Situs-situs prasejarah yang menunjukkan adanya migrasi manusia dan persebaran budaya prasejarah yang cukup penting, ditemukan di wilayah Pulau Seram dan Kepulauan di Seram bagian Timur, Banda, Maluku Tenggara, Kepulauan di Maluku Utara, seperti Halmahera,Ternate, Tidodore dan Pulau sekitarnya. Data arkeologi masa prasejarah diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1976 dan 1994. Hasil-hasil penelitian tersebut diantaranya: sisa moluska, tulang manusia, beliung persegi, alat pipisan, fragmen gerabah, yang ditemukan di situs Laluing (Pulau Waidoba) dan Buli Besar (pulau Taneti). Hasil penelitian sekaligus menyebutkan pertanggalan situs-situs tersebut yaitu 5.500 BP untuk situs Waidoba dan 3.500 BP untuk situs Taneti.

Dengan demikian, hasil penelitian arkeologi prasejarah dikedua situs tersebut menambah pengetahuan tentang tradisi neolitik, megalit dan persebarannya. Sedang temuan pecahan gerabah memberikan gambaran tentang persamaan ciri gerabah bergaya Lapita di Polinesia yang bertitimangsa 2000 BC (Ambary, 1998). Dikaitkan dengan spektrum sebaran budaya prasejarah, maka temuan dikedua situs tersebut dianggap merupakan persebaran budaya yang datang dari Asia Tenggara terus ke Australia hingga ke Kepulauan Pasifik (Simanjuntak, et.al. 2000). Di Pulau Aru, situs Leang Budu dan Nebulei Lisa menghasilkan kronostratigrafis baru – berumur sekitar 30.000 tahun,umur yang sama juga didapatkan di situs gua di Pulau Halmahera.Veth et al., 2005; O’Connor et al, 2005, dalam Forestier, 2007).

Situs prasejarah di Pulau Seram diantaranya adanya lukisan cadas di dinding-dinding gua. Jejak keberadaan seni cadas di Pulau Seram pertama kali ditemukan oleh Röder, yang mengadakan penelitian di Teluk Saleman, Seram Utara dan di sekitar Sungai Tala, Seram Bagian Barat. Penelitian yang dilakukan Röder ini adalah bagian dari ekspedisi Frobenius yang dilaksanakan pada tahun 1937 hingga tahun 1938 (Röder, 1959). Di Teluk Saleman Röder menemukan lukisan cadas dengan motif manusia memegang perisai pada tangan kirinya, motif cap tangan, kadal, burung, matahari, dan perahu. Sementara dalam penelitian yang dilakukan di sekitar Sungai Tala, Röder menemukan lukisan cadas dengan motif manusia, rusa, burung, perahu, lingkaran dan matahari.

Lukisan cadas di Kepulauan Kei Kecil ini sudah sangat dikenal. Dalam berbagai referensi tentang seni cadas di Indonesia, lukisan cadas di wilayah ini hampir selalu di sebutkan. Referensi tentang lukisan cadas di Kei Kecil dapat ditemukan antara lain dalam tulisan Riesenfeld (1950: 566), Van Heekeren (1972), Bellwood (1978), Specht (1979), Kosasih (1984;1985;1986), Ballard (1987), Intan dan Istari (1995), serta Suryanto dan Sudarmika (1999).

Data hasil penelitian yang cukup lengkap tentang situs lukisan cadas Dudumahan (Kei Kecil) ditampilkan oleh Chris Ballard dari Australia National University (ANU), yang meneliti wilayah ini sekitar tahun 1980-an. Dalam penelitiannya Ballard mendata lebih dari 300 desain lukisan yang dapat diamati. Dari jumlah tersebut, jenis desainnya kemudian dibagi oleh Ballard menjadi dua macam variasi yaitu jenis figuratif dan non-figuratif dengan rasio 12% berbanding 88%. Desain yang termasuk kategori non figuratif adalah desain dengan pola geometris antara lain garis, lingkaran, dan motif berbentuk ‘matahari’. Desain figuratif didomimasi oleh desain berciri antromorfik, baik dalam bentuk tubuh manusia yang lengkap, maupun motif wajah, topeng dan cap tangan (Ballard, 1988:150 dalam Ririmasse 2007). Sementara deskripsi tentang lukisan cadas di Kei Kecil juga dituliskan oleh Kosasih. Ia menuliskan motif lukisan pada cadas tersebut berupa manusia dengan perisai, manusia dalam perahu, manusia jongkjok dengan tangan ke atas, cap tangan, perahu, matahari, ikan , burung, binatang melata, dan motif geometris berupa garis-garis silang membnetuk belah ketupat (Kosasih 1987;1986, dalam Nurani, 2000).

Situs lukisan cadas lain di Maluku yang selama ini hampir tidak pernah diulas dalam berbagai kajian seni cadas adalah Situs Wamkana di Bagian Selatan Pulau Buru. Situs ini adalah ceruk di bibir pantai dengan ketinggian sekitar 20 meter dari permukaan laut dan ditemukan dalam penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Ambon pada tahun 1997. Motif yang ditemukan di Situs Wamkana ini adalah cap tangan, manusia, mata angin, perahu, dan bentuk geometris (belah ketupat) (Suryanto, 1997). Ballard (1988) dalam kajiannya juga pernah menyatakan bahwa ada situs lukisan cadas yang bernama Matgugul Kakun di Pantai Selatan Buru. Apakah situs ini sama dengan yang dimaksud Suryanto di Wamkana atau merupakan situs lain, tentu ke depan harus dikaji lebih mendalam (Ririmasse, 2007). Berdasarkan teori Bellwood (2000 dalam Gunadi, 2004) perahu mulai muncul pada masa revolusi Neolitik yang dikembangkan oleh orang-orang Mongoloid yang berasal dari Dataran Cina Selatan yang bermigrasi ke kawasan Asia Tenggara sekitar 2000 tahun Sebelum Masehi (SM).

Temuan adanya lukisan dinding gua atau cadas perahu arwah” selanjutnya dikawasan Timur Indonesia, mulai Sulawesi hingga pulau Papua, memberikan interpretasi atau mengandung pesan adanya alur migrasi manusia beserta konsepsi perjalanan arwah atau upacara kematian. Berdasarkan temuan luksian cadas yang ada tersirat adanya suatu runtutan baik dari segi kronologi maupun motif yang digambarkan. Hal tersebut menjadi indikasi adanya alur yang melatarinya, sehubungan dengan proses migrasi yang terjadi (Nurani, 2000). Berdasarkan temuan luksian cadas Bagyo Prasetyo(1997) mengajukan hipotesis adanya jalur persebaran budaya dari Asia Tenggara dan Indoensia dan Australia. Jalur barat ditunjukkan oleh temuan dari Kalbar dan Kaltim, mungkin merupakan satu jalur dengan lukisan cadas dari Thailand. Selanjutnya persebaran tersebut menyebrang ke Sulawesi tenggara kemudian pecah menjadi dua yaitu ke timur menuju Kepulauan Maluku terus ke Papua dan Selatan menuju Flores dan Timor-Timur (Prasetyo, 1997; ibid).

Dugaan lain mengatakan perahu sudah dikenal manusia sejak masa epipaleolitik (mesolitik) atau masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau food gathering (H. Sukendar, 1998). Hal ini diperkuat oleh pendapat van Heekeren yang menyatakan lukisan cadas di Indonesia muncul dimasa mesolitik (Claire Holt, 1967 dalam Mawardi, 2006). Konsep teori adanya perahu pada masa mesolitik tentunya dikaitkan dengan adanya penyebaran manusia dari ras bangsa Austromelanesoid ke Indonesia, diduga sudah dimulai sejak sekitar 15.000 – 11.000 tahun yang lalu menjelang kala Holosen. Meskipun demikian, hasil penelitian Soejono (1994) di Gua Teluk Berau, Papua menunjukkan pendapat yang berbeda. Temuan artefaktual dari penghuni guanya pada masa lalu terdapat pada kedalaman 2 – 3 meter dari permukaan tanah sehingga lukisan perahu di dinding gua dan lain-lain tidak sekonteks dengan pendukung tradisi budaya manusia masa mesolitik. Adanya motif perahu berwarna merah dan belati bergaya Dongson dari lukisan menurut Tanudirdjo (1997) memperbesar dugaan dari masa perundagian (IA. Nurani, 2000). Menurut Tanudirjo (1996) ada anggapan bahwa seni cadas berkaitan dengan perjalanan arwah dengan perahu yang dibawa oleh pendukung budaya Dongson yang bermigrasi 2.500 tahun yang lalu (Tanudirjo, 1996).

Agaknya berdasarkan pendapat-pendapat arkeologi itu, menyangkut kronologi lukisan cadaspun masih banyak perbedaan (baca: perdebatan). Ini tanda bahwa mungkin sains arkeologi seringkali memberi kesimpulan yang spekulatif. Jika seperti yang dikatakan Nurani (2000) lukisan cadas sebagai media komunikasi, maka dapat pula diartikan sebagai penyampaian bahasa manusia pembuatnya. Jika bersandar pada makna lukisan cadas sebagai bahasa manusia pembuatnya, maka sangat mungkin lukisan cadas berumur lebih tua dari dugaan para ahli arkeologi selama ini. Sangat mungkin lukisan cadas hadir bersamaan saat pertama kali manusia modern melakukan migrasi dengan meggunakan media perahu dalam mengaruhi lautan menuju benua tertentu. Dengan demikian di Asia Tenggara termasuk di Indonesia, budaya lukisan cadas sangat mungkin telah dikenal sejak 40.000-60.000 tahun yang lalu.

Jika melihat kronologinya, Nurani (2000) menganggap data lukisan cadas di Maluku lebih muda dibandingkan dengan temuan lukisan cadas lainnya di Nusantara,seperti misalnya di Sulawsei Selatan. Nurani mengatakan berdasarkan kajian lukisan gua atau cadas di daerah Indonesia Timur, tampaknya semakin ke timur semakin maju. Hal ini terlihat dengan ketampakkan pada lukisan gua/cadas yang sudah menampilkan motif perahu layar (lukisan berwarna hitam). Dari segi kronologi umur lukisan gua atau cadas terlihat yang terdapat di Sulawesi Selatan (Pangkep) mempunyai pertanggalan yang lebih tua jika dibandingkan dengan lukisan perahu di Gua Sosorra, Papua yang mirip bentuk yang terdapat di Maluku (Kei Kecil) yang sudah menampilkan motif perahu pakai layar (IA. Nurani, 2000). Jika bersandar pada data lukisan cadas semata, tampaknya sulit membenarkan jika Wilayah Maluku sebagai home land budaya Austronesia. Namun demikian jika warna lukisan cadas turut menentukan umurnya, berarti lukisan cadas di Maluku mengalami perkembangan dari awal (tertua) hingga yang terbaru. Hal ini karena warna lukisan cadas di Maluku seperti yang dideskripsikan Balard (1985) terdapat warna merah pekat, merah, jingga, kuning dan hitam (Ballard, 1985 dalam Ririmasse, 2007).

Dengan kata lain dapat diartikan, sejak awal budaya lukisan cadas telah dikenal di wilayah Maluku, dan terus berkembang hingga masa-masa yang lebih muda berikutnya. Dihubungkan dengan proses migrasi, hal ini semakin dapat memberi keyakinan bahwa migrasi berlangsung secara bergelombang, atau juga terdapat proses migrasi sebar balik, yakni migrasi pertama, datangnya manusia dari luar ke wilayah Maluku, kemudian menyebar ke daerah lain, dan selanjutnya ada proses migrasi kembali ke daerah asal (home land) dengan membawa budaya yang lebih maju. Tentu pendalaman atas hipotesis ini masih perlu dilakukan atau masih perlu diuji kembali. Sains arkeologi, terutama di Indonesia, tampaknya masih melupakan kemungkinan ini.

Beliung persegi merupakan alat batu yang muncul pada masa bercocok tanam yaitu, masa yang muncul bersamaan dengan terjadinya arus migrasi besar-besaran bangsa Austronesia dari daratan Asia, yang diyakini bersal dari Cina Selatan yang membawa tradisi agrikultur, domestifikasi anjing, berlayar, dan rumpun bahasa yang tersebar luas di Kepulauan Indoensia (Bellwood et.al eds, 1995; Kusumohartono 2006). Di Maluku beliung persegi ditemukan beberapa situs hunian antara lain di Maluku Utara, Pulau Seram, Pulau Buru dan lain-lain. Di Pulau Seram tepatnya di Desa Maraina, Seram Utara, dalam tradisi tutur masyarakatnya, beliung persegi dikenal dengan sebutan gigi guntur (Ririmasse, 2006).

Jika budaya neolitik dianggap sebagai budaya bercocok tanam (pertanian) maka budaya tersebut diduga berasal dari Mediterania tepatnya di Kota Jericho sekitar 10.000 tahun yang lalu. Antara 10.000 – 4.000 tahun yang lalu masyarakat-masyarakat tani tumbuh di Asia bagian timur dan Tenggara, Papua New Guinea, Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Amerika Utara bagian timur (Olson, 2004). Banyak ahli juga menjelaskan bahwa pada masa paleometalik dan neolithik, ini masyarkat sudah mengenal teknologi pembuatan gerabah/tembikar. Di wilayah Maluku tradisi pembuatan gerabah dikenal di wilayah desa Ouw Pulau Saparua dan di daerah Maluku Tenggara. Tradisi pembuatan gerabah di kedua daerah itu hingga kini masih bertahan.

Khusus di wilayah Asia, Peter Lape seorang arkeolog berkebangsaan Amerika setelah melakukan serangkaian penelitian berhasil membuat peta sebaran tentang awal mula tradisi bercocok tanam yang di berawal dari kawasan Jepang yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara hingga Kepulauan Pasifik. Dalam peta tersebut tradisi bercocok tanam diawali di Jepang sekitar 7.000 - 6.300 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke Filipina sekitar 4.500 tahun yang lalu. Tradisi ini kemudian menyebar ke wilayah Pasifik melalui Sulawesi dan Kepulauan Maluku sekitar 4.000 tahun yang lalu dan tiba di kawasan Pasifik sekitar 3.000 tahun yang lalu (lihat Mansyur, 2007)

Dari kajian antropologi dan terutama arkeologi yang telah diuraikan menyangkut asal-usul dan budaya masyarakat Maluku, dapat disimpulkan antara lain: Pertama: seperti daerah nusantara lainnya, wilayah Maluku merupakan daerah persebaran budaya Austronesia yang dibawa oleh suku bangsa atau ras Austro Melanesia. Dari penjelasan ini maka dengan kata lain dapat dikatakan bahwa asal-usul masyarakat Maluku berasal dari migrasi ras Austromelanesia. Hal ini didasarkan ciri-ciri tinggalan budaya masyarakat Maluku yang berkarakter budaya Austronesia. Kedua; Berdasarkan kajian arkeologi, Maluku memiliki tinggalan budaya masa paleolithik, neolothik, megalithik hingga pelometalik (zaman logam tua/ perundagian). Dengan adaya petunjuk ini, seperti yang disampaikan oleh beberapa ahli arkeologi sebelumnya, Maluku sangat mungkin menjadi daerah asal (home land) penyebaran bangsa Austronesia. Jika melihat pengertian ini maka, kemungkinan masyarakat Maluku justru merupakan suku bangsa awal yang menyebarkan budaya Austronesia.

Meskipun belum ada kesimpulan yang solid mengenai asal-usul masyarakat Maluku, namun cukup rasional jika kemudian diangkat asumsi adanya proses sebar balik, yakni proses penyebaran budaya awal yang kemudian kembali ke daerah asal dengan budaya yang lebih maju karena adanya perkembangan budaya dalam proses migrasinya.