Bagaimana Integrasi antara Kebijakan Moneter dan Makroprudensial?

Kebijakan Moneter dan Makroprudensial

Bagaimana Integrasi antara Kebijakan Moneter dan Makroprudensial ?

Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral menggunakan suku bunga kebijakan sebagai instrumen utama. Namun, menjaga stabilitas harga tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi, karena sistem keuangan yang berperilaku prosiklikal menyebabkan fluktuasi perekonomian yang berlebihan.

Secara internal, integrasi kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial mengharuskan adanya koordinasi yang sering antara sisi kebijakan moneter dan sisi stabilitas keuangan. Oleh karena itu di tingkat Direktorat maupun tingkat Komite Kebijakan, interaksi keduanya perlu dilakukan secara reguler. Instrumen regulasi makroprudensial yang dirancang untuk melakukan countercyclical dapat digunakan dalam mengatasi prosiklikalitas dan mendukung kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas makroekonomi (Agung Juda, 2010).

Implikasi penting dari paradigma baru terhadap kerangka kerja operasional ITF adalah perlu disain ITF yang fleksibel. Salah satu kelemahan dari ITF dalam hal kemampuannya menangani ketidakseimbangan di sektor keuangan adalah horizon kebijakannya yang terlalu pendek. Biasanya, di beberapa bank sentral horizon kebijakan adalah dua tahun. Di Indonesia, penetapan target dilakukan setiap tiga tahun dengan target tahunan, tanpa adanya rolling target. Artinya, dalam praktek, horizon target adalah satu tahun. Masalahnya, berkembangnya potensi risiko di sektor keuangan biasanya berlangsung dalam horison yang lebih panjang daripada horison sasaran inflasi. Mismatch ini menyebabkan kebijakan moneter yang konsisten untuk tujuan pencapaian inflasi bisa jadi tidak sejalan dengan pengendalian risiko di sektor keuangan.

Penerapan Flexible ITF pada intinya dilakukan dengan menggunakan dua pilar, yaitu Pilar Kebijakan Moneter dan Pilar Kebijakan Makroprudensial. Instrumen utama dalam pilar moneter adalah suku bunga kebijakan BI rate, intervensi valas, dan instrumen pengeloalaan likuiditas. Kebijakan moneter merupakan instrumen utama dalam mempengaruhi suku bunga dan nilai tukar. Namun, suku bunga juga dapat digunakan untuk tujuan stabilitas sistem keuangan melalui pengaruhnya pada neraca perusahaan dan neraca bank. Kebijakan makroprudensial digunakan untuk mendukung kebijakan moneter melalui perannya secara langsung mempengaruhi neraca bank dan perusahaan dengan menggunakan instrumen makroprudensial, seperti surcharge CAR dan dynamic provision (Agung, 2012).

Flexible ITF adalah salah satu strategi dalam menjembatani perbedaan horison waktu untuk pencapaian stabilitas harga dan sistem keuangan. Namun, strategi ini tetap harus mempertimbangkan trade-off antara fleksibilitas dan kredibilitas. Dalam kaitan ini, perpanjangan horison waktu yang berlebihan dan dilakukan dengan sering akan mengurangi kredibilitas kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan koordinasi penggunaan suku bunga kebijakan moneter untuk instrumen kebijakan makroprudensial yang bersifat countercyclical karena stabilitas keuangan membutuhkan dua alat kebijakan tersebut. (Heath Daniel, 2014)

Kebijakan Makroprudensial


Secara konseptual kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi prudensial yang ditujukan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Kebijakan makroprudensial digunakan untuk mencegah terjadinya siklus boom – bust suplai kredit dan likuiditas yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Dengan peran menjaga stabilitas suplai intermediasi keuangan. Kebijakan makroprudensial memiliki peran yang menunjang tujuan kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas harga dan output. Kebijakan makroprudensial ini juga sering diinterpretasikan sebagai kebijakan untuk mengatasi ‘too big too fail bank atau Systematically Important Financial Institution (SIFI) (Rizki E Wimanda et. al., 2012).

Ada dua dimensi penting dari kebijakan makroprudensial. Pertama, dimensi waktu ( time – series ), yaitu kebijakan makroprudensial yang ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dari sistem keuangan. Prinsipnya adalah bagaimana mendorong institusi keuangan untuk mempersiapakan bantalan ( buffer ) yang cukup saat perekonomian sedang baik, yaitu ketika ketidakseimbangan dalam sistem keuangan umumnya terjadi, dan bagaimana menggunakan bantalan tersebut ketika perekonomian sedang memburuk. Kedua adalah dimensi antarsektor ( cross-section ), yang menggeser fokus dari regulasi prudensial yang diterapkan pada individual lembaga keuangan menuju pada regulasi sistem secara keseluruhan. Krisis – krisis besar yang terjadi merupakan akibat dari eksposur terhadap ketidakseimbangan makro keuangan yang dilakukan secara bersamaan oleh sebagian besar pelaku sistem keuangan (Perry Warjiyo, 2016).

Hal yang melatarbelakangi adanya kebijakan makroprudensial adalah adanya teori prosiklikalitas, yang menunjukkan fenomena dimana siklus keuangan mengakselerasi siklus ekonomi. Pada periode ekonomi meningkat, siklus keuangan cenderung lebih cepat daripada siklus ekonomi. Ekspansi kredit perbankan meningkat pesat, harga aset keuangan dan properti membumbung tinggi, akumulasi hutang terjadi secara berlebihan, dan aliran modal masuk juga deras dari luar negeri. Menimbulkan akumulasi risiko yang semakin tinggi dan kerentanan di dalam sistem keuangan.