Bagaimana Jalan Hati Menuju Allah SWT?

Hati manusia

Hati manusia adalah hal yang ghaib, sehingga dengan hati kita dapat “merasakan” kuasa Allah SWT. Lalu bagaimana hati kita dapat menuju Allah swt ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Bagaimana hati dapat bersinar, sementara gambar-gambar duniawi tetap terlukis dalam cermin hati itu? Atau, bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah, karena masih terbelenggu oleh syahwatnya? Atau, bagaimana mungkin seseorang akan antusias menghadap kehadirat Allah, apabila hatinya belum suci dari “junub” kelalaiannya? Atau bagaimana mungkin seorang hamba bisa memahami kedalaman berbagai rahasia, sementara ia belum bertaubat dari kesalahannya?

Apa yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah diatas mengandung empat pertanyaan di mana antara pertanyaan dan jawaban menimbulkan kontradiksi yang mustahil pada akal berkumpul antara keduanya. Marilah kita perhatikan hal keadaan ini sebagai berikut:

Bagaimana hati dapat bersinar, sementara gambar-gambar duniawi tetap terlukis dalam cermin hati itu?

Maksudnya adalah apabila seorang hamba Allah telah menjauhkan dirinya dari makhluk, tetapi hatinya masih terikat kepada hartanya, kekayaannya, kedudukannya dan lain-lain, maka pastilah tujuan yang dimaksud, supaya hati bersih menghadap dengan sempurna kepada Allah dalam arti yang luas, pasti tidak akan berhasil.

Alam dunia ini apabila telah begitu terpaut dalam hati kita, maka hati kita akan menemui kegelapan, sehingga menimbulkan kesulitan dalam hati untuk dapat menerima selain dari dunia. Demikianlah hati manusia, apabila telah kuat terpaut pada dunia yang fana ini, akan sulitlah hati kita mengarah kepada tujuan menghadap Allah dengan syuhud dan tajjali seperti yang dimaksud dengan pengertian ihsan dalam Hadis Rasulullah s.a.w. yaitu:

“Sembahlah Allah seolah-olah anda melihatNya. Maka jika anda belum dapat melihatNya, maka sesungguhnya Allah s.w.t. melihat anda.”

Jadi apabila hati kita telah gelap sedemikian rupa, maka sinar makrifat akan jauh daripadanya. Sebab hati, mukanya hanya satu saja. Apabila muka yang satu itu tertuju kepada dunia, maka jauhlah ia dari Allah. Dan apabila tertuju kepada Allah, maka jauhlah ia dari dunia. Tegasnya, meskipun ia hidup di dunia dan secara lahiriah tidak terpisah dari dunia, tetapi hatinya tidak terikat dan terpaut kepada dunianya.

Bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah, karena masih terbelenggu oleh syahwatnya?

Kita dalam mengerjakan ajaran-ajaran agama pada hakikatnya bukanlah sekedar patuh dan taat kepada Allah s.w.t. saja, tetapi juga pada hakikatnya kita berjalan kepada Allah dengan arti kita dengan Allah akan semakin dekat, baik dalam ilmu kita, keyakinan kita, dan seluruh perasaan kita. Ini akan dapat kita capai apabila kita memutuskan hubungan dengan kehendak-kehendak hawa nafsu dan syahwat yang dapat menjerumuskan kita jauh dari Allah s.w.t.

Apabila kita berada dalam tawanan hawa nafsu dan syahwat, maka sulitlah bagi kita mencapai maksud tersebut tadi. Setiap kali kita bangun berdiri untuk melangkah, setiap kali pula kita jatuh tersungkur. Meskipun kita sanggup berjalan tetapi perjalanan kita lambat sekali. Meskipun kita sanggup berjalan cepat tetapi di dalam perjalanan kita, kita sering ditahan-tahan oleh perampok-perampok dan musuh-musuh di dalam perjalanan itu. Setiap kali di waktu pagi berkumpul di dalam hati kita keinginan yang kuat untuk berjalan kepada Allah, tetapi pada waktu sorenya tentara-tentara syahwat menyerang pertahanan, sehingga benteng hati yang telah dibangun sedemikian rupa akhirnya porak poranda.

Demikianlah gambaran bagaimana sulitnya kita menuju Allah s.w.t., apabila kita masih terikat dengan ikatan-ikatan syahwat dan nafsu.

Berkata ahli Tasawuf:

“Sengatan beberapa ekor kala atas tubuh-tubuh yang luka lebih enteng dari sengatan syahwat-syahwat atas hati yang menghadap (kepada Allah)!” Ingatlah bahwa Allah s.w.t. telah mewahyukan kepada Nabi Daud a.s.: “Hendaklah engkau berikan peringatan kepada kaum engkau (tentang bahaya) syahwat, karena segala hati (hamba Allah) yang bergantung dengan syahwat keduniaan (berarti), akal orang-orangnya terdinding, lagi jauh daripadaKu (Allah).”

Maksudnya, bahwa syahwat apa pun saja bentuknya apabila telah terikat dalam hati, maka ia mempengaruhi pada akal seseorang. Berarti akalnya mengikuti kehendak hatinya yang telah terbalut dengan ikatan-ikatan syahwat. Pada waktu itu terdindinglah antara akal dan Allah sehingga akal tidak dapat meningkatkan makrifatnya kepada Allah s.w.t.

image

Bagaimana mungkin seseorang akan antusias menghadap kehadirat Allah, apabila hatinya belum suci dari “junub” kelalaiannya?

Maksudnya apabila seorang hamba Allah telah bersusah payah mengarungi perjalanan yang mempunyai banyak cobaan-cobaan menuju Allah s.w.t. dan berkat ketabahannya, akhirnya ia sampai pada perbatasan antara daerah kebanyakan manusia dengan daerah khusus hamba-hamba Allah yang baik-baik.

Pada waktu itu si hamba Allah tadi secara kasarnya akan menjadi tamak atau ambisius untuk dapat masuk dalam daerah khusus yang telah dikhususkan Allah bagi para RasulNya, Nabi-nabiNya dan para auliaNya, tetapi hatinya belum begitu bersih dari bermacam-macam kelalaian, tentu saja tidak mungkin baginya masuk ke daerah tersebut.

Sebagai contoh orang yang masih dalam keadaan junub, yakni belum menunaikan mandi wajib setelah junub, tentu saja terlarang baginya masuk masjid, apalagi mengerjakan amal ibadah yang memerlukan kesucian jasmaniah. Apabila ibadah lahiriah memerlukan kesucian jasmaniah, maka demikian pulalah ibadah maknawiyah, yakni hubungan makrifat antara manusia dengan Allah s.w.t.

Junub maknawiyah ialah kelalaian-kelalaian hati sehingga dalam banyak hal kita lupa kepada Allah s.w.t. Karena itu maka perlu kesucian maknawiyah, yaitu mengingat Allah dengan berzikir dengan lidah dan hati dan seluruh anggota tubuh, atau dengan hati saja kepada Allah s.w.t. Di samping itu kita harus berfikir mencari jalan bagaimana supaya kita jangan sampai jatuh ke dalam jurang-jurang kelalaian.

Bagaimana mungkin seorang hamba bisa memahami kedalaman berbagai rahasia, sementara ia belum bertaubat dari kesalahannya?

Apabila seorang hamba Allah telah sampai ke daerah khusus buat para hamba-hambaNya yang saleh, maka pada waktu itu ia berharap supaya ia dapat memahami ilmu-ilmu pengetahuan Ketuhanan yang halus-halus di mana telah dikaruniakan oleh Allah pada hati hamba-hambaNya yang ‘Arifin, yakni hamba-hamba Allah yang telah terbuka dinding dan hijab antara mereka dengan Allah s.w.t.

Harapannya baru sampai apabila dirinya dan hatinya sudah terpelihara daripada dosa-dosa yang diperbuatnya dengan sengaja, karena yang kedua ini sudah jelas hukumnya, yaitu kita wajib taubat kepada Allah.

Dosa-dosa sifatnya adalah mengeruhkan hati dan membawa karat pada hati, sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam Al-Quran:

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Al Muthaffifin : 14)

Karena inilah maka siapa pun saja dari hamba Allah yang menginginkan agar Allah mcmberikan kepadanya ilmu-ilmu yang halus dalam keagamaan dan Ketuhanan, di samping ikhtiar pada menuntutnya, juga wajib taqwa kepada Allah hingga sampai tidak mengerjakan dosa tanpa disengaja.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

“Dan bertaqwalah kepada Allah, dan Allah akan memberikan ilmu pengetahuan kepada kamu.” (Al-Baqarah : 282)

Jadi apabila kita bertaqwa kepada Allah, bersih dari segala dosa, baik yang disengaja atau yang tidak disengaja. Dan mengamalkan apa yang telah diketahui dari ajaran-ajaran agama, maka Allah s.w.t. akan memberikan ilmu ladunni kepada kita, yakni ilmu yang belum kita ketahui sama sekali.

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal dari Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Nu’aim d ri
Hadis Anas sebagai berikut:

“Barang siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah s.w.t. akan memberikan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.”

Ketahuilah bahwa ilmu Allah s.w.t. adalah nur Allah karena itu kita wajib memelihara nur itu. Imam Malik telah berwasiat kepada muridnya Imam Syafi’i r.a.:

“Taqwalah kepada Allah, dan janganlah engkau padamkan cahaya yang telah dikarunai oleh Allah s.w.t. kepadamu, dengan mengerjakan dosa-dosa.”

Mudah-mudahan segala maksud kita sebagaimana yang telah dijalani oleh hamba-hamba yang saleh, Insya Allah diperkenankan oleh Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing