Bagaimana International Monetary System pada masa Pasca Perang Dunia?

International Monetary System pada masa Pasca Perang Dunia

Bagaimana International Monetary System pada masa Pasca Perang Dunia ?

Sistem Moneter Internasional (IMS) adalah pengaturan atau kesepakatan formal antarnegara atas nilai tukar masing-masing mata uang negara-negara dunia terhadap mata uang lainnya. Sistem / ketentuan tersebut mengatur cara-cara / metode pembayaran yang dapat diterima antara pembeli (konsumen) dan penjual (produsen) dalam batas negara yang berbeda. Agar dapat berfungsi, sistem ini membutuhkan kepercayaan dari setiap partisipan di dalamnya, dan tentu saja setiap negara (bank sentral) harus dapat menyediakan cadangan kapital / likuiditas yang cukup akibat fluktuasi perdagangan internasional sehingga ekuilibrum ekonomi global, terutama nilai setiap entitas ekonomi bisa dikoreksi sewaktu-waktu sesuai nilai riilnya.

Menurut sejarawan perekonomian dunia, perjalanan perekonomian/sistem moneter global dapat dirunut mulai tahun 1870-an, terutama merujuk pada hegemoni Inggris pada abad itu dan perannya terhadap perekonomian global. Dalam bidang manufaktur / industri misalnya, Inggris Raya merupakan produsen dari sekitar setengah cadangan besi dan batu bara global, sementara hanya mengonsumsi kurang dari setengah kapas yang diproduksinya.

Dalam bidang finansial, pada periode 1870 – 1913 Inggris Raya merupakan negara yang memiliki stok emas global terbesar dan membiayai sekitar 60% kredit jangka pendek perdagangan global. Pada sekitar era tersebut para sejarawan menemukan bahwa terdapat jaringan keuangan antarnegara yang cukup luas sehingga pantas disebut sebagai sistem keuangan internasional atau International Monetary System (IMS).

Pada saat itu, terdapat penyatuan mata uang-mata uang di beberapa kawasan (regional), seperti Latin Monetary Union (Belgia, Italia, Swiss, dan Perancis) dan Scandinavian Monetary Union (Denmark, Norwegia, Swedia, dan lain-lain). Jika terdapat transaksi internasional di antara negara-negara yang tidak termasuk anggota moneter itu maka sistem pembayaran yang berlaku adalah dengan menggunakan sistem standar emas. Hal tersebut juga berlaku bagi negara-negara induk maupun negara-negara koloni / jajahan. Inilah yang kemudian merujuk sebagai abad globalisasi pertama.

Secara garis besar, selama satu abad lebih dari tahun 1870 hingga sekarang, periodisasi IMS dapat dibagi menjadi tiga, yaitu masa praperang dunia, masa perang dunia, dan masa pascaperang dunia. Pengelompokan/periodisasi dilakukan berdasarkan perbedaan karakteristik sistem moneter internasional dengan ciri khasnya masing-masing, sesuai dengan keadaan ekonomi-politik dunia dari tiga periode waktu yang berbeda. Dengan pengelompokan tersebut, subbab ini akan menguraikan secara garis besar tentang perkembangan IMS selama kurun waktu dua belas dasawarsa atau lebih tersebut.

IMS: Masa Pasca Perang Dunia


1. Rezim Bretton Woods (Fixed Exchange Rate)

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara sekutu (allied countries), terutama yang diprakarsai oleh didukung Amerika Serikat dan Inggris berinisiatif untuk memperbaiki sistem keuangan global yang porak poranda akibat ditinggalkannya sistem gold standard. Inisiatif tersebut juga mendapat sambutan yang hangat dari banyak negara berhubung semakin kuatnya semangat liberalisme dan kepedihan akibat perang dunia.

Pada Juli 1944 di Bretton Woods, Hampshire, AS keinginan tersebut tercapai. Lebih dari 700 perwakilan 45 negara menghadiri konferensi tersebut, dan menghasilkan sistem Bretton Woods yang memiliki dua agenda utama; pertama adalah mendorong pengurangan tarif dan hambatan perdagangan internasional, dan kedua yaitu menciptakan kerangka ekonomi global demi meminimalisir konflik ekonomi dan mencegah terulangnya perang dunia.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, rezim Bretton Woods diciptakan dengan membatasi kerja sama ad hoc dalam dua isu utama, yaitu dalam hal sistem pembayaran internasional dan dalam hal nilai internasional atas medium pembayaran itu. Ringkasnya, rezim Bretton Woods memiliki tiga fitur penting, antara lain:

  1. Metode nilai tukar tetap (fixed exchange rate);
  2. US dollar atau US$ menggantikan standar emas dan menjadi mata uang cadangan utama; dan
  3. Pembentukan tiga badan internasional yang menaungi segala aktivitas perekonomian global, yaitu International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (sekarang World Bank), dan General Agreements on Tariffs and Trade / GATT (sekarang World Trade Organization / WTO).

Sistem “Fixed Exchange Rate” dalam rezim Bretton Woods menggunakan konsep nilai paritas mata uang (nilai eksternal). Sesuai ketentuan IMF, semua mata uang negaranegara anggotanya harus ditetapkan sesuai harga Dollar Amerika (US$) atau terhadap harga emas dengan ekuivalennya. Sementara US$ sendiri ditetapkan konvertibel terhadap harga emas sebesar 1 ons emas = US$ 35.74 Nilai Dollar US yang ditetapkan terhadap harga emas ini tidak boleh diubah, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.

Atas dasar demikian, rezim Bretton Woods dikenal juga sebagai “gold dollar standard system”. Setelah nilai paritas mata uang suatu negara yang bersangkutan ditetapkan maka tugas pemerintah negara anggota selanjutnya adalah menjaga agar kurs yang berlaku tidak menyimpang dari batasan-batasan yang ditetapkan, yaitu tidak kurang dan tidak lebih dari nilai paritas plus-minus satu persen.

Sementara AS sendiri yang mata uangnya numeraire bebas dari kewajiban menjaga/mengawasi nilai paritas mata uangnya terhadap mata uang asing. Meski demikian, AS harus menjaga (serta menjamin) cadangan emas yang cukup dengan jumlah US Dollar yang dicetak/beredar di negaranya dan di negara-negara asing.

Dari ketiga institusi yang terbentuk sejak rezim Bretton Woods berdiri, IMF merupakan salah satu badan internasional yang paling banyak berperan dalam pembentukan sistem moneter moderen, selain International Bank for Reconstruction and Development / IBRD (sekarang World Bank) yang tugas utamanya adalah menyediakan kapital bagi proses rekonstruksi negara-negara yang berperang. Peran IMF yang dominan tersebut tercermin salah satunya dari enam butir tujuan dasarnya, antara lain:

  1. Untuk memajukan kerja sama moneter internasional dengan cara mendirikan lembaga (IMF);

  2. Untuk memperluas perdagangan dan investasi dunia;

  3. Untuk memajukan stabilitas kurs valuta asing;

  4. Untuk mengurangi dan membatasi praktik-praktik pembatasan terhadap pembayaran internasional;

  5. Untuk menyediakan dana yang dapat dipinjamkan dalam bentuk pinjaman jangka pendek atau jangka menengah yang dibutuhkan guna mempertahankan kurs valuta asing yang stabil selama neraca pembayaran mengalami defisit yang sifatnya sementara, sampai dapat diatasi dengan cara menyesuaikan tingginya kurs devisa; dan

  6. Untuk memperpendek dan memperkecil besarnya defisit atau surplus neraca pembayaran.

Pada awal berdirinya, IMF memiliki 29 negara anggota yang menandatangani Article of Agreement. Sekarang IMF beranggotakan 186 negara anggota dan bekerja sama secara aktif dengan beberapa institusi keuangan internasional terkait penanganan krisis finansial global, termasuk mengumpulkan dan menganalisis data-data ekonomi dan keuangan negaranegara anggotanya. IMF menggunakan dua metode berbeda dalam mengakses dan mengolah data-data, serta statistik ekonomi negara-negara anggotanya tersebut, yaitu the General Data Dissemination System (GDDS) dan the Special Data Dissemination Standard (SDDS).

Para pendiri IMF bertujuan untuk menentukan sistem kurs internasional yang relatif stabil, dan mengurangi bentuk-bentuk kerjasama bilateral dan regional yang terjadi selama masa perang. Mereka berusaha membuat aturan-aturan untuk mengatur kurs, ketersediaan mata uang internasional dan mekanisme penyesuaian apabila terjadi fluktuasi dalam neraca pembayaran (balance of payments) suatu negara.

Ketiga hal tersebut sebenarnya yang merupakan kunci berjalannya sistem standar emas, yaitu kurs yang telah tertentu antara mata uang dalam negeri dengan emas, tersedianya emas di dalam perekonomian, dan mekanisme penyesuaian kurs apabila suatu negara mengalami kesulitan akibat gejolak dalam neraca pembayaran luar negerinya. Dalam sistem Bretton Woods, US dollar berfungsi sebagai mata uang internasional pengganti emas.

Setiap anggota IMF (dalam sistem ini) sepakat menentukan kurs mata uang masing-masing dalam US dollar (atau ekuivalennya dengan emas yaitu 1/35 ons). Selanjutnya, setiap negara harus menjaga supaya fluktuasi kurs meta uangnya tidak lebih dari 1 persen. Dengan demikian, bank sentral harus mengamati pasar valuta asing dan melakukan intervensi untuk menjaga agar kurs mata uangnya stabil. Apabila kurs mendekati titik maksimum bank sentral menjual US dollar, dan apabila kurs mendekati titik minimum bank sentral harus membeli dollar.

Dengan berlakunya sistem ini, mata uang internasional negara-negara anggota IMF menjadi saling terkait. Hal ini karena apabila suatu mata uang sudah ditentukan kursnya terhadap US dollar berarti juga sudah ditentukan kursnya terhadap mata uang lainnya. Misalnya, DM (Deutsche Mark) 2,5 = US $ 1, dan Yen 240 = US $1 maka dapat dihitung bahwa kurs DM dan Yen adalah Yen 96 = DM 1. Untuk dapat memenuhi tugas menjaga kestabilan kurs, tentu saja bank sentral harus memiliki cadangan mata uang internasional. Cadangan ini harus dipertahankan untuk mengendalikan kurs dari hari ke hari. Cadangan yang dipegang sebenarnya bisa berupa emas atau mata uang lainnya, sepanjang kursnya mengkuti kurs US dollar.

Namun dalam praktiknya, lebih banyak cadangan dalam bentuk US dollar dan UK Poundsterling. Perkembangan perekonomian negara-negara anggota IMF ternyata juga tidak sama. Ada negara yang memiliki pertumbuhan impor tinggi, dan ada yang ekspornya tinggi. Dengan demikian, terdapat negara-negara yang cadangan emas dan US dollarnya semakin besar, namun ada pula yang kehabisan (shortage). Bagi negara yang kekurangan devisa wajib berupaya memiliki cadangan agar kursnya stabil, namun bagi negara yang surplus kursnya ternyata masih bisa dipertahankan tidak harus melepas semua surplusnya (ingat bahwa naiknya ekspor tidak semata-mata karena kurs yang timpang, tetapi banyak faktor lain misalnya karena keunggulan teknologi). Implikasi dari ketimpangan ekonomi tersebut adalah timbulnya deflasi di negara-negara yang defisit US dollar.

Dilema di atas muncul pada masa tahun 1950-an. Karena kebutuhannya untuk membiayai angkatan perangnya di luar negeri, Amerika mulai mengalami defisit. Pada mulanya defisit ini disambut gembira oleh masyarakat internsional karena defisit Amerika berarti semakin banyak US dollar di dalam perekonomian internasional. Di samping itu, cadangan emas Amerika memang besar sehingga masyarakat internasional yakin bahwa mereka akan tetap bisa menukarkan US dollar dengan emas, apabila diperlukan. Namun demikian, mereka mulai menyangsikan sistem ini karena di satu pihak mereka harus bekerja keras menahan defisit, di pihak lain Amerika “diberi hak” untuk defisit. Selain ‘kecemburuan’ di atas, naiknya defisit Amerika setelah tahun 1958 menimbulkan kesangsian bagi masyarakat internasional apakah Amerika mampu untuk menahan emasnya (menyediakan emas sebagai pengganti US dollar berapa pun yang diminta).

Akibatnya, mereka cenderung lebih menyukai emas daripada US dollar. Padahal, untuk menutup permintaan tersebut produksi emas harus mampu mengimbangi pertumbuhan transaksi perekonomian internasional. Sampai pada kecenderungan ini, IMF mulai menghadapi dilema karena di satu pihak bila membiarkan defisit Amerika memang pasokan US dollar di pasaran internasional akan mampu mengimbangi pertumbuhan transaksi, namun akan meningkatkan keraguan atas kemampuan Amerika dalam menyediakan cadangan emas. Di lain pihak, untuk menekan defisit Arnerika IMF harus mengurangi pasokan cadangan internasional sementara hal itu justru menghambat transaksi internasional.

Pada praktiknya, akibat dilema tersebut neraca perdagangan AS terus mengalami defisit, dan kepercayaan masyarakat internasional terhadap US dollar sebagai mata uang internasional satu-satunya semakin menurun. Beberapa negara, contohnya Perancis bahkan terus menumpuk emas dengan implikasi terdepresiasinya nilai US dollar.

Mengamati situasi ini, John Maynard Keynes seorang ekonom Inggris, dalam negosiasi di Bretton Woods pada tahun 1944 sempat mengantisipasinya, yaitu dengan menggagas tentang perlunya satu mata uang internasional baru yang disebut “Bancor”, tapi kandas oleh pengaruh Amerika, dan seperti yang telah kita ketahui bahwa gold dollar-lah yang berlaku dalam rezim Bretton Woods.

Perkembangan di atas berlanjut hingga akhir dasawarsa 1960-an. Pada tanggal 15 Agustus tahun 1971, presiden Richard Nixon mengumumkan bahwa Amerika tidak mampu lagi mempertahankan komitmennya untuk membeli dan menjual emas dengan harga US$ 35 per ons. Dengan demikian, sistem Bretton Woods tidak bisa dipertahankan lagi, dan sistem kurs mengambang (floating exchange rate) berlaku hingga sekarang.

2. Special Drawing Right (SDR)

Special Drawing Right (SDR) adalah unit cadangan moneter yang ada di IMF. Unit yang memiliki nama lain “paper gold” ini diciptakan pada tahun 1969 untuk mendukung rezim Bretton Woods (sistem kurs tetap). SDR bukan sebuah mata uang dan juga bukan sebuah claim di IMF, melainkan potential claim atas mata uang negara-negara anggota IMF yang berlebih (free usable currencies).

Pemegang SDR dapat menukarkan SDR yang dimilikinya dengan mata uang negaranya (mata uang domestiknya) yang beredar di pasar asing/internasional, biasanya untuk menjaga nilai kurs mata uangnya. Pada awalnya, nilai 1 SDR bernilai 0.888671 gram emas murni atau ekuivalen dengan 1 US$. Akan tetapi, dengan runtuhnya rezim Bretton Woods sejak tahun 1970-an nilai SDR ditentukan berdasarkan gabungan nilai kurs (basket of currencies) US dollar, Euro, Yen, dan Poundsterling.88 Komposisi nilai SDR yang terdiri atas gabungan empat mata uang itu ditinjau setiap lima tahun sekali oleh Dewan Eksekutif IMF dengan mempertimbangkan signifikansi relatif mata uang-mata uang yang ada dalam perdagangan internasional dan sistem finansial dunia. Hingga Januari 2010, total terdapat SDR 380 milyar yang ada di IMF.

Secara normatif, SDR dibuat untuk mengantisipasi keadaan kurang tersedianya US dollar atau cadangan emas di pasaran internasional. Akan tetapi, pada praktiknya ada beberapa negara atau kelompok negara yang mematok kurs mata uangnya terhadap SDR (pegged rate). Dalam kaitannya dengan krisis finansial global sekarang, SDR memainkan peran yang cukup penting sebagai cadangan internasional di IMF. Hal tersebut tercermin dari peningkatan alokasi kapital SDR oleh negara-negara anggota IMF yang digariskan salah satunya dalam komunike G-20 .