Bagaimana kaitan ideologi, hegemoni dan kekuasaan dalam analisis wacana kritis?

Gagasan ideologi yang menginformasikan soal teori sosial kritis sepanjang abad ke-dua puluh, muncul dalam karya Karl Marx. Di sini, ideologi mengacu pada cara di mana masyarakat secara keseluruhan mengadopsi ide dan minat kelas ekonomi yang dominan. Model ideologi Marx bersandar pada perspektif historis-materialis, yang menyatakan bahwa realitas material adalah dasar dari kesadaran sosial. Realitas material memberi batas-batas pada gagasan yang mungkin muncul yang dapat diterima dalam lingkungan sosial tertentu. Ideologi dominan kapitalisme dapat diterima secara cuma-cuma oleh kelas pekerja begitu saja dalam struktur ekonomi ketidaksetaraan. (Stoddart, 2007)

Ahli Frankfurt School seperti Walter Benjamin, Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse, mengambil konsep ideologi Marx dan memperdalam teori tersebut. Seperti yang dicatat Walter Benjamin, perubahan teknologi telah memungkinkan “reproduksi mekanis” dan penyebaran budaya secara luas. Produk-produk budaya, seperti film, musik, siaran radio dan buku saat ini menembus kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat (Stoddart, 2007). Frankfurt School menekankan ranah budaya dan pertumbuhan rasionalitas ilmiah sebagai hal yang penting dalam dominasi dimana kelas dominan menjalankan kekuasaan melalui ideologi. Dalam karya ini, dinyatakan bahwa kekuatan ideologis mengalir secara relatif searah dari kelas kapitalis ke khalayak massa sehingga hanya ada sedikit ruang bagi audiens untuk melakukan kritik atau perlawanan. (Stoddart, 2007).

Sementara itu, Antonio Gramsci dengan teori hegemoninya menitikberatkan pada teori yang menekankan mengenai proses penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam keadaan yang damai tanpa adanya tindakan kekerasan. Gramsci merujuk pada bentuk kegiatan praktis yakni filsafat yang terkandung sebagai premis teoritis implisit dan konsepsi dunia yang terwujud secara implisit dalam seni, hukum, kegiatan ekonomi dan seluruh manifestasi individu dan kehidupan bermasyarakat/kolektif“ (Antonio Gramsci dalam Fairclough, 1989).

Antonio Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk menggambarkan bagaimana negara dan masyarakat sipil menghasilkan persetujuan terhadap hierarki kelas masyarakat kapitalis (Hall, The Problem of Ideology: Marxism without Guarantees, 1996). Sementara ideologi berkonotasi aliran kekuasaan searah, hegemoni menekankan konflik inheren yang terlibat dalam membangun jaringan kekuasaan melalui pengetahuan. Dengan konsep wacana, post-strukturalisme dan post-Marxisme semakin menantang gagasan tentang ideologi. Teori wacana menentang tentang konsep ekonomi dalam teori ideologi dan menekankan sudut pandang istimewa kelas pekerja sebagai aktor sejarah (Stoddart, 2007).

Antonio Gramsci menjelaskan tahap formatif dari kekuatan kelas mulai dari hubungan ekonomi ke kekuatan politik, kekuasaan kelas yang berkuasa berkembang dari hegemoni sipil menjadi hegemoni politik dalam Marxis. Bagi Gramsci, hegemoni tidak hanya merujuk pada kepemimpinan ideologis dan budaya dari kelompok yang berkuasa atas sekutu, tetapi juga dominasi yang dilakukan oleh mereka bahkan terhadap sekutu. Gramsci mengemukakan bahwa hegemoni merujuk tidak hanya pada persetujuan yang akan diperoleh dari yang berkuasa, tetapi juga kekuatan, pemaksaan dan pengenaan kepentingan kelas penguasa atas sekutu atau kelompok dan kelas saingan (Gündoğan, 2008).

Analisis Wacana Kritis atau Critical Discourse Analysis pada dasarnya bertujuan untuk mengungkap ideologi dalam teks secara implisit. Analisis ini mengungkap prasangka ideologis yang mendasari dan penggambaran kekuasaan dalam teks (Widdowson, 2000). Riset ini mencoba menganalisis secara kritis hubungan antara bahasa, ideologi, dan masyarakat seperti yang dikatakan Teun A. van Dijk (1993) bahwa analisis wacana kritis ingin memahami, mengekspos, dan melawan ketidaksetaraan sosial.

Ringkasan

Fairclough, N. (1989). Language and Power. London: Longman.

Gündoğan, E. (2008). Conceptions of Hegemony in Antonio Gramsci’s Southern Question and the Prison Notebooks. New Proposals: Journal of Marxism and Interdisciplinary Inquiry , 45-60.

Stoddart, M. (2007). Ideology, Hegemony, Discourse:A Critical Review of Theories of Knowledge and Power. Social Thought & Research , 190-225.

Van Dijk, T. A. (1993). Principles of critical discourse analysis. Discourse and Society , 249-283

Widdowson, H. (2000). Critical Practices: On Representation and the Interpretation of Text. Harlow: Pearson Education.

Tokoh Analisis Wacana Kritis, Fairclough, mengasumsikan sifat ideologis untuk akal sehat, sampai batas tertentu, dan mempercayai bahwa akal sehat secara ideologis dapat membantu kelangsungan hidup hubungan kekuasaan yang tidak setara dan menjadi justifikasi atas kekuasaan tersebut (Fairclough, 1989).

Fairclough mengambil pendekatan yang agak tradisional terhadap kekuasaan dan tidak setuju dengan pendapat Foucault. Dari sudut pandang Fairclough, Foucault menganggap kekuasaan sebagai kekuatan dan hubungan simetris yang dominan dalam masyarakat dan tidak dalam tangan suatu kelompok khusus; sedangkan dalam pemikiran Fairclough, hubungan kekuasaan adalah asimetris, tidak setara, dan memberdayakan yang termasuk kelas atau kelompok khusus (Ahmadvand, 2009). Althusser Foucault menyumbangkan konsep ideologi yang digambarkan sebagai dialektika kekuasaan dan kaitan antara subjek dan ideologi. Dalam konsepnya, ia menyatakan bahwa ideologi dan subjek saling berhubungan, subjek selalu memerlukan ideologi begitu pula ideologi yang mampu menciptakan subjek. Selain itu,ideologi menempatkan seseorang berada dalam posisi tertentu dalam relasi sosial dan juga menciptakan hubungan individu dengan relasi sosial tersebut (Eriyanto, 2001).

Wodak dan Ludwig mengklaim bahwa kekuasaan dan ideologi selalu tertanam dalam wacana. Ketika tidak ada hubungan kekuasaan, atau ketika tidak ada koneksi antara nilai-nilai dan norma-norma, maka tidak akan ada interaksi, atau yang disebut dengan wacana (Wodak & Ludwig, Challenges in a changing world: Issues in critical discourse analysis, 1999). Oleh karena itu, pendengar atau pembaca yang memiliki posisi dan ideologi berbeda mungkin bertindak berbeda terhadap wacana yang sama. Akibatnya, kekuatan dan ideologi diperdebatkan untuk dipertimbangkan dalam CDA (Liu & Guo, 2016).

Ideologi dari kelompok dominan disebut efektif jika anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang benar dan wajar. Oleh karena itu, Teun A. van Dijk menyebut fenomena ini sebagai “kesadaran palsu” yakni bentuk manipulatif kelompok dominan mengenai ideologinya yang diberikan kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi melalui kontrol media (Eriyanto, 2001).

Raymond William membuat klasifikasi mengenai penggunaan ideologi dalam tiga ranah (Eriyanto, 2001);

  • Sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kolompok atas kelas tertentu

  • Sistem kepercayaan dan ide/kesadaran palsu yang dibuat yang bisa dilawan dengan pengetahuan ilmiah.
    Ideologi dalam hal ini berarti kelompok yang berkuasa/dominan dapat membuat kesadaran palsu untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan sehingga hubungan sosial yang tampaknya sebagai hal alamiah, tanpa sadar diterima sebagai kebenaran

  • Proses umum produksi makna dan ide
    Ideologi digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan mengenai produksi makna, dalam hal ini berita dapat dikatakan sebagai gambaran dari ideologi tertentu.

Terlepas dari perbedaan yang ada dalam pendekatan terhadap CDA ( Critical Discourse Analysis), semua pendekatan ini berfokus pada hubungan dialektik antara bahasa, kekuasaan, ideologi, dan peran penting bahasa sebagai alat menyebarkan kekuasaan dan melegitimasi kesenjangan sosial (Ahmadvand, 2009). Analisis Wacana Kritis mencoba menggali dan mengklarifikasi hal yang dianggap wajar dalam dominasi ideologi oeh kelompok tertentu. Dari titik pandang CDA, bahasa tidak memiliki kekuatan secara terpisah namun menjadi alat yang kuat apabila digunakan oleh orang-orang yang berkuasa. Oleh karena itu analisis kritis biasanya dilakukan pada kelompok yang tidak memiliki suara atau kelompok lemah karena mereka yang berkuasa bertanggung jawab atas adanya ketidaksetaraan sosial. Kekuasaan tidak berasal dari bahasa; namun bahasa digunakan untuk melawan kekuasaan.

sumber

Ahmadvand, M. (2009). Critical Discourse Analysis An introduction to major approaches. Advance Writing Course of University of Zanjan, 1-14.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKis Group

Fairclough, N. (1989). Language and Power. London: Longman.

Liu, K., & Guo, F. (2016). A Review on Critical Discourse Analysis. Theory and Practice in Language Studies , 1076-1084.

Wodak, R., & Ludwig, C. (1999). Challenges in a changing world: Issues in critical discourse analysis. Vienna: Passagenverlag.