Sebuah kutipan yang dituangkan dalam tulisan Sahusilawane (2005), menjelaskan berdasarkan penyelidikan geologi pembentukan pulau-pulau di Maluku terjadi pada masa Mesozoikum dan Neozoikum yakni antara 150 juta sampai 1 juta tahun yang lalu. Pulau Seram ternyata merupakan pulau yang tertua struktur geologinya. Di masa Pleistocen Kepulauan Maluku berada di luar daerah daratan Asia dan letaknya lebih dekat dengan dataran Sahul yang berhubungan dengan Benua Australia (Sahusilawane, 2005). Sahusilawane juga mengutip pendapat ahli paleoantropologi yang mengatakan bahwa manusia Wajak daerah persebarannnya sampai pula di Benua Australia yang akhirnya menurunkan ras-ras Austro Melanesia dan Proto Melayu. Teori ini cenderung spekulatif, karena berdasarkan penelitian Olson, manusia arkaik (purba) tidak ada yang menyebrang melakukan perjalanan ke Australia (Olson, 2004). Selain itu kronologi Homo wajakensis sekitar 400.000 tahun yang lalu (Nurani, 2000), sementara berdasarkan teori genetika sekitar 60.000 tahun barulah manusia modern sampai di Benua Australia. Dengan demikian, kemungkinan persebaran manusia Wajak tidak sampai ke Australia. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa masyarakat yang mendiami kepulauan Maluku tidak ada keterkaitannya atau dengan kata lain tidak ada keterhubungannya dengan manusia Wajak (Homo wajakensis).
Mengenai pendapat bahwa pulau Seram menurunkan penduduk asli dari pulau ini, pendapat ini tampaknya sulit sekali dipegang kebenarannya. Hal ini karena tidak ada yang dapat menjelaskan hal itu, meskipun dugaan itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Berdasarkan penelitian arkeologi, ditemukan alat batu paleolitik di wilayah Sawai Pulau Seram bagian Utara, hal ini kemudian dihubungkan dengan migrasi manusia arkaik di Nusantara (Sapri Hadiwisastra, 1999/2000). Lantas, apakah kemudian manusia pendukung alat batu paleolithik inilah yang kemudian menurunkan penduduk asli Maluku? Tentu saja tidak demikian. Hal ini karena tidak ada petunjuk baik antropologis, arkeologis maupun genetis untuk menjelaskan hal ini. Juga hampir tidak ada kemungkinan terjadi percampuran genetis antara manusia pendukung budaya paleoltik itu dengan manusia modern yang datang ke wilayah Maluku. Hal ini sama sekali setidaknya sampai saat ini tidak ada bukti yang mengarah ke penjelasan itu. Pendapat ini sama halnya bantahan beberapa ahli paleoantropologi menyangkut berbagai asal-asal manusia di benua. Seperti yang dituliskan sebelumnya, hampir tidak ada kemungkinan, adanya percampuran manusia Wajakensis dengan manusia modern di Australia, yang kemudian menurunkan ras Austro-Melanosoid. Juga bantahan teori genetik tentang asal-usul manusia modern Eropa berasal dari hasil perkawinan manusia modern dengan manusia Neandhertal seperti yang diyakini oleh para ahli paleoantroplogi. Yang kemudian terbantahkan dengan teori genetik dari Olson (2004). Dari penelitian yang dituliskan oleh Olson, sesungguhnya menegaskan, tidak ada data secara genetis menjelaskan tentang adanya percampuran hasil perkawinan manusia modern yang terus hidup dan berkembang sekarang ini dengan kelompok manusia-manusia arkaik yang hidup ratusan ribu tahun sebelum manusia modern itu ada.
Kembali menyoal tentang adanya budaya paleolithik yang ditemukan di Maluku. Segera saja kita dapat memperkirakan bahwa di Maluku pada jaman prasejarah telah hidup manusia sebangsa Homo erectus, meskipun bukti-bukti fosilnya tidak didapatkan hingga sekarang. Namun, tidak ada sama sekali petunjuk, dan kemungkinan memang tidak mungkin sama sekali manusia zaman paleolitik ini menurunkan manusia-manusia modern yang pertama kali mendiami wilayah Maluku. Hipotesis yang paling dapat diterima adalah, manusia pendukung budaya paleolitik telah punah ketika manusia modern bermigrasi ke wilayah Maluku. Selain tentunya, rentang waktu yang sangat jauh antara masa manusia modern yang diperkirakan antara 40.000-60.000 ribu tahun yang lalu dengan manusia pendukung budaya paleolotik yang telah hidup ratusan ribu tahun sebelumnya.
Menurut Antropolog AH Keane, Pulau Seram merupakan pulau yang tertua di Maluku, pada zaman dulu telah didiami oleh suku-suku Alifuru yang disebut oleh antropolog Keane sebagai bangsa Alfuros. Suku Bangsa Alfuros ini adalah percampuran antara bangsa Kaukasus, Mongol, dan Papua. Di Pulau Seram Suku Bangsa Alfuros ini terkenal dengan nama suku Bangsa Alune dan Wemale. Selanjutnya antropolog Sachse dan DR O.D Taurn berpendapat bahwa suku Alune berasal dari utara, kemungkinan dari Sulawesi Utara dan Halmahera, sedangkan suku bangsa Wemale berasal dari timur kemungkinan dari Melanesia (NN.1977/1978, Sahusilawane, 2005;Tim Penelitian, 2007).
Berdasarkan kajian arkeologi, asal-usul penduduk di Indonesia dapat diamati dari hasil budaya materi yang ditinggalkannya. Penemuan data arkeologi terutama masa prasejarah, dapat memberikan petunjuk dengan pendekatan atau analisis perbandingan dengan temuan benda budaya lainnya di lain benua. Sisa-sisa budaya material yang ditemukan di daerah ini sebagian besar merupakan artefak yang memiliki ciri-ciri sebagai bagian dari budaya Austronesia, yaitu budaya yang dikenal dan disebarkan oleh bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Austronesia di kawasan antara Madagaskar di belahan Barat hingga Easter Island (di Pasifik) di belahan timur, serta Formosa di sebelah utara (Bellwood, 2001 dalam Sogondho, 2005). Budaya tersebut ditandai dengan dikenalnya beliung batu persegi (quadrangular adze) sebagai peralatan untuk bercocok tanam, bangunan megalit (megalith monument) sebagai sarana upacara atau pemujaan terhadap nenek-moyang, dan tempayan kubur (burial jar) sebagai perlengkapan penguburan (Geldern, 1945; Duff, 1970). Beliung batu persegi merupakan alat-alat untuk tebang-bakar (slash and burn) di dalam kegiatan bercocok tanam, sedangkan bangunan megalit dan tempayan kubur adalah merupakan alat-alat upacara ritual yang berorientasi pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang (ancestor worship) yang menjadi ciri-ciri dari budaya Austronesia itu (Geldern, 1945; Duff, 1970).
Masyarakat Maluku, terutama di daerah pedalaman Seram, hingga kini dikenal sebagai komunitas yang masih mempertahankan tradisi leluhur, hal ini dapat diamati dalam kehidupan mereka sehari-hari, terutama menyangkut kepercayaan terhadap leluhur. Telah banyak dituliskan dan diketahui, bahwa salah satu kebiasaan masyarakat Alifuru di Maluku pada masa lampau adalah memenggal (mengayau) kepala manusia. Bellwood (1978) menuliskan, berdasarkan observasi arkeologi dan antropologi, tradisi budaya mengayau (memenggal kepala) di Asia Tenggara diduga sudah berlangsung sejak atau sebelum 4000-3000 th SM. Tradisi ini kemungkinan dibawa bermigrasi ke kawasan nusantara, khususnya Borneo, Sulawesi, Maluku, Papua, Filipina, dan Melanesia. Menurut Heine Van Geldern dibawa oleh orang-orang Austronesia awal, pendukung tradisi budaya kapak batu persegi pada zaman Neolithik sekitar awal pertengahan melenium kedua sebelum masehi. (Peter Belwood 1978:157, 162, 174-175, dalam Mawardi, 2006).
Tampaknya jika merujuk pendapat Rainsfield, yang mengatakan bahwa ciri budaya Austronesia, satu diantaranya adalah masyarakatnya mengenal cerita tentang asal-usul nenek moyangnya. Maka Maluku juga tergolong masyarakat yang berasal dari ras AustroMelanesia dengan budaya Austronesia-nya.Dengan penjelasan itu segera saja dapat disimpulkan bahwa budaya yang berkembang pada masyarakat Maluku juga berasal dari masyarakat pendukung budaya Austronesia.