Bagaimana Islam melihat perbedaan yang ada?

Pentingnya Belajar Agar Memahami Perbedaan

Oleh: Lutfi Sarif Hidayat SEI, Direktur Lembaga Pembelajaran & Pengamalan Al-Quran (LPPQ) Darud Dakwah

Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan itu mampu menyatukan seluruh umat Islam, bahkan non-muslim dalam satu tatanan kehidupan yang satu. Islam juga adalah agama yang sangat memungkinkan adanya perbedaan bagi umatnya dalam mengamalkan ajaran Islam. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan yang terjadi karena berdasarkan argumentasi syar’i, semisal berbeda dalam memahami dalil, berdeda pada proses penggalian hukum (istimbatul ahkami), dan lain sebagainya. Sehingga, bukan termasuk perbedaan jika tidak berdasarkan argumentasi syar’i, seperti adanya aliran-aliran sesat.

Perbedaan di zaman Nabi SAW

Perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash berikut dalam mengamalkannya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad shalallahu ‘alahi wa sallam hidup. Para sahabat adalah genarasi terbaik, dimana status yang Allah ta’ala sandangkan kepada mereka tidak pernah diberikan kepada generasi yang lain, yaitu ridhwanullahi ‘alaihim. Namun demikian, keridhaan dari Allah ta’ala tidak menghalangi adanya perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash syariah di tengah mereka.

Dalam peristiwa shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, para sahabat berbeda pendapat. Sebagian shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, meski telah lewat Maghrib, karena pesan Nabi SAW adalah, “Janganlah kalian shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.” Namun sebagian yang lain tidak shalat di sana, akan tetapi di tengah jalan pada waktunya.

Melihat ini, Nabi SAW tidak membela salah satu pandangan. Beliau tidak menyalahkan kelompok mana pun karena keduanya telah melakukan ijtihad dan taat kepada perintah. Hanya saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda beliau. Dari hadis ini, para ulama mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad dengan kaidah ijtihad yang sudah para ulama rumuskan dalam kitab-kitab ushul fiqh mu’tabarah.

Dalam permasalahan laki-laki dewasa menyusu pada wanita agar jadi mahram, Aisyah ra. berpendapat, bahwa meski pun seseorang sudah bukan lagi bayi, tetapi masih bisa menjadi mahram dengan seorang wanita lewat penyusuan. Pendapat ini berbeda dengan yang telah disepakati oleh jumhur sahabat lain dan juga jumhur ulama kemudian, bahwa batas maksimal penyusuan yang berakibat pada kemahraman adalah usai dua tahun. Bila seorang bayi telah lewat usianya dari dua tahun, maka bila dia menyusu kepada seorang wanita tidak akan berakibat menjadi mahram pada wanita itu. Dan masih banyak perbedaan pendapat di antara sahabat satu dengan sahabat yang lain, baik sebelum maupun setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Perbedaan pendapat di tengah para ulama

Perbedaan juga terjadi hingga sekarang sejak Nabi SAW wafat. Para ulama, khususnya dari empat madzhab, yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’yah dan Al-Hanabilah banyak berbeda pendapat dalam masalah fiqh yang sifatnya cabang (furu’iyah). Sebagian dari mereka ada yang membaca basmalah saat membaca surat Al-Fatihah dalam shalat, namun sebagian dari mereka tidak membacanya.

Sebagian dari mereka mengerjakan qunut pada shalat shubuh dan menetapkan hukumnya sunnah muakkadah. Sementara sebagian lain menetapkan hukumnya bid’ah. Sebagian dari mereka menganggap muntah, mimisan, dan berbekam membatalkan wudhu, sebagian lagi tidak batal, sehingga tetap melakukan shalat meski hal-hal seperti itu terjadi.

Sebagian dari mereka menetapkan bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa lapisan membatalkan wudhu, sementara yang lain mengatakan tidak membatalkan. Di dalam madzhab Asy-Syafi’iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk membatalkan wudhu. Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual). Sehinggga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wudhu.

Ulama kalangan Asy-Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu. Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali, ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan. Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu.

Sebagian dari mereka ada yang bilang bahwa memakan daging unta atau daging yang langsung dibakar dengan api mebatalkan wudhu, sedangkan yang lain mengatakan tidak. Namun, meski mereka berbeda-beda dalam pendapat, tidak sampai mencegah mereka dari shalat berjamaah, dimana imam dan makmum berbeda madzhab dan pendapat.

Al-Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa bekam itu membatalkan wudhu, namun beliau tetap melakukan shalat dengan bermakmum kepada Khalifah Harun As-Rasyid. Padahal, sang khalifah ketika selesai berbekam langsung mengimami shalat tanpa berwudhu kembali. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berfatwa bahwa orang yang mengalami mimisan di hidung serta orang yang melakukan bekam, shalatnya batal. Namun demikian, beliau tetap membolehkan shalat di belakang al-Imam yang mimisan atau berbekam. Ketika ditanya, kenapa hal itu dibolehkan? Beliau menjawab, “Apakah harus dilarang shalat di belakang Al-Imam Malik dan Said Ibnu Al-Musayyib?” Keduanya berfatwa bahwa bekam dan mimisan tidak membatalkan shalat, dan Al-Imam Ahmad tetap menghormati pendapat keduanya.

Al-Imam Asy-Syafi’i tegas menyebutkan bahwa qunut pada shalat shubuh hukumnya sunnah muakkadah. Namun, beliau sengaja meninggalkan qunut ketika shalat di Masjid dekat dengan makam Al-Imam Abu Hanifah. Ketika ditanya kenapa saat itu meninggalkan qunut pada shalat shubuh, beliau menjawab, “Apakah saya harus menentang Abu Hanifah di hadapan beliau?”

Dalam persoalan masa iddah wanita yang ditalak suaminya para ulama juga berbeda pendapat. Perbedaan disebabkan salah satunya karena para ahli bahasa, di antaranya Al-Fayoumi dalam Al-Misbah Al-Munir menyebutkan kata al-qur’u termasuk jenis kata yang punya makna ganda dan sekaligus bertentangan artinya. Menurut mereka al-qur’u bermakna suci dari haidh, dan juga bermakna haidh itu sendiri. Sehingga kemudian berpengaruh kepada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menetapkan masa iddah wanita yang dicerai suaminya.

Para ulama juga berbeda pendapat dalam masalah menyentuh mushaf. Jumhur ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Alquran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil atau dalam kata lain tidak punya wudhu. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa haram bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil untuk menyentuh mushaf meski pun dengan alas atau batang lidi.

Sedangkan Al-Hanafiyah meski mengharamkan sentuhan langsung namun bila dengan menggunakan alas atau batang lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.

Perbedaan di antara para ulama juga terjadi dalam masalah hukum nasjisnya air mani. Umumnya para ulama mengatakan bahwa air mani itu termasuk benda najis, namun sebagian lagi menetapkan bahwa air mani bukan benda najis. Jumhur ulama seperti madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis. Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian.

Dalam masalah najis, tidaknya khamr para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa khamr itu hukumnya najis, sebagaimana najisnya darah, nanah, air kencing dan lainnya. Namun ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa khamr bukan termasuk najis, di antaranya adalah Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani dan juga Rabi’ah guru Al-Imam Malik. Dan dalam masalah alkohol, khususnya ulama-ulama kontemporer berbeda pendapaat apakah alkohol termasuk khamr atau bukan.

Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama umat Islam, misalkan tentang masa maksimal haidh, bagaimana status hukum wanita ketika darah terputus di tengah-tengah masa haidh apakah boleh shalat atau tidak, batasan aurat wanita bagi laki-laki non mahram, batasan aurat wanita bagi laki-laki mahram, batasan aurat laki-laki, kedudukan istri di hadapan suami dan lain sebagainya.

Perbedaan Pada Selain Ilmu Fiqh

Adanya perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu juga terjadi dalam disiplin ilmu selain fiqh. Sebagai contoh dalam ilmu Al-Quran para ulama berbeda dalam penentuan jumlah total ayat Alquran. Meski sepakat bahwa jumlahnya tidak kurang dari 6.200-an ayat, akan tetapi para ulama tidak sependapat berapa sebenarnya jumlah ayat Alquran. Nafi’ Maula Ibnu Umar yang merupakan ulama Madinah berpendapat bahwa jumlah ayat di dalam Alquran adalah 6.217 ayat. Syaibah yang juga ulama Madinah mengatakan jumlah tepatnya 6.214 ayat.

Abu Ja’far adalah ulama Madinah, dan beliau berpendapat jumlah ayat di dalam Alquran adalah 6.210 ayat. Ibnu Katsir seorang ahli tafsir dan merupakan ulama Makkah mengatakan, jika jumlah ayat di dalam Alquran adalah 6.220 ayat. ‘Ashim yang merupakan ulama Bashrah mengatakan bahwa jumlah ayat Alquran adalah 6.205 ayat. Hamzah yang merupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat. Sedangkan Ulama Syria sebagaimana diriwayatkan oleh Yahya Ibnu Al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat.

Dalam tema lain di ilmu Alquran ada perbedaan yang mungkin sudah banyak dikenal oleh orang, yaitu perbedaan qiraat. Perbedaan dalam qiraat ini sering dikenal dengan istilah qiraah sab’ah atau qiraah ‘asyrah, di mana kadang perbedaan qiraat ini juga mengakibatkan perbedaan arti dan makna, yang berikutnya mempengaruhi perbedaan hukum fiqh. Ada yang membaca ayat tentang wudhu dengan “wa arjulakum” dan “wa arjulikum”. Dua bacaan ini melahirkan perbedaan makna dan hukum.

Perbedaan juga terjadi dalam penentuan jumlah ayah hukum di Alquran. Alquran adalah sumber utama dalam masalah hukum atau fiqh. Namun kenyataannya jika diperhatikan, tidak semua ayat Alquran selalu mengandung hukum-hukum fiqh. Banyak dari ayat itu yang terkait juga dengan masalah keimanan atau akidah, akhlak, nasihat tentang sikap dan perilaku yang baik, isyarat tentang ilmu pengetahuan dan sains, kisah-kisah tentang kehidupan umat di masa lalu dan sebagainya. Sementara ayat hukum adalah ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum fiqhiyah dan menjadi dalil atas hukum-hukumnya baik secara nash atau secara istimbath.

Dalam penentuan jumlah ayat hukum ini, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu terbatas pada beberapa ayat saja. Mereka yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustashfa, juga Al-Imam Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Mahshul. Dan juga Al-Mawardi dalam kitab Adabul Qadhi. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu hanya sekitar 150 ayat saja.

Sebagian lainnya mengatakan, bahwa jumlahnya kurang lebih 200-an ayat saja. Sebagian lain mengatakan bahwa jumlahnya sekitar 500-an ayat. Al-Imam As-Suyuthi mengatakan di dalam kitab Al-Itqan bahwa jumlahnya ayat-ayat Alauran yang mengandung hukum mencapai 500-an ayat. Hal yang sama juga disebutkan oleh Ibnu Qayyim di dalam kitab Madarijus Salikin, bahwa jumlah ayat-ayat hukum mencapai 500-an ayat.

Pendapat kedua mengatakan, bahwa ayat-ayat hukum itu tidak terbatas hanya pada ayat-ayat tertentu saja. Najmuddin A-Thufi mengatakan, bahwa benar jika ayat-ayat hukum itu tidak terbatas hanya pada angka-angka itu saja. Dalam pandangan beliau dan ulama yang sependapat, bahwa seluruh atau sebagian besar ayat-ayat Alquran mengandung hukum yang menjadi sumber utama Fiqh Islam. Meski hanya terselip secara implisit dimana kebanyakan orang kurang menyadarinya. Al-Qarafi mengatakan bahwa tidak ada satu pun ayat kecuali terkandung di dalamnya suatu hukum.

Bijak menyikapi perbedaan

Melihat fenomena adanya perbedaan di tengah-tengah umat dalam memahami nash-nash sehingga berdampak pada perbedaan dalam mengamalkan masalah-masalah cabang ajaran Islam, maka dibutuhkan penyikapan yang benar. Sikap paling utama adalah saling memahami, menghargai dan menghormati perbedaan tersebut selama masih dalam koridor perbedaan syar’i. Bentuk menghargai, memahami dan menghormati ini bisa ditunjukkan dengan sikap tidak saling menyalahkan dan tidak eksklusif semisal harus shalat dengan imam yang sependapat, atau bahkan tidak mau mendengarkan ceramah dari mereka-mereka yang dinilai berbeda dalam madzhab atau pendapat.

Penyikapan berikutnya adalah menjadi dorongan bagi semuanya untuk terus belajar. Karena tidak dipungkiri, ajaran Islam sangatlah luas dan ilmu-ilmu Islam (syar’i) sangat mungkin tersebar ke banyak tempat dan ulama, sehingga saling melengkapi. Selain itu kemampuan keilmuan yang berbeda jauh dengan para ulama-ulama yang terbukti dengan karya-karyanya.

Pertanyaan sederhana, apakah sudah menguasi bahasa arab, ilmu ushul fiqh, ulumul quran, ulumul hadits, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya yang menjadi syarat mutlak dimiliki dalam memahami nash-nash syar’i?. Atau pertanyaan lain, sudah berapakah hadits yang dihafal?

Al-Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan, bahwa seorang mujtahid harus hafal dan menguasai minimal 500 ribu hadis. Dan jika membaca kitab-kitab hadis yang ada, ternyata kitab-kitab hadis tidak hanya seperti yang umumnya orang kenal, yaitu kutubus sittah atau kutubut tis’ah. Tercatat dalam khazanah keilmuan Islam, terdapat banyak sekali kitab-kitab hadits yang di susun para ulama. Sehingga jika dijumlahkan bisa ratusan bahkan jutaan hadits yang ada, terlepas dari perbedaan status hadis menurut para ulama.

Lalu berapa yang sudah dihafal? Oleh karena itu, sudah bukan zamannya menyalahkan jika berbeda pendapat, kecuali jika memang sudah masuk dalam penyimpangan dan lainnya. Itu pun harus dengan cara penyikapan yang benar sesuai Islam. Selain itu juga sudah tidak waktunya untuk membentur-benturkan antara ulama satu dengan ulama lain, misal membenturkan antara Al-Imam Asy-Syafi’i dengan Al-Imam Bukhari. Atau yang sering terjadi membenturkan pendapat ulama fiqh satu dengan hadits shahih, sehingga seakan ulama tersebut tidak mengikuti hadits shahih. Tentu ini adalah sikap berlebihan dan gegabah.

Sebab, ulama-ulama fiqh pada zaman terdahulu, semisal Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i mereka menerima hadits melalui jalur masing-masing, yang kadang antara satu imam dengan imam lainnya berbeda dalam menemukan hadits. Dan ini tentu berdampak kepada perbedaan pendapat. Para ulama fiqh dulu pun banyak yang mempunyai kitab-kitab hadits sendiri yang dijadikan sebagai pegangan mereka, semisal Al-Imam Malik dengan Al-Muwatha, Al-Imam Asy-Syafi’i dengan Musnad Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dengan Musnad Ahmad-nya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, tidak perlu membenturkan antara pendapat satu imam dengan Shahih Bukhari misalkan. Karena ulama-ulama fiqh bertanggung jawab terhadap pendapat mereka dengan hujjah dan pemahaman terhadap nash-nash masing-masing. Dan jika diamati dari tahun wafat para ulama-ulama fiqh ataupun ulama-ulama hadits, maka akan bisa disimpulkan bahwa perbedaan masa juga sangat menentukan perbedaan dalam menerima hadits Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-ImamAbu Hanifah wafat sekitar tahun 150 H, Al-Imam Malik wafat sekitar tahun 179 H, Al-Imam Asy-Syafi’i wafat sekitar tahun 204 H, Al-Imam Ahmad wafat sekitar tahun 241 H, Al-Imam Bukhari wafat sekitar tahun 256 H, Al-Imam Muslim wafat sekitar tahun 261 H, Al-Imam Ibnu Majah wafat sekitar tahun 273 H, Al-Imam Abu Dawud wafat sekitar tahun 275 H, Al-Imam Tirmidzi wafat sekitar tahun 279 H, Al-Imam An-Nasa’i wafat sekitar tahun 303 H, Al-Imam Daruqutni wafat sekitar tahun 385 H dan Al-Imam Ibnu Hibban wafat sekitar tahun 478 H.

Kemudian jika membaca tentang sejarah khazanah keilmuan Islam, ulama-ulama fiqh khususnya tidak hanya pendiri empat madzhab sebagaimana yang orang kenal. Masih banyak ulama-ulama ahli fiqh selain pendiri empat madzhab. Hanya saja memang kitab-kitab, murid-murid serta jalur keilmuan hingga sampai sekarang yang terkodifikasi dengan lengkap adalah empat madzhab. Mereka di antaranya Al-Imam Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H), Al-Imam Al-Auza’i (w. 157 H), Al-Imam Al-Laits bin Saad (w. 175 H), Al-Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Al-Imam Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Al-Imam Abu Tsaur (w. 246 H), Al-Imam Ibnu Jarir At-Thabari (w. 310 H).

Bahkan sebelum masa ulama-ulama ada masa sahabat/sahabiyah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dari mereka juga banyak menjadi seorang ahli ilmu. Mereka diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, Zaid, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu bakar, Utsman, Ummu Salamah, Anas, Abu Said, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr, Ibnu Zubair, Abu Musa, Jabir, Muadz bin Jabal, Saad bin Abi Waqqash, Salman, Abu ad-Darda’, Hasan, Husain, Ubay bin Kaab, Abu Ayyub, Asma’, Zaid bin Arqam, Tsauban dan Buraidah ridhwanullahi ‘alaihim.

Oleh karena itu, benarlah dalam menyikapi perbedaan serta terus belajar hingga menjadi seorang muslim yang layak menjadi penghuni syurga Allah ta’ala. Wallahu a’lam bi ash-shawab.