Bagaimana Islam Melihat Agama dan Budaya?

Apakah Agama dan Budaya adalah dua hal yang tidak bisa disatukan ataukah keduanya dapat berjalan ber-iringan ?

1 Like

Antara Agama dan Budaya Dalam Perspektif Islam

oleh : Ahmad Fuad Effendi


Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dalam membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan muamalah, antara urusan agama dan urusan dunia, antara sunnah dan bid’ah. Secara teoritis perbedaan antara keduanya dapat dijelaskan, tapi dalam praktek kehidupan kedua hal tersebut seringkali rancu, kabur, dan tidak mudah untuk dibedakan.

Antara Agama dan Budaya

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang memeluknya.

Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya. Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus mereka selenggarakan meskipun untuk itu harus berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan, mengkafani, menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”. Sangat simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara tahlilan pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang mungkin telah ada sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka, yang kemudian diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah membenahi pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek keberagamaan seperti itu secara proporsional.

Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang bernama qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah adalah perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah mu`akkadah. Tapi di tengah masyarakat muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini kalah pamor dibandingkan dengan tahlilan. Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap urusan kematian daripada urusan kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti bahwa “sanksi sosial” yang dijatuhkan kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.

Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga dianggap sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi madah nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan dan diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu atau musik shalawat. Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai sebagai bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam katagori bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa kepada Allah SWT.

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia sebagai tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya termasuk tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa jahiliah) yang dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam budaya dan tradisi di tengah masyarakat, adalah apakah budaya dan tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan akhlak Islam?

Antara Ibadah dan Muamalah

Agama Islam membawa ajaran-ajaran yang secara garis besar — berdasarkan klasifikasi para ulama — terdiri dari akidah, syariah dan akhlak. Akidah mencakup pokok-pokok keimanan, yang intisarinya adalah tauhid. Syariah adalah sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan alam semesta. Syariah dibedakan menjadi dua, yaitu yang mengatur tatacara ibadah murni (ibadah mahdhah) dan tatacara hubungan dengan sesama manusia dan alam (mu’amalah). Adapun akhlak adalah ajaran tentang baik-buruk berkaitan dengan sikap jiwa, perangai, karakter, dan perilaku manusia kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam. Akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak merupakan satu sistem yang saling berkait-berkelindan, tidak bisa dipisah-pisahkan, dan saling berhubungan secara korelatif.

Yang sering menimbulkan masalah dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan ibadah (mahdhah) dan muamalah. Mengenai ibadah ini ada kaidah ushul-fikih yang menyatakan: “Al-ashlu fil ’ibadati at-tahrim illa ma syara’ahullah wa rasuluh” (ibadah itu pada dasarnya dilarang kecuali yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Allah SWT sudah menetapkan pokok-pokoknya, sedangkan Rasulullah SAW menjelaskan tata-caranya. Dalam hal ibadah ini dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh dari Nabi SAW. Disini tidak berlaku analogi, logika, atau alasan-alasan. Oleh karena itu dalam hal ibadah tidak ada ruang untuk “kreativitas”, kecuali menyangkut sarana penunjangnya. Perbedaan masih dimungkinkan menyangkut hal-hal yang tidak pokok karena dalil-dalil naqlinya yang multi-tafsir disamping persoalan yang menyangkut kuat-lemahnya sebuah hadis. Sepanjang ada landasan dalil naqlinya, perbedaan harus ditolerir.

Berkaitan dengan ibadah mahdhah ini yang sering menjadi perdebatan adalah amalan di sekitar pelaksanaan ibadah. Misalnya, bacaan ta’awwudz, basmalah dan shalawat oleh muadzin sebelum mengumandangkan adzan, melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram dalam shalat, dan bersalam-salaman sesudah shalat berjamaah. Satu pihak berpendapat hal itu tidak diperbolehkan karena tidak ada contoh dari Nabi SAW. Pihak lain memperbolehkan karena hal itu dilakukan di luar (sebelum atau sesudah) ibadah. Masalahnya, karena amalan itu dilakukan secara rutin dan berurutan langsung dengan pelaksanaan ibadah, maka bisa menimbulkan kesan atau pemahaman bahwa amalan itu bersifat wajib dan merupakan bagian dari syarat atau rukun ibadah. Pemahaman ini yang harus diluruskan.

Jika dalam hal ibadah dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh dari Rasulullah SAW, maka dalam hal muamalah dasar utamanya untuk sebagian besar ketentuan syariah adalah pemahaman terhadap hakekat, tujuan, alasan, dan masalahat di balik ketentuan tersebut. Dengan kata lain, dalam hal muamalah ketentuan syariah tidak seketat seperti dalam ibadah, dalam arti masih ada ruang untuk mempertimbangkan berbagai variabel dan ruang untuk kreativitas. Dalam hubungan ini ada sebagai misal kaidah ushul fikih yang berkaitan dengan muamalah, ”al-hukmu yaduru ma’al ’illati wujudan wa ’adaman” (hukum itu bisa berubah menjadi ada dan tidak ada berdasarkan alasan-alasannya).

Jika dalam hal ibadah terdapat kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintahkan”, maka dalam hal non-ibadah, termasuk adat, tradisi, dan produk-produk budaya, kaidahnya adalah “semua boleh kecuali yang dilarang” (al-ashlu fil ’adati al-ibahah illa ma warada tahrimuhu). Dalam hal ini, kreativitas atau kepeloporan untuk menciptaan kebaikan-kebaikan justru didorong, sebagaimana ucapan Nabi SAW “Man sanna sunnatan hasanah falahu ajruhu wa ajru man ’amila bihu ba’dahu” (Barangsiapa mempelopori suatu kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala kebaikan yang dia lakukan itu, dan pahala siapa saja yang melakukan kebaikan itu sesudahnya).

Antara Urusan Agama dan Urusan Dunia

Istilah “urusan agama” dan “urusan dunia” ini berasal dari sabda Nabi SAW. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan dengan beberapa sahabat dan melihat orang-orang berada di pucuk pohon-pohon korma. Rasul bertanya: “apa yang mereka lakukan di sana?”. Dijawab: “mereka sedang mengawinkan bunga-bunga korma agar berbuah”. Nabi berkata: “saya kira itu tidak perlu”. Setelah mendengar perkataan Nabi itu mereka berhenti melakukan pengawinan. Ternyata pohon korma mereka kurang banyak buahnya. Merekapun mengadukan hal tersebut kepada Nabi. Jawaban Nabi atas pengaduan ini ada beberapa versi riwayat. Menurut riwayat Imam Muslim, bersumber dari Thalhah ibn Ubaidillah, beliau menjawab: “yang aku katakan itu pendapatku, jangan aku dipersalahkan karena pendapatku, tapi kalau aku mengatakan sesuatu yang berasal dari Allah, kalian wajib mengambilnya”. Sedangkan yang bersumber dari Rafi’ ibn Al-Khadij, Nabi menjawab: “kalau aku perintahkan sesuatu berkaitan dengan agama ambillah, tapi kalau aku berkata berdasarkan pendapatku, maka aku hanyalah seorang manusia (yang bisa salah bisa benar)”. Adapun Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban meriwayatkan jawaban Nabi adalah “Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia kalian. Jika berkaitan dengan urusan dunia, itu terserah kalian, tapi kalau berkaitan dengan urusan agama, serahkan kepadaku”.

Beberapa riwayat di atas berbeda tapi tidak bertentangan satu sama lain. Intinya, ada urusan-urusan agama yang otoritasnya milik Allah dan Rasulullah; dan ada urusan-urusan dunia yang otoritasnya “didelegasikan” kepada umat termasuk Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai manusia (basyar). Disini timbul persoalan, apa batasan antara urusan agama dan urusan dunia?. Ada yang berpendapat bahwa “urusan agama” yang merupakan otoritas Allah dan Rasul-Nya adalah yang berkaitan dengan akidah dan ibadah (mahdhah) saja; di luar kedua aspek itu adalah “urusan dunia” yang merupakan otoritas manusia untuk mengaturnya. Yang lain berpendapat bahwa terminologi urusan agama dan urusan dunia tidak ada kaitannya dengan soal otoritas pengaturannya. Dalam kedua urusan itu manusia harus mengikuti dan menjalankan aturan Allah. Pendapat pertama bertentangan dengan hakekat agama Islam yang didefinisikan sebagai “sistem keyakinan dan tata-ketentuan Ilahi yang mengatur segala pri-kehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan”. Pendapat kedua tidak sesuai dengan inti pesan dari hadis Nabi SAW diatas.

Jalan tengah dari kedua pendapat ini adalah (1) dalam aspek akidah dan ibadah (yang oleh para ulama disebut sebagai agama dalam arti sempit), ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulullah bersifat mutlak. (2) dalam aspek muamalah, Allah dan Rasulullah memberikan patokan-patokan atau prinsip-prinsip, sedangkan penjabaran dan aplikasinya diserahkan kepada ijtihad manusia. (3) dalam aspek Akhlak, Allah dan Rasulullah mengajarkan nilai- nilai kebaikan universal (al-khair) yang bersifat mutlak, sedangkan kebaikan-kebaikan kultural (al-ma’ruf) disesuaikan dengan budaya yang bersifat relatif dan bisa berubah-ubah.

Antara Sunnah dan Bid’ah

As-Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), yang dimaksudkan sebagai tasyri’ (pensyariatan) yang harus diikuti dan diteladani oleh ummat Islam. Yang dimaksud dengan pensyariatan adalah penetapan sesuatu sebagai bagian dari syariat agama. Tersirat makna dari definisi ini bahwa tidak semua ucapan, perbuatan, dan penetapan dari Nabi disebut as-Sunnah. Permasalahannya adalah bagaimana memastikan bahwa ucapan, perbuatan, dan penetapan Nabi itu dimaksudkan atau tidak dimaksudkan sebagai pensyariatan.

Definisi yang lain menyebutkan bahwa lingkup dari As-Sunnah adalah masalah-masalah keagamaan, yaitu menyangkut akidah dan ibadah, di luar itu tidak termasuk sunnah. Perkataan dan perbuatan Nabi SAW berkaitan dengan rincian Rukun Iman dan Rukun Islam adalah As-Sunnah yang harus diikuti. Tapi perkataan dan perbuatan Nabi SAW di luar itu tidak termasuk dalam As-Sunnah. Definisi ini memaknai agama secara sempit, karena hanya menyangkut akidah dan ibadah. Padahal agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan. Tapi pendapat sebaliknya yang memasukkan semua hal dari Nabi SAW (termasuk cara berjalan, cara makan, bentuk pakaian, dan sejenisnya) ke dalam pengertian As-Sunnah juga berlebihan. Jalan tengahnya menurut hemat penulis adalah sebagaimana dikemukakan pada alinea terakhir sub-bab Urusan Agama dan Urusan Dunia.

Adapun Bid’ah secara etimologis bermakna “ciptaan baru”. Bid’ah masuk ke dalam terminologi agama berdasarkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Iryadh ibn Sariyah. Dia berkata, “Rasulullah SAW pada suatu hari memberikan nasehat yang sangat mengesankan, membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Seorang dari kami berkata, “nasehat itu seakan-akan merupakan nasehat perpisahan ya Rasul, maka berikanlah kepada kami nasehat lagi”. Nabi SAW bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mau mendengarkan dan menaati (nasehat yang baik) meskipun dari seorang budak habasyi. Barang siapa mengalami hidup sesudahku, akan menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin, pegangilah erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian. Hindarkan diri kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat. Hadis lain riwayat An-Nasa’i dari Jabir ibn Abdullah dengan redaksi yang sama tapi dengan tambahan “dan setiap kesesatan itu masuk neraka”. Kemudian hadis yang bersumber dari ’Aisyah diriwayatkan oleh Imam Muslim menjelaskan batasan frasa “perkara-perkara baru”, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amalan itu ditolak”. Dari hadis ini dipahami bahwa yang dimaksud dengan “perkara baru” adalah dibidang agama.

Dengan demikian, secara terminoliogis bid’ah adalah “ciptaan baru dalam urusan agama”. Pengertian “urusan agama” yang paling dekat dengan pikiran adalah masalah akidah dan ibadah. Jadi bid’ah adalah hal berkaitan dengan akidah yang tidak diajarkan dan amal ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib atau sunnah dengan didukung dalil-dalil syar’i terhadap anjuran tersebut, maka hal itu bagian dari agama meskipun terdapat perselisihan diantara alim ulama dalam sebagian masalah. Definisi lain mengatakan “bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, tujuannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT”.

Dari hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu disebut bid’ah apabila memenuhi tiga unsur: (1) Kebaruan atau pembaruan. Ini mencakup semua kreasi atau ciptaan baru yang belum ada sebelumnya, bisa baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan bisa mencakup semua hal baik urusan agama maupun urusan dunia. Oleh karena itu ada unsur kedua yakni (2) Sesuatu yang baru itu dinisbatkan kepada atau dianggap sebagai bagian dari syariat agama. Batasan ini berdasarkan hadis dari ’Aisyah yang menyebut “fi amrina” (dalam urusan kami, maksudnya urusan agama). Dengan demikian, kreasi baru dalam bidang kebudayaan dalam arti luas tidak disebut bid’ah. Unsur berikutnya, (3) Sesuatu yang baru itu tidak punya landasan atau rujukan dari syariah yang sahih. Sebagai contoh, soal qunut subuh, soal shalat tarawih berjamaah dan jumlah rekaatnya 8 atau 20, tidak termasuk katagori bid’ah, karena masing-masing ada landasan syari’ahnya, meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam beberapa segi dari permasalahan tersebut.

Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Like

Menurut Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwasanya antara agama (Islam) dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi berbeda dengan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.

Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan, karena ia sub-kordinat terhadap agama.

Adapun kebudayaan yang mengiringi tumbuhnya dan menyebarnya Islam keberbagai penjuru dunia. Dengan watak, keadaan geografis dan tatanan sosial yang ada maka melahirkan sejumlah definisi dari budaya atau kebudayaan itu sendiri.

Secara bahasa kata kebudayaan adalah merupakan serapan dari kata Sansekerta, “Budayah” yang merupakan jamak dari kata “buddi” yang memiliki arti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Kebudayaan adalah hal-hal yang merupakan hasil dari keseluruhan system gagasan, tindakan, cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang semua itu tersusun dalam kehaidupan masyarakat.

Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Islam dan Jawa

Mark R. Woodward meneliti terkait dengan Islam dan budaya Jawa, di Keraton Yogyakarta. Dari hasil penelitiannya, Mark R. Woodward membantah bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, ternyata tidak ditemui unsur tersebut di dalam tradisi keagamaan Islam di Jawa.

Islam Jawa menurut Woodward memiliki keunikan tersendiri daripada Islam di daerah-daerah lain, sedangkan keunikan tersebut menurut Woodward bukan terletak pada aspek dipertahankannya budaya agama pra-Islam, melainkan lebih disebabkan oleh karena adanya konsep tentang bagaimana membentuk manusia sempurna sesuai dengan aturan-aturan sosial yang berlaku di masyarakat.

Keunikan Islam dan budaya Jawa menurut Woodward itu dapat dijelaskan dengan karakteristik dari dua segi yaitu penekananannya pada aspek batin dan melaksanakan ritus-ritus tertentu sebagai manifestasi dari penekanan pada aspek batin.

Dalam hal ini Woodward memandang bahwasanya Islam di Jawa lebih cenderung menekankan aspek “isi” (dalam bentuk mistik) dari pada wadah (kesalehan normatif/syariah). Persepsi mereka tentang yang dimaksud “isi” adalah Allah, sultan, batin, dan mistik. Sedangkan “isi” mistik itu sendiri meliputi keberadaan wahyu, kasekten, kramat dan kesatuan mistik.

Sedangkan untuk mengekspresikan mistik yang demikian itu, orang Jawa memiliki ritus-ritus tertentu sebagai wadah dari mistik tersebut. Ritus-ritus yang paling permukaan dan umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat adalah tradisi slametan. Ada beberapa bentuk upacara slametan antara lain: slametan kelahiran, slametan khitanan dan perkawinan, slametan kematian, slametan berdasarkan penaggalan, slametan desa dan slametan sela.

Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agama dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya lokal.

Saya setuju dengan pandangan Prof Qurais Shihab terkait dengan bagaimana Islam melihat Agama dan budaya. Berikut pandangan beliau,

Islam pertama turun di Makkah lalu tersebar ke Madinah dan ke daerah-daerah lain, Negara Yaman, Mesir, Irak, India, Pakistan, Indonesia dan seluruh dunia. Islam yang menyebar itu bertemu dengan budaya setempat. Pada mulanya, Islam di Makkah bertemu dengan budaya Makkah dan sekitarnya. Akulturasi antara budaya dan agama ini -sebagaimana di tempat lain kemudian- oleh Islam dibagi menjadi tiga.

  • Pertama, adakalanya Islam menolak budaya setempat. Pak Quraish mencontohkan budaya perkawinan di Makkah. Kala itu ada banyak cara seseorang menikah. Salah satunya, terlebih dahulu perempuan berhubungan seks dengan 10 laki-laki lalu kalau hamil, si perempuan bebas memilih satu dari mereka sebagai suaminya. Ada kalanya juga dengan cara perzinaan yang diterima masyarakat kala itu. Dan, ada lagi pernikahan melalui lamaran, pembayaran mahar, persetujuan dua keluarga. Nah, yang terakhir inilah yang disetujui Islam, sedangkan budaya perkawinan lainnya ditolak. Ini pula yang dipraktikkan Rasulullah SAW ketika menikahi Khadijah RA.

  • Kedua, Islam merevisi budaya yang telah ada. Lebih lanjut, Pak Quraish memberi contoh, sejak dahulu sebelum Islam orang Makkah sudah melakukan thawaf (ritual mengelilingi Kakbah). Namun, kaum perempuan ketika thawaf tanpa busana. Alasan mereka karena harus suci, kalau mengenakan pakaian bisa jadi tidak suci, maka mereka menghadap Tuhannya dengan apa adanya alias “telanjang”. Kemudian Islam datang tetap mentradisikan thawaf akan tetapi merevisinya dengan harus berpakaian suci dan bersih, serta ada pakaian ihram bagi yang menjalankan haji dan umrah.

  • Ketiga, Islam hadir menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya. Seperti budaya pakaian orang-orang Arab, yang lelaki mengenakan jubah dan perempuan berjilbab. Oleh Islam budaya ini diterima.

Alhasil, kesimpulannya ialah jika ada budaya yang bertentangan dengan Islam maka ditolak atau direvisi, dan jika sejalan maka diterima. Inilah prinsip Islam dalam beradaptasi dengan budaya.

“Jadi Islam itu bisa bermacam-macam akibat keragaman budaya setempat. Bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah satu sumber penetapan hukum Islam,” tutur Pak Qurasih Shihab.

Di Indonesia, diskusi terkait dengan Agama dan Budaya selalu hangat untuk dibahas. Hal itu tidak terlepas dari penyebaran agama Islam di Indonesia jaman dahulu, dimana banyak wali yang menggunakan pendekatan budaya agar ajaran agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, muncul istilah yang terkenal, yaitu Pribumisasi Islam.

Tetapi disisi yang lain,ada pemahaman yang berbeda dalam menyikapi Agama dan Budaya dari kacamata Islam. Dalam pemahaman mereka Islam kaffah adalah Islam yang ada dan berkembang di Arab, sehingga seluruh komunitas Islam harus mengikuti pola keberagamaan yang mereka anut dan mereka praktekkan. Tradisi dan adat Istiadat setempat bagi mereka merupakan bid’ah yang dapat mencemarkan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Menurut Abdurrahman Wahid, Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah ada-lah akan tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan kita. Menurutnya antara agama (Islam) dan budaya memiliki independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang tindih.

Tumpang tindih agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Dari sinilah sebenarnya gagasan tentang pribumisasi Islam menjadi sangat urgen. Karena dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normativ yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.

Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Karena itu inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya. Sebab polarisasi demikian tidak terhindarkan. Pribumisasi Islam, dengan demikian menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk yang autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.

Dalam prakteknya, konsep pribumisasi Islam ini dalam semua bentuknya dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama di setiap wilayah yang berbeda-beda.

Bila ditelusuri lebih jauh, pribumisasi Islam di Indonesia merupakan keniscayaan sejarah. Sejak awal perkembangannya, Islam Indonesia khususnya di Jawa adalah Islam pribumi yang disebarkan oleh Walisongo dan pengikutnya dengan melakukan trans-formasi kultural dalam masyarakat. Islam dan tradisi tidak ditempatkan dalam posisi yang berhadap-hadapan, tetapi didudukkan dalam kerangka dialog kreatif, di mana diharapkan terjadi transformasi di dalamnya. Proses transformasi kultural tersebut pada gilirannya menghasilkan perpaduan antara dua entitas yaitu Islam dan budaya lokal. Perpaduan inilah yang melahirkan tradisi-tradisi Islami yang hingga saat ini masih dipraktekkan dalam berbagai komunitas Islam kultural yang ada di Indonesia.

Dengan demikian dapat dipahami antara agama (Islam) dan budaya (lokal) masing-masing memiliki simbol-simbol dan nilai tersendiri. Agama (Islam) adalah simbol yang melambangkan ketaatan kepada Allah. Kebudayaan (lokal) juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup didalamnya dengan ciri khas kelokalannya. Agama memerlukan sistem symbol dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan .

Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (perenial), dan tidak mengenal perubahan perubahan (absolut) sedangkan kebudayaan bersifat particular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang secara pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektifitas tidak akan mendapatkan tempat.

Dengan demikian dialektika antara Islam dan kebudayaan lokal merupakan sebuah keniscayaan. Islam memberikan warna dan spirit pada budaya lokal di Jawa, sedangkan kebudayaan lokal memberi kekayaan terhadap agama Islam. Hal inilah yang terjadi dalam dinamika keIslaman yang terjadi di Indonesia khususnya di Jawa dengan tradisi dan kekayaan budayanya.