Bagaimana Insurgent dan Belligerent sebagai Subyek Hukum Internasional?

Insurgent dan Belligerent sebagai Subyek Hukum Internasional

Bagaimana Insurgent dan Belligerent sebagai Subyek Hukum Internasional?

Pengertian Subyek Hukum Internasional


Malcom,N Shaw meyatakan secara singkat bahwa subyek hukum adalah persons or entities who possess international personality . Sedangkan Martin Dixon menyatakan bahwa subyek hukum internasioanl adalah a body or entity which is capable of possessing and exercising rights and duties under international law . Subjek-subjek hukum internasional ini sendiri memiliki kecakapan-kecapan hukum internasional utama. Kecakapan-kecakapan hukum yang di maksud sebagai berikut :

  1. Mampu menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional (dan nasional)

  2. Menjadi subyek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional

  3. Mempu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional

  4. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik

Secara umum subyek hukum Secara umum dikenal 5 (lima) subyek hukum internasional yang meliputi :

  1. Negara

  2. Organisasi internasional

  3. Entitas non-negara

  • Anggota negara bagian atau federal
  • Belligerent/ insurgent
  • Gerakan pembebasan nasional
  • Wilayah internasional
  1. Kasus khusus
  • Ordo kesatria malta
  • Vatikan
  1. Individu

Seiring dengan perkembangan hukum internasional dan munculnya hak asasi manusia subyek hukum internasional mengalami perkembangan. Pengakuan atas kaum minoritas dan masyarakat asli sebagai bagian dari subyek hukum internasional mulai dikenali, hal-hal tersebut merupakan beberapa contoh perkembangan dalam yang sangat berkaitan dengan munculnya hak asasi manusia di dalam tubuh hukum internasional.

Berbicara subyek hukum internasional maka tidak dapat terlepas dengan kepribadian hukum/budaya hokum ( legal personality ). Kepribadian hukum menjadi penting, mengingat tanpa adanya kepribadian hukum maka institusi ataupun kelompok (subyek hukum) tidak dapat beroprasi dan kehilangan segala klaim atas hak maupun kewajiban yang dimilikinya. Kepribadian hukum dalam pandangan hukum internasional selain berfungsi untuk penentuan kapasitas dalam mengklaim hak dan kewajiban yang akan dimiliki, dilain sisi juga membentuk sifat atau karakter dari hukum yang akan diterapkan sesuai dengan kepribadian intenasional yang berlaku. Tanpa adanya hal ini baik dalam upaya menjalankan sistem maupun pembentukan sistem ini sendiri tidak dapat berjalan.

### Insurgent dan Belligerent sebagai Subyek Hukum Internasional


1. Insurgent

Belligerent , insurgent , dan teroris memiliki perbedaan yang sangat tipis baik secara tindakan maupun dalam proses terbentuknya. Abad ke-20 dunia internasional menyaksikan hal-hal ini banyak terjadi seperti Macan Tamil di sri lanka, Gerakan Aceh Merdeka di indonesia, Taliban di afganistan dan lain sebagainya. Pandangan atas kelompok-kelompok ini relatif jika di generalisir yaitu perlawanan terhadap pemerintahan yang sah, apapun alasan dibaliknya.

Kata Insurgency merujuk pada tindakan-tindakan pemberontakan, kerusuhan, atupun tindakan makar yang dilakukan oleh warga negara suatu negara terhadap pemerintahan negaranya. Di lain sisi Belligerent memiliki makna yang sama tetapi dalam tingkatan yang berbeda, belligerent lebih mengarah kepada perang sipil dengan kondisi yang hampir sama kuat dan hampir menyerupai perang antar negara. Hukum internasional sangat sedikit mengatur tentang insurgent . Kedua hal ini lebih di pandang murni sebagai masalah internal negara dan negara secara nasional-lah yang berhak menentukan hukum atas hal ini. Terlebih jika pemberontakan mendapatkan status sebagai belligerent maka pemeberontakan akan memiliki hak dan kewajiban karna akan menjadikan statusnya sebagai subyek dari hukum internasional. Pemberontakan yang memperoleh pengakuan tidak lagi di anggap sebagai penjahat oleh negara tetapi merupakan orang yang berperang, dan hukum perang akan berlaku dalam seluruh tindakan setelahnya .

Konsep pemberlakuan Insurgency dan Belligerency tidak jelas dan sangat subyektif tergantung pada apakah negara memberikan pengakuan atau tidak atas pemberontakan yang dilakukan, dan terlebih pengaturan atas pemberontakn jatuh kepada kepentingan internal negara. Insurgency dalam hukum internasional tidak dijelaskan secara terperinci tentang definisi dari insurgent sendiri, hal ini sering menimbulkan kebingungan apakah insurgent merupakan ruang lingkup hukum internasional atau tidak. Internasional mengakui tindakan insurgent ataupun belligerent sebagai kelompok bersenjata non-negara. Dalam beberapa pandangan seperti Higgin dan Greenspan memandang bahwa pemberian status insurgent kepada suatu kelompok pemberontak membawa status mereka keluar dari lingkup hukum nasional dan menjadikannya bagian dari hukum internasional. Sedangkan dalam pandangan Castren memandang bahwa status insurgent tidak mempengaruhi hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kelompok pemberontak dan mereka bukan berada di bawah naungan hukum internasional tetapi di bawah hukum nasional dan merupakan kriminal.

Pemberontakan yang terjadi pasti akan melibatkan pelanggaran terhadap undang-undang negara yang bersangkutan, tetapi secara hukum internasional tidak ada pelanggaran hukum internasional yang terjadi mengingat fakta bahwa pemberontakan berhubungan dengan usaha untuk menggulingkan pemerintah negara atau melepaskan diri dari negara yang secara umum hal-hal ini berhubungan juga dengan konsep self determination yang diperbolehkan secara internasional. Jika pemberontakan tersebut dengan cepat di basmi, atau dengan cepat berhasil menggulingkan pemerintahan. Masalah pengakuan tidak mungkin terjadi, tetapi berbeda hal dengan pemberontakan dan pemerintah yang memiliki kekuatan yang sama atau seimbang. Kemungkinan terjadinya konflik akan berlangsung lama hingga bertahun-tahun. Pemberontakan dalam kondisi ini tentu akan mengusahakan meminta pertimbangan Status internasionalnya dalam periode tersebut .

Beberapa kondisi penting untuk pengakuan pemberontakan dapat didaftar sebagai berikut:

  • Pemberontak perlu memiliki kendali atas sebagian besar wilayah.
  • Sebagian besar orang yang tinggal di wilayah tersebut harus mendukung pemberontak atas kemauan sendiri dan bukan sebagai akibat tindakan yang diambil oleh pemberontak.
  • Pemberontak harus dapat dan mau mematuhi kewajiban internasional.

Banyak pemikiran yang di keluarkan oleh ahli mulai berfokus pada hak dan kewajiban para pemberontak, namun seperti yang ditunjukkan oleh Wilson, tampaknya ada kesepakatan umum bahwa hak-hak para pemberontak terbatas pada batas-batas wilayah negara yang bersangkutan. Pengaturan tetentang hak dan kewajiban yang insurgent sangat sedikit di bahas dalam forum forum internasional, tetapi melalui Internasional Comite Red Cross (ICRC), Pemberontak diperbolehkan memasuki pengaturan untuk perlindungan kemanusiaan dan kesepakatan umum lainnya. Namun, ada juga sudut pandang lain bahwa hakhak lain seperti hak blokade, yang mengikat pihak-pihak yang berperang, sebenarnya tidak mengikat pemberontak. Dengan demikian, Insurgency memiliki potensi untuk menginternasionalisasi konflik secara parsial tanpa diberi status berperang penuh.

2. Belligerent

Belligerency adalah kategori terakhir dari sebuah tantangan bagi pemerintah mapan, yang diakui oleh hukum kebiasaan internasional, dan menyiratkan adanya konflik yang lebih serius daripada Insurgency atau tindakan pemberontakan apapun. Belligerency juga merupakan konsep yang lebih jelas didefinisikan dalam hukum internasional daripada kategori konflik lainnya. Pengakuan Belligerency secara langsung meresmikan hak dan kewajiban semua pihak dalam sebuah perang. Namun, kondisi tertentu perlu diperjelas agar terjadi konflik bisa mencapai status melawan belligerent . Syarat pengakuan belligerent meliputi, sebagai berikut:

  1. Terorganisir secara rapi dan teratur dibawah kepemimpinan yang jelas.

  2. Harus memiliki, dan menggunakan tanda pengenal yang jelas yang dapat menunjukan identitasnya.

  3. Harus sudah menguasi secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah tersebut benar-benar telah berada di bawah kekuasaanya.

  4. Harus mendapatkan dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya.

Pengakuan terhadap belligerent sebagai institusi khusus dalam bentuk yang dikenal pada sekarang ini, berasal pada kuartal pertama abad kesembilan belas ketika para penulis dan ahli mulai membahas status yang diberikan oleh pemerintah Inggris dan AS ke koloni-koloni Spanyol. Sementara Situasi dalam penggambaran para ahli, perang-perang yang terjadi cenderung agresif dan didefinisikan lebih spesifik daripada insurgent oleh para ahli pada saat itu, teedapat beberapa ketidakpastian dan ketidakjelasan seputar topik ini. Namun, hak dan kewajiban Belligerent lebih jelas, dan pengakuan atas Belligerency memberikan hak dan kewajiban yang jelas di bawah hukum internasional .

Belligerent menjadi bagian dari subyek hukum internasional maka hak dan kewajiban secara internasional akan didapatkan, tetapi tentu posisi yang dimiliki oleh belligerent dalam hal ini tidak sama besarnya dengan yang dimiliki oleh negara. Salah satu point penting dalam hak dan kewajiban yang dimiliki oleh belligerent yaitu hak dan kewajiban untuk menggunakan hukum perang (humaniter).

Pengakuan atas belligerent dapat datang baik dari negara tempat belligerent berasal ataupun datang dari pihak negara ketiga (diluar dari konflik). Dalam kebiasaan hukum internasional sangat sedikit terlihat keutungan bagi negara ketiga untuk melakukan pengakuan terhadap belligerent , selain dapat mengakibatkan rusaknya hubungan secara bilateral dengan negara asal belligerent , disisilain juga akan merusak pandangan internasional atas pengakuan yang dilakukan , Pengakuan pihak ketiga terhadap belligerent cenderung bersifat politis.

Pengakuan atas belligerent yang dilakukan oleh negara asal belligerent sangat jarang dilakukan dalam prakteknya, ketidak inginan untuk mengakui tentu beralasan, biasanya negara akan mengusakan semaksimal mungkin untuk mengehentikan pemeberontakan yang terjadi sebaik yang dapat dilakukan negara tersebut. Pengakuan yang dilakukan oleh negara asal belligerent cenderung dilakukan dalam kondisi dimana terdapat desakan internasional untuk melakukannya ataupun karna pemberontakan yang terjadi telah masuk kedalam fase dimana kekuatan negara dengan pemeberontak telah dalam posisi yang seimbang dan tidak mungkin lagi negara untuk menutupi konflik yang terjadi. Pengakuan atas belligerent dalam kondisi tertentu terkadang sengaja dilakukan oleh negara jika memang negara secara umum melihat adanya keuntungan untuk melakukan pengakuan.

Pengakuan atas belligerent tidak selalu datang dengan kondisi negatif, denga adanya pengakuan maka akan muncul hak dan kewajiban seperti di jelaskan sebelumnya. Hal terpenting yang menyertai datang hak dan kewajiban bagi kaum pemberontak adalah kondisi dimana negara dapat memperlakukan kaum pemeberontak seperti keadaan negara berperang pada umumnya. Walaupun terlihat merugikan tetapi jika memang datang kondisi khusus maka perubahan status secara person terhadap pemberontak yang pada awalnya merupakan penjahat akan menjadi musuh negara. Tentu perlakuan atas pelaku pemberontakanpun akan berubah secara otomatis baik dalam keadaan saat perang berlangsung maupun pasca perang berlangsung. Hal utama yang menyebabkan negara asal belligerent tidak melakukan pengakuan atas pemberontakan selain pemberontak akan mendapatakan pengakuan dalam hukum internasional disisi lain anggapan atas melemahnya negara karna adanya pemberontakan menjadi sebabnya, walaupun dengan pengakuan atas belligerent terdapat keuntungan untuk negara.

Jika pengakuan atas belligerent dilakukan oleh negara ketiga ataupun negara asal pemeberontakan, kondisi konflik yang terjadi akan sama dengan konflik antar negara91. Tidak jarang konflik yang terjadi merembet hingga ke wilayah negara yang tidak memiliki kepentingan atas konflik. Negara yang tidak memiliki kepentingan atau tidak terlibat dalam konflik di sebut sebagai negara netral, mengingat jika pengakuan atas belligerent telah dilakukan dan konfidisi konflik sama dengan kondisi konflik antar negara maka secara hukum penerapan bagi negara yang tidak terlibat dalam konflik adalah negara netral yang oleh hukum internasional diatur secara cukup jelas. Tetapi dalam kondisi tertentu jika pengakuan atas pemberontakan tidak pernah terjadi, dan negara ketiga terkhusus negara yang memiliki perbatasan langsung dengan negara yang memiliki pemberontak merasa terganggu ataupun diminta oleh negara dalam konflik untuk membantu maka negara ketiga dapat melakukan perlawanan terhadap pemberontakan. Perlakuan yang dilakukan oleh negara ketigapun akan sama dengan negara asal pemberontakan, dengan mengaanggap bahwa pelaku pemeberontakan adalah tindakan melawan hukum dan di anggap sebagai kriminal, yang menjadi unik adalah bahwa pihak ketiga dalam konflik boleh untuk membantu negara dalam konflik tetapi tidak boleh membantu pihak pemberontak. Terlepas dari keterlibatan negara ketiga dalam konflik, pada dasarnya pihak netral dalam konflik memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut :

  1. Wilayah dan perlindungan bagi peserta perang

Prisip dasar hukum atas pihak netral adalah negara/pihak netral dalam konflik tidak diperbolehkan secara permanen maupun sementara untuk memberikan bantuan perlindungan (benteng dan sejenisnya) ataupun sebagian wilayahnya kepada pemberontak baik dalam wilayahnya maupun wilayah pemeberontak walaupun jika wilayah ataupun perlindungan jauh dari zona perang yang terjadi.

  1. Bantuan dalam konflik

Negara/pihak netral tidak boleh memberikan bantuan apapun kepada pemberontak, baik bantuan dalam bentuk perdagangan, bantuan dalam bentuk material untuk tujuan militer dan keuangan.

  1. Kewajiban warga negara dari negara netral

Negara netral tidak memiliki kewajiban untuk mencegah warga negaranya dalam menyediakan bantuan militer untuk pemberontak.

  1. Perlindungan bagi korban perang.

Wilayah netral, yang berada di luar wilayah perang, wajib menyediakan tempat berlindung bagi korban perang maupun pengungsi perang.

3. Hak dan kewajiban Belligerent

Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pemberontakan yang diakui atau belligerent diatur dalam beberapa Konvensi dan secara umum pengaturan atas hak dan kewajiban belligerent akan sangat mirip dengan keadaan negara dalam konflik internasional. Penjabaran secara singkat sebagai berikut :

  1. Salah satu konsekuensi hukum dari pengakuan tersebut adalah bahwa undang-undang dan kebiasaan perang dapat diterapkan pada pemberontak atau pihak yang berperang dan pemerintah yang sah. Ini mencakup Perlindungan terhadap warga sipil terhadap konflik bersenjata internal dan Penyediaan hak atas tentara berperang satu sama lain.

  2. Perlindungan dan keamanan warga sipil terhadap konflik bersenjata internal ditangani oleh Protokol Tambahan II pada Konvensi Jenewa tahun 1949, Konvensi ini menetapkan peraturan standar yang melarang pihak yang berperang dengan sengaja menyebabkan korban sipil di sisi lain.

  3. Dilarang menggunakan senjata beracun yang menyebabkan penderitaan. Konvensi Palang Merah juga mewajibkan perlindungan terhadapb 8n kapal dan pesawat bantuan medis untuk kehilangan nyawa maupun harta benda.

  4. Pasal 4 dari Konvensi tahanan perang di Jenewa, 1949, mengatur bahwa pasukan gerakan perlawanan terorganisir berhak diperlakukan sebagai ‘tawanan perang’ jika mereka diperintahkan dengan baik, memiliki sinyal khas yang dapat dikenali dari kejauhan, secara terbuka membawa senjata dan melakukan operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. Pasal 118 dan 119 juga memberikan alasan kemanusiaan bahwa Narapidana perang harus dibebaskan dan dipulangkan tanpa penundaan setelah penghentian permusuhan yang aktif.

  5. Konvensi Jenewa tentang Orang-orang yang Terluka dan Sakit untuk orang berperang mewajibkan pihak yang berperang untuk melindungi yang terluka dan personil yang sakit serta menghormati keberadaan pasukan atau tempat medis. Kapal perang yang dikenali sebagai pemberontak tidak akan diperlakukan sebagai kapal pribadi.

  6. Pihak yang berperang dapat masuk ke dalam perjanjian dengan negara yang mengakui.

  7. Pemberontak yang diakui tidak diperlakukan sebagai penjahat dan peraturan perang berlaku untuk mereka.

Dengan sifat dan ruang lingkup pemberontakan yang sangat terbatas terhadap perang, konsekuensi hukum ini berlaku secara komprehensif saat pihak pemberontak tersebut diakui sebagai pihak yang berperang dan bukan pemberontak.