Bagaimana kaitan antara Sistem moneter fiat dengan Riba?

Sistem moneter fiat dan Riba

Bagaimana kaitan antara Sistem moneter fiat dengan Riba?

Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan mempergunakan apa saja yang dia sukai. Hanya saja, pertukaran barang dengan satuan uang tertentu itu telah ditunjukkan oleh Islam satu sistem moneter. Dan Islam telah menetapkan bagi kaum muslimin kepada jenis tertentu yaitu emas dan perak (An Nidzam Al Iqtishadi fil Islam: 263). Kesimpulan ini berdasarkan beberapa alasan berikut:

  1. Islam mengharamkan menimbun (al kanz) emas dan perak Larangan pada ayat di atas tertuju pada penimbunan emas dan perak, sebagai emas dan perak, dan sebagai mata uang dan alat tukar.

  2. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku, seperti diyat dalam pembunuhan sebesar 1000 dinar dan batasan bagi potong tangan atas pencurian atas harta yang mencapai ¼ dinar.

  3. Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang, dan menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang. Dimana standar barang dan jasa akan dikembalikan kepada standar tersebut.

  4. Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak.

  5. Ketika Islam menetapkan hukum pertukaran uang (sharf), Islam menetapkan uang dalam bentuk emas dan perak. Sharf adalah menukarkan atau membeli uang dengan uang, baik dalam jenis yang sama seperti membeli emas dengan emas atau perak dengan perak, maupun antar jenis yang berbeda seperti membeli emas dengan perak.

Dengan dasar-dasar hukum tersebut, nyatalah bahwa sistem moneter bukanlah wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi (madaniyah) yang bersifat umum (universal). Melainkan ia adalah bagian dari sebuah pandangan hidup (hadlarah) dan ideologi (mabda). Dalam Islam biasa disebut sebagai masalah aqidah dan syariat.

Fakta menunjukkan bahwa sistem moneter adalah bukan ilmu pengetahuan yang umum milik semua umat, melainkan bersumber dari aqidah dan syariat tertentu. Sebagai contoh “bunga” merupakan problem moneter dalam sistem Kapitalis, namun menurut sistem Islam “bunga” bukanlah problem moneter, sebab membungakan uang adalah perbuatan riba yang haram hukumnya. Maka sistem moneter kapitalis tidak boleh diterapkan dalam masyarakat Islam

Sistem moneter yang ada sekarang ini adalah sistem moneter yang menngunakan uang kertas. Uang kertas sendiri semata-mata adalah lambang, yang mewakili uang hutang (promissory note) atau dapat pula diartikan sebagai IOU –I Owe You- (Saya Hutang Kamu). Hutang yang menuntut bayaran lebihan atau tambahan. Maka dengan demikian uang kertas dapat dikatakan mengandung unsur riba. Uang kertas riba oleh para ahli ekonomi Islam di duga merupakan salah satu ciptaan manusia yang membawa bencana, celaka, kezaliman dan malapetaka kepada seisi bumi ini.

Dari segi sejarah uang kertas telah melalui beberapa tahap perubahan dan sedang melanjutkan evolusinya. Bersalin dari kertas ke suatu bentuk elektronik yang merupakan unit ‘uang andaian’ (hypothetical money). Sebenarnya, sepanjang catatan sejarah, emas dan perak merupakan uang sejagat yang digunakan untuk berjual-beli di Eropa, di benua Afrika, di bumi Cina dan kepulauan Nusantara. Namun, pada masa Zaman Kegelapan Eropa, uang kertas mulai digunakan sebagai nota pertukaran (bill of exchange) di antara pedagang-pedagang di bandar-bandar yang berlainan. Riba dari segi bahasa berarti kelebihan atau tambahan. Pengharaman riba menunjukkan bahwa Islam melarang perbuatan zhalim antara dua belah pihak, tidak boleh menzhalimi dan tidak boleh dizhaimi.

Akibatnya, semua uang yang beredar mengandung kelebihan atau tambahan padanya, yang akhirnya menyebabkan uang itu susut nilai. Kondisi ini dikenal sebagai inflasi ini terkandung dalam sistem keuangan riba. Inflasi tidak lain dan tidak bukan adalah invisible tax dan perampokan yang diatur oleh undang-undang. Bank selalu menciptakan lebih banyak uang dari masyarakat melalui kelebihan atau tambahan bayaran atas kelebihan hutang dari apa yang dipinjamkan.

Akibatnya terjadi pinjaman yang berkelanjutan untuk menerbitkan lebih banyak lagi uang. Pertumbuhan kredit ini tidak hanya mencerminkan pertumbuhan kekayaan yang sejati, namun juga membesarkan inflasi karena barang dan jasa-jasa mengalami ‘monetization’. Dimana semuanya dinilai dengan uang kertas yang tidak menentu. Dengan pertumbuhan semu ini, keseluruhan sistem keuangan riba akan runtuh.
Setiap kali pinjaman dikeluarkan, lebih banyak uang perlu dicari, dan dipinjamkan. Berdampak kepada harga barang dan jasa-jasa naik, dan ini mendorong kenaikan gaji agar dapat mendapatkan lebih banyak uang untuk meningkatkan kemampuan membeli barang-barang yang telah melambung harganya itu. sehingga, putaran inflasi terjadi akibat terlalu banyaknya uang menghambat barang dan jasa-jasa yang sedikit. Hal ini disebabkan oleh penggandaan uang terus menerus. Uangnya tetap sama, hanya nilainya saja yang turun karena jumlahnya dalam peredaran berlipat-ganda.

Para pakar ekonomi Kapitalis zaman klasiklah yang telah memberi landasan pada sistem ekonomi Kapitalis modern mengenai keberadaan suku bunga/riba. Adam Smith dan Ricardo, misalnya menganggap bahwa bunga/riba itu seperti ganti rugi yang diberikan oleh si peminjam kepada pemilik uang atas keuntungan yang mungkin diperolehnya dari pemakaian uang tersebut. Dengan demikian, bunga uang/riba itu adalah hadiah atau balas jasa yang diberikan kepada seseorang karena dia telah bersedia menunda pemenuhan kebutuhannya. Sedangkan menurut Marshall, bunga uang dilihat dari aspek penawaran merupakan balas jasa terhadap pengorbanan bagi kesediaan seseorang untuk menyimpan sebagian pendapatannya ataupun jerih-payahnya melakukan penungguan (Principle of Economic, Marshall, hal 534).

Lebih lanjut Marshall menambahkan bahwa besarnya tingkat suku bunga/riba terletak pada titik potong antara grafik permintaan dan persediaan jumlah tabungan. Apabila jumlah tabungan amat banyak sementara permintaan merosot tentu saja akan menurunkan tingkat suku bunga. Sebaliknya jika tingkat permintaan tinggi sedangkan jumlah tabungan sedikit akan mengatrol tingkat suku bunga. Teori ini secara langsung menjelaskan bahwa tingkat permintaan, yang biasanya berbentuk aktivitas ekonomi riil dan relevan dengan tingkat penanaman modal amat berkait erat satu dengan yang lain. Artinya tingkat suku bunga berhubungan dengan jumlah tabungan dan aktivitas penanaman modal (usaha ekonomi riil). Tingkat suku bunga yang tinggi diyakini oleh sebagian masyarakat akan mampu memacu aktifitas ekonomi karena tersedianya dana yang melimpah.

Pendapat-pendapat semacam ini, oleh sebagian pakar ekonomi Kapitalis sendiri telah dibantah, dan pada intinya dijelaskan sebagai berikut:

  1. Teori bunga di atas oleh Keynes dikritik habis. Ia mengungkapkan bahwa bunga bukanlah hadiah atas kesediaan orang untuk menyimpan uangnya. Sebab setiap orang bisa saja menabung tanpa meminjamkan uangnya untuk memperoleh bunga uang, sementara yang dipahami selama ini bahwasanya setiap orang hanya dapat memperoleh bunga dengan meminjamkan lagi uang tabungannya itu. Malah Keynes menyimpulkan bahwa suku bunga itu hanyalah pengaruh angan-angan manusia saja (highly conventional), dan setiap suku bunga uang terpaksa diterima oleh masyarakat, yang dalam pandangan orang kebanyakan terlihat menyenangkan.

  2. Adapun hubungan tingkat suku bunga dengan struktur permodalan yang ada, Keynes mengatakan bahwa suku bunga di dalam suatu masyarakat yang berjalan normal akan sama dengan nol (tidak ada bunga), dan ia amat yakin bahwa manusia bisa memperoleh uang dengan jalan berusaha.

  3. Dalam situasi resesi ekonomi atau pada saat terjadi economic boom fenomena bertambahnya penanaman modal dalam jumlah yang sama dengan tabungan masyarakat (karena tingkat suku bunga yang tinggi), adalah anggapan yang salah dan keliru. Sebagaimana yang kita rasakan pada saat resesi, meski bunga bank digenjot habis setinggi-tingginya dan berhasil mengumpulkan dana masyarakat puluhan triliun rupiah, tetap saja usaha dan penanaman modal dalam sektor ekonomi riil lumpuh.

  4. Dilihat secara umum seseorang yang menambah jumlah tabungan atau depositonya –menurut Keynes—pada dasarnya akan mengurangi jumlah tabungan orang lain. Pengalaman selama Perang Dunia ke-II di AS saja terbukti bahwa pertumbuhan tabungan masyarakat justru lebih tinggi dengan bunga rendah (1%), dibandingkan dengan sebelumnya yang tingkat bunganya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tabungan tidak ditentukan oleh besarnya tingkat suku bunga, akan tetapi ditentukan oleh tingkat penanaman modal (aktifitas ekonomi riil). Begitu pula kita dapat melihat fenomena antara negara-negara industri (yang tingkat suku bunganya rendah) dan jumlah tabungan masyarakatnya besar dengan negara-negara miskin yang memiliki tingkat suku bunga amat tinggi, akan tetapi jumlah tabungannya tetap rendah.