Bagaimana kaitan komunikasi dengan cultural studies?

Komunikasi merupakan unsur inheren dalam kebudayaan. Secara sederhana bisa dipahami bahwa budaya muncul sebagai hasil interaksi, dan interaksi tak mungkin terjadi di antara anggota kelompok budaya tanpa adanya komunikasi. Tidak sulit sesungguhnya memahami persinggungan cultural studies dengan komunikasi. Seperti diungkapkan Nick Couldry dalam bukunya Inside Culture: Re-Imagining the Method of cultural studies (2000), “cultural studies is an international, multicentered discipline.” Namun, untuk melacak bagaimana dan dalam wacana macam apa komunikasi terkait dengan cultural studies, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana komunikasi didefinisikan, utamanya dalam ranah disiplin budaya.

Buku-buku textbook komunikasi mendefinisikan komunikasi dalam berbagai aspek. Yang paling sederhana, umpamanya, datang dari Berelson dan Steiner yang memfokuskan pada unsur penyampaian: “Komunikasi adalah penyampaian informasi, ide, emosi, ketrampilan, dan seterusnya, melalui penggunaan simbol-kata, gambar, angka, grafik, dan lain-lain.” Pada 1945, duet Shannon dan Weaver, yang terkenal dengan eksperimentasi meninjau komunikasi dari perspektif mekanis menambahkan unsur inheren lainnya, yaitu bahwa komunikasi pun “ … mencakup semua prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya.” Perkara bagaimana satu pikiran mempengaruhi pikiran lain lantas diangkat Schachter, yang pada 1961, memperspektif komunikasi dari Tradisi Kritik dengan mendefinisikan komunikasi sebagai “… mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan.” Dance (1967) dari sisi psikologi perilaku manusia yang luas merinci komunikasi manusia sebagai pengungkapan respon melalui simbol-simbol verbal, di mana komunikasi diposisikan sebagai perangsang (stimuli) bagi respons yang terungkapkan. Fotheringham (1966) menarik komunikasi dalam kutub pragmatis. Menurutnya, komunikasi dilaksanakan untuk “menolong si penerima menangkap arti yang sama sebagaimana yang ada dalam pikiran si komunikator.” Gode (1959) menyebutnya dengan istilah “kebersamaan arti.” Pada akhirnya, istilah komunikasi kemudian diperluas dalam hubungan sosial yang fungsional. Colin Cherry, misalnya, mencoba merangkumnya dalam pendefinisian komunikasi sebagai “pembentukan satuan sosial yang terdiri dari individu-individu melalui penggunaan bahasa dan tanda. Memiliki kebersamaan dalam peraturanperaturan, untuk berbagai aktivitas pencapaian tujuan.” Harnack dan Fest (1964) mendefinisikan komunikasi sebagai “suatu proses ketika manusia berinteraksi untuk mencapai tujuan pengintegrasian, baik antar individu dalam kelompok tadi maupun di luar kelompok tersebut.” Atau, sebagaimana dikatakan Edwin Newman (1948), “komunikasi adalah suatu proses ketika sejumlah orang diubah menjadi kelompok yang berfungsi.” Definisi Newman memperluas pemahaman komunikasi tidak lagi sekadar masalah penyampaian pesan belaka, tapi menjadi suatu proses ketika terjadi suatu perubahan sosial yang distimulir oleh transfer message.

Keseluruhan definisi komunikasi di atas dapat ditemukan dalam karya klasik B. Aubrey Fisher Perspectives on Human Communication (1984), yang mengulas teori-teori komunikasi dari berbagai sudut. Ia menulis, mendefinisikan komunikasi merupakan hal yang mudah. Yang sulit dan amat sangat kompleks adalah memahami komunikasi.
Dalam kajian budaya, komunikasi merupakan sebentuk praktik budaya—suatu tindakan aktual terkait dengan performance dan pewarisan nilai-nilai budaya. Komunikasi karenanya menjadi komponen penting kebudayaan. Tanpa komunikasi, kebudayaan tak akan muncul, karena tanpa komunikasi tak akan terjalin interaksi dalam hubungan makna yang berarti di antara masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Namun, kendati diakui sebagai suatu praktik budaya, tidak semua tindakan masyarakat lantas serta-merta dapat diakui sebagai komunikasi. Mari kita simak gagasan sentral Juergen Habermas, yang dituangkan dalam karya klasiknya The Communicative Action

Menurut Habermas, dalam budaya pada dasarnya terdapat dua tipe tindakan. Pertama, bentuk-bentuk tindakan instrumental. Kedua, apa yang disebutnya sebagai communicative action. Bentuk-bentuk tindakan instrumental bergantung pada bentuk-bentuk egosentrik strategi dan kalkulasi. Sementara communicative action, di mana para aktor dipersiapkan untuk berkomitmen dengan norma-norma, merupakan hasil kesepakatan rasional. Tindakan komunikatif berkenaan dengan kemungkinan pencapaian kesepakatan atas (1) dunia objektif; (2) dunia sosial berkaitan dengan institusi, tradisi, dan nilai-nilai; (3) dunia subjektif masing-masing individu. Menurut Habermas kita semua mampu meraih pemahaman dari ketiga dunia yang berkaitan satusama lain ini dikarenakan fakta bahwa sebagai manusia kita merupakan bagian dari komunitas linguistik intersubjektif. Bagi Habermas (1981), fakta bahwa kita semua adalah pengguna bahasa bermakna bahwa kita secara komunikatif mampu mencapai pemahaman satu sama lain. Dengan penjelasan Habermas ini, maka jelaslah bahwa sebagai sebuah praktik, khususnya praktik budaya, yang tergolong sebagai komunikasi hanyalah tindakan terkait dengan bahasa dan komunitas linguistik intersubjektif. Di luar perkara itu, tindakan budaya hanya merupakan suatu aksi instrumental.

Bahasa dan komunitas linguistik intersubjektif menjadi komponen penting dalam mengandaikan konsep komunikasi sebagai suatu praktik budaya. Bahasa dipahami sebagai abstraksi dari fenomena, mulai dari fenomena konkret sedehana hingga fenomena konsep dan gagasan yang luar biasa rumitnya. Bahasa tidak akan sukses dipertukarkan di antara komunitasnya jika maknanya tidak dipahami. Tanpa makna, tanpa bahasa, tidak akan tercipta komitmen atas nilai budaya tertentu. Komunikasi dengan demikian melibatkan tindakantindakan penciptaan dan penafsiran makna dalam suatu medan budaya.

Medan budaya sendiri merupakan istilah yang diperkenalkan Pierre Bourdieu. Bourdieu mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi “wewenang” pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas. Medan budaya juga adalah konflik antarkelompok atau antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap sebagai “modal” dan bagaimana ia harus didistribusikan
Komunikasi sebagai suatu praktik budaya berlangsung dalam wilayah medan budaya. Dalam medan budaya, komunikasi dipahami sebagai tindakan produksi makna dan bagaimana sistem makna dinegosiasikan oleh para pemakainya dalam kebudayaan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah bagaimana mekanisme komunikasi sebagai tindakan produksi dan negosiasi makna berlangsung di dalam medan budaya.
Pada dasarnya, medan budaya merupakan a marketplace for exchanging ideas and meanings. Dalam perspektif kaum pluralis, medan budaya tersebut adalah a free marketplace, di mana tercipta konsensus-konsensus tertentu secara alamiah dalam suatu ekuilibrium. Apa yang dinamakan makna dalam tradisi kelompok pluralis (fungsionalisme struktural) merupakan produk tindakan komunikasi yang alamiah dan spontan.

Ini berbeda dengan pandangan perspektif Paradigma Kritis, yang menganggap bahwa free marketplace itu sekadar gagasan semu atau bagian kesadaran yang dipalsukan. Dalam pandangan Kritis, konsensus didefinisikan secara sosial, hasil dari suatu konstruksi sosial. Dengan demikian, pemunculan makna tidaklah bersifat alamiah. Dikemukakan Stuart Hall, “konsensus tidak timbul secara alamiah dan spontan, tetapi terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi.” Karena itu, dalam perspektif kritis, makna yang tidak tercipta secara alamiah itu tidak lagi ditafsirkan sebagaimana adanya secara spontan. Makna dan penafsirannya kerapkali dipaksakan atas dasar kepentingan tertentu. Dengan kata lain, makna diproduksi melalui intervensi.

Terlepas dari kedua pandangan yang saling berlawanan tersebut, satu hal agaknya disepakati bersama, yaitu bahwa medan budaya menjadi pusat bertemunya gagasan-gagasan, dan bahwa komunikasi, ditilik dari sudut ini, menjadi praktik negosiasi makna yang pada akhirnya mengkristal menjadi peraturan, nilai-nilai, atau kepercayaan tertentu. Proses ini tak pernah berhenti sepanjang budaya itu masih ada. Sebuah budaya muncul, terlestarikan, atau berubah karena adanya dialektika tanpa henti dari gagasan-gagasan dan kode-kode makna yang dipertemukan. Begitu dialektika itu berhenti, habis pulalah budaya tersebut.

Beranjak dari pemikiran tersebut, maka kebudayaan dimaknai pula sebagai totalitas tindakan komunikasi dan sistem-sistem makna. Sebagai konsekuensinya, sejumlah karya cultural studies lantas memahami komunikasi sebagai tindakan produksi makna, dan bagaimana sistem makna dinegosiasikan oleh pemakainya dalam kebudayaan. Komunikasi merupakan tindakan budaya, yang memerlukan berbagai bentuk kemelek-hurufan budaya (cultural literacy).

Persinggungan disiplin komunikasi dengan cultural studies sendiri tampak jelas dari kontras antara dua definisi komunikasi dari sudut pandang yang berbeda. Dari perspektif social-scientific, Jensen & Jankowski (1993) mencatat, Carey (1989) mendefinisikan komunikasi sebagai “…meaning production as a social ritual and as a transmission of contents from producers to audiences.” Isi (content), produser (producers), dan khalayak (audience) adalah konsep khas komunikasi, yang dari perspektif humanistik lantas dikonseptualisasikan secara berbeda. Content menjadi ekspresi dari subjektivitas dan estetika tertentu. Sekaligus pula sebagai representasi dari konteks tertentu.

Tiga konstituen proses komunikasi, yaitu pesan komunikasi, komunikator, dan struktur sosial juga menjadi perhatian humanistik, yang membahasakannya secara berbeda. Pesan komunikasi dalam konteks humanistik menjadi wacana (discourse), komunikator menjadi subjectivity, sedangkan struktur sosial menjadi konteks (context). Konsep wacana mangacu pada setiap upaya pemanfaatan bahasa, atau sistem semiotik lainnya, dalam konteks sosial. Implikasinya, pesan komunikasi yang dahulu kerap diperlakukan sebagai medium beku, kini dimaknai sebagai medium social construction of reality—meminjam istilah terkenal Berger dan Luckmann (1966)— suatu medium yang sangat cair, melibatkan interaksi keseharian dan kategorisasi kesadaran. Konsep subjectivity juga menempatkan komunikator dalam posisi khusus yang berbeda. Jika dahulu komunikator dipandang sebagai agen yang penuh kuasa dan relatif otonom dari pengaruh eksternal, kini, dalam kaitannya dengan munculnya strukturalisme, subjek ditempatkan di dalam bahasa. Sementara itu, teori komunikasi humanistic mendekati struktur sosial dengan cara berbeda, di mana konteks berperan penting dalam setiap ruang dan waktu. Konteks sendiri kini dimaknai sebagai con-text—yaitu suatu konfigurasi teks yang harus “dibaca” atau diinterpreatasikan, sebagai hasil proses perubahan historis.

Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa persinggungan antara disiplin komunikasi dengan cultural studies sesungguhnya merupakan hal yang bermanfaat karena menghadirkan inovasi, cara pandang baru, dan terobosan kreatif dalam riset-riset komunikasi. Kendati demikian, tidak semua kajian seputar tindakan komunikasi sebagai praktik produksi makna dalam medan budaya dapat dikategorikan sebagai cultural studies. Sesuai dengan semangatnya, cultural studies dalam mengkaji komunikasi sebagai praktik produksi makna akan senantiasa membacanya dalam kerangka paradigma kritik. Artinya, komunikasi dalam ranah cultural studies akan dipandang sebagai praktik yang dihubungkan dengan relasi kekuasaan.