Tahun 1998 merupakan tahun yang sangat berat bagi banyak pengusaha, termasuk usaha yang dikembangkan oleh Ir Ciputra. Hal ini akibat dari melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dollar, yang awalnya 2000 menjadi 17.000 rupiah per dollar.
Dollar yang naik menyebabkan beban hutang yang ditanggung perusahaan juga mengalami kenaikan yang sangat signifikan, dimana utang grup bisnis Ciputra yang tadinya sekitar Rp 245 miiar tiba-tiba meningkat drastis menjadi lebih dari Rp1 triliun. Belum lagi karena adanya krisis, daya beli masyarakat menjadi turun drastis, sehingga properti yang menjadi andalan group bisnisnya menjadi tidak laku.
Keterpurukan Ciputra semakin dalam karena manajemen tak bisa lagi membendung kemarahan para pemasok material, mandor, dan seluruh pihak yang menuntut pembayaran bahan baku properti sesegera mungkin.
Seluruh lini usaha propertinya hanya tinggal menghitung hari menuju kebangkrutan.
Salah satu alasan yang membuat grup bisnis Ciputra tetap bertahan adalah, karena jajaran Direksinya begitu loyal terhadapnya, sehingga walaupun perusahaan berada pada titik nadirnya, jajaran Direksi tetap setia menjalankan bisnisnya untuk menghindari jurang kehancuran.
“Saya, Ciputra, di tahun 1998, menangis bersama detik yang berjalan. Di kamar tidur, di meja makan, bahkan pada saat mandi dengan air shower yang menyiram tubuh, air mata saya pun berlinangan. Kami jelas akan kehilangan banyak hal. Tapi yang pasti, kami tidak akan mengubur diri,”
Selain loyal, didalam kondisi yang sangat buruk tersebut, jajaran direksi dan karyawan Ciputra tetap dapat berpikir kreatif. Para karyawan kemudian bercocok tanam di lahan-lahan kosong. Banyak tanaman produktif yang dihasilkan, antara lain sayur-mayur, jagung, ubi, ketela, buah-buahan, dan lain-lain. Meskipun hasilnya tidak sebesar ketika menjual produk properti, namun uang hasil bercocok tanam itu digunakan untuk membantu biaya operasional perusahaan.
Selain itu, Cara Ciputra menghadapi badai adalah tidak dengan lari, tapi menghadapinya. Banyak konglomerat yang pada saat terjadinya krisis 1998 melarikan dirinya ke luar negeri sambil membawa harta yang dimilikinya ke luar negeri dengan meninggalkan masalah yang mereka hadapi tetap di Indonesia. Tetapi tidak dengan Ciputra.
“Ujian ini sempat membuat saya goyah dan jatuh. Namun, saya tidak patah semangat dan bekerja lebih keras. Syukur kepada Tuhan, saya mampu melewati segala ujian dan tantangan tersebut,”
“Saya juga masih fokus untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi persoalan bisnis. Beberapa karyawan saat itu berinisiatif agar bagaimana bisa tetap produktif,”
Cara yang dipilih oleh Ciputra pada saat itu adalah lebih baik kehilangan harta yang dimilikinya daripada harus lari dari tanggungjawab,
“Bagi kami, lebih baik kehilangan proyek daripada kehilangan kepercayaan dari bank, nasabah, masyarakat, serta karyawan,”
Pelajaran besar akibat dari krisis tersebut bagi Ciputra adalah,sejak terjadinya krisis 1998, Grup bisnis Ciputra sudah tidak mau “berhutang” lagi ke bank, tetapi lebih memilih jalur kemitraan.
Referensi
cnnindonesia
detik