Bagaimana Jika Jalan dan Trotoar Beralih Fungsi Menjadi Tempat Berdagang?

image
Sekarang di kota tempat saya tinggal semakin macet saja. Tidak hanya karena ada pembangunan dimana-mana, tetapi juga karena ada jalan-jalan yang ditutup pemda untuk pasar, bahkan trotoar juga dijadikan tempat berdagang. Apa dasar hukum dibolehkannya tindakan pemda tersebut? Memang bisa peruntukan jalan justru menjadi tempat berdagang para pedagang kaki lima?

Penutupan Jalan Menurut UU Lalu Lintas
Pada dasarnya, penutupan jalan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) adalah penutupan jalan akibat penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya, yang dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.[1]

Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya” antara lain:[2]
kegiatan keagamaan;
kegiatan kenegaraan;
kegiatan olahraga; dan/atau
kegiatan budaya.

Dari sini bisa dilihat bahwa kegiatan perdagangan atau kegiatan berjualan tidak termasuk “penyelenggaraan kegiatan di luar fungsi jalan” yang diatur menurut UU LLAJ.

Gangguan Fungsi Jalan dan Fasilitas Pejalan Kaki Menurut UU Lalu Lintas
Walaupun dalam UU LLAJ tidak diatur mengenai penutupan jalan untuk berdagang/berjualan, akan tetapi UU LLAJ mengatur mengenai sanksi pidana jika terjadi gangguan fungsi jalan dan fasilitas pejalan kaki (trotoar), sebagai berikut:

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.[3] Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta.[4]

Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, salah satunya berupa fasilitas untuk pejalan kaki.[5] Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan, dalam konteks ini yang dimaksud adalah trotoar sebagai fasilitas untuk pejalan kaki yang terganggu fungsinya menjadi tempat berdagang.[6]
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi fasilitas Pejalan Kaki dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.[7]

Gangguan Fungsi Jalan dalam UU Jalan
Selain UU LLAJ, ada dasar hukum lain yang mengatur mengenai penggunaan jalan untuk kegiatan di luar fungsi jalan, yaitu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (“UU Jalan”).

Dalam UU Jalan diatur beberapa sanksi pidana sehubungan dengan “melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan” sebagai berikut:

Dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar.[8]
Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.[9]

Dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp 500 juta.[10]
Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan.[11]

Dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 200 juta.[12]
Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.[13]

Dari ketentuan di atas, jika ada kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan maka orang yang melakukan kegiatan tersebut dapat dipidana. Hal serupa juga dikatakan oleh Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Halim Pagarra, dalam artikel Polisi: Silakan Tata PKL, tapi Jangan Ubah Fungsi Jalan Jadi Lapak PKL yang kami akses dari laman media Kompas.com. Halim Pagarra mengapresiasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan penataan pedagang kaki lima (“PKL”) di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun, penataan PKL sebaiknya tidak dilakukan dengan mempersilakan PKL berjualan di badan jalan.

Menurutnya, pihak yang melanggar fungsi jalan bisa dikenai pelanggaran undang-undang jalan, yakni Pasal 63 UU Jalan yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar.

Ketentuan Pemanfaatan Trotoar untuk Berjualan dalam Peraturan Menteri
Berbeda dengan UU LLAJ dan UU Jalan yang tidak mengatur pemanfaatan jalan dan trotoar untuk berdagang/berjualan, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (“Permenpu 3/2014”) mengatur pemanfaatan trotoar untuk berdagang/berjualan.

Kebijakan pemerintah yang mengizinkan orang untuk berjualan di trotoar diatur dalam Pasal 13 Permenpu 3/2014 yang berbunyi:

Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki dilakukan dengan mempertimbangkan:
jenis kegiatan;
waktu pemanfaatan;
jumlah pengguna; dan
ketentuan teknis yang berlaku.
Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki.

Jadi, atas dasar pertimbangan soal pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis, bisa saja pemanfaatan trotoar digunakan untuk kegiatan perdagangan berupa Kegiatan Usaha Kecil Formal (“KUKF”).

Ketentuan lebih rinci mengenai pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki sebagai tempat KUKF tercantum dalam Lampiran Permenpu 3/2014, yaitu:[14]
Jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 – 2,5 meter, agar tidak menganggu sirkulasi pejalan kaki.
Jalur pejalan kaki memiliki lebar minimal 5 (lima) meter, yang digunakan untuk area berjualan memiliki lebar maksimal 3 (tiga) meter, atau memiliki perbandingan antara lebar jalur pejalan kaki dan lebar area berdagang 1:1,5.
Terdapat organisasi/lembaga yang mengelola keberadaan KUKF.
Pembagian waktu penggunaan jalur pejalan kaki untuk jenis KUKF tertentu, diperkenankan di luar waktu aktif gedung/bangunan di depannya.
Dapat menggunakan lahan privat.
Tidak berada di sisi jalan arteri baik primer maupun sekunder dan kolektor primer dan/atau tidak berada di sisi ruas jalan dengan kecepatan kendaraan tinggi.

Ketentuan Berjualan di Jalan dan Trotoar Menurut Peraturan Daerah
Selain peraturan menteri, Anda dapat merujuk juga pada peraturan daerah setempat. Sebagai contoh Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”). Perda DKI Jakarta 8/2007 mengatur mengenai ketertiban penggunaan sarana dan prasarana untuk umum.

Pasal 1 angka 14 Perda DKI Jakarta 8/2007 memberikan pengertian “pedagang kaki lima” sebagai berikut:

Pedagang kaki lima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah daerah antara lain badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah jembatan, jembatan penyeberangan.

Kemudian Perda DKI Jakarta 8/2007 juga mengatur lebih rinci mengenai pedagang kaki lima yang berjualan di jalan atau trotoar dalam Pasal 3, Pasal 25, dan Pasal 27 Perda DKI Jakarta 8/2007 sebagai berikut:

Pasal 3 Perda DKI Jakarta 8/2007:
Kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang:
menutup jalan;
membuat atau memasang portal;
membuat atau memasang tanggul jalan;
membuat atau memasang pintu penutup jalan;
membuat, memasang, memindahkan atau membuat tidak berfungsi rambu-rambu lalu lintas;
menutup terobosan atau putaran jalan;
membongkar trotoar dan memasang jalur pemisah, rambu-rambu lalu lintas, pulau-pulau jalan dan sejenisnya;
membongkar, memotong, merusak atau membuat tidak berfungsi pagar pengamanan jalan;
menggunakan bahu jalan (trotoar) tidak sesuai dengan fungsinya;
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat berakibat merusak sebagian atau seluruh badan jalan dan membahayakan keselamatan lalu lintas.
menempatkan benda dan/atau barang bekas pada tepi-tepi jalan raya dan jalan-jalan di lingkungan permukiman.

Pasal 25 Perda DKI Jakarta 8/2007:
Gubernur menunjuk/menetapkan bagian-bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima.
Setiap orang atau badan dilarang berdagang, berusaha di bagian jalan/trotoar, halte, jembatan penyeberangan orang dan tempat-tempat untuk kepentingan umum lainnya di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap orang dilarang. membeli barang dagangan pedagang kaki lima sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 27 Perda DKI Jakarta 8/2007:
Setiap orang/badan dilarang menempatkan benda-benda dengan maksud untuk melakukan sesuatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali di tempat-tempat yang telah diizinkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Gubernur.
Setiap orang/badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau melakukan usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali tempat-tempat yang ditetapkan oleh Gubernur.
Setiap orang dilarang membeli barang dagangan dan menerima, selebaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Berdasarkan pasal-pasal di atas jelas bahwa sebenarnya dilarang untuk berdagang/berjualan di jalan/trotoar kecuali tempat tersebut telah ditetapkan oleh Gubernur sebagai tempat usaha pedagang kaki lima.

Contoh Jalan di Jakarta yang Ditutup dan Menjadi Tempat Berjualan
Sebagai tambahan informasi untuk Anda, jalan di Jakarta yang ditutup untuk kemudian dijadikan sebagai area PKL antara lain adalah Jalan Jati Baru Raya sepanjang 400 meter di depan Stasiun Tanah Abang sebagai bagian dari upaya penataan kawasan Tanah Abang sebagaimana yang diinformasikan dalam artikel Warga Tolak Penutupan Jalan Jati Baru Tanah Abang yang kami akses dari laman media Metro TV.

Meski demikian, sebelum pemerintah daerah setempat menutup jalan dan mengaihkan fungsinya menjadi tempat atau kawasan perdagangan, sebaiknya didahului dengan upaya sosialisasi dan musyawarah dengan warga sekitar serta kepolisian terkait perubahan lalu lintas jalan yang akan terjadi. Selain itu, pengorganisasian yang baik atas pedagang kaki lima juga perlu dilakukan.