Bagaimana implementasi Revolution In Military Affairs (RMA) dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia

Konsep RMA menurut Krevinevich (2007), adalah bahwa Revolution In Military Affairs RMA muncul pada saat penggunaan teknologi baru ke dalam sistem militer yang digabungkan dengan konsep operasional yang inovatif dan adaptasi organisasional yang merubah secara mendasar karakter dan terjadinya sebuah konflik.

Hal ini terjadi dengan menghasilkan peningkatan yang dramatis dalam kekuatan pertempuran dan efektivitas militer suatu angkatan bersenjata.

Bagaimana implementasi Revolution In Military Affairs (RMA) dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia


The Pentagon’s ‘Smart’ Revolution

Tidak banyak informasi mengenai bagaimana Indonesia mengimplementasikan RMA. Namun, langkah negara lain dalam menerapkan RMA dapat menjadi salah satu rujukan untuk mengkaji bagaimana konsep RMA dilaksanakan di Indonesia, bagaimana proses penerapan kebijakan yang dianggap relevan dengan RMA, serta apa faktor yang dapat menghambat implementasi RMA tersebut.

Salah satu kebijakan yang dapat dilihat mengenai keinginan Indonesia dalam mengadopsi RMA adalah terbitnya Peraturan Menteri Pertahanan No. 15 Tahun 2009 mengenai Pembinaan Teknologi dan Industri Pertahanan. Peraturan ini mempertimbangkan gagasan RMA sebagai rujukan dalam pembinaan teknologi dan industri pertahanan dan menyatakan untuk menganalisis perkembangan teknologi dan RMA secara terus menerus. Indonesia sudah meyakini gagasan RMA dengan menyatakan bahwa rekayasa teknologi dan lainnya, sangat berpengaruh simetris terhadap doktrin, strategi, dan postur militer dari suatu negara.

Gagasan mengenai RMA pun sudah menjadi pembahasan dalam kajian di Lembaga Ketahanan Nasional Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerapan RMA merupakan hal yang tidak mudah.

Bahkan, dalam beberapa waktu ke belakang, akuisisi dan investasi dalam pengadaan senjata belum mengadopsi gagasan RMA.

Hal ini dimaklumi mengingat penerapan RMA bagi negara manapun merupakan program yang menyedot biaya. Hal ini menjadi kendala bagi negara-negara besar maupun kecil untuk konsisten dalam menerapkan RMA.

Akibatnya, pertahanan dan pembangunan (RMA) tetap menjadi hal yang belum seiring sejalan.

Padahal pertahanan merupakan prioritas tertinggi sebagaimana dinyatakan Adam Smith bahwa

“tugas pertama negara berdaulat adalah melindungi masyarakat dari kekerasan dan invasi negara lain, dan tugas tersebut hanya bisa dilakukan oleh kekuatan militer”.

Oleh sebab itu, penting untuk membangun pertahanan yang sesuai dengan potensi ancaman dan bagaimana perang akan terjadi di masa kini dan akan datang. Untuk menjawab hal tersebut, Kementerian Pertahanan kemudian menargetkan untuk memodernisasi alutsista TNI yang didasarkan atas pertimbangan strategis negara.

Dalam kesempatan pertemuan antara pimpinan Kementerian Pertahanan dan pimpinan media massa nasional, Wakil Menteri Pertahanan menyatakan bahwa pertimbangan strategis tersebut adalah:

  • Pertama, mewujudkan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara yang memiliki daya tempur strategis baik skala teknologi militer maupun skala penangkalan.

  • Kedua, perimbangan kekuatan strategis suatu negara yang memiliki prasyarat kekuatan politik-ekonomi dan pertahanan militer.

  • Ketiga, realisasi Revolution in Military Affairs (RMA) bagi suatu negara termasuk Indonesia untuk mewujudkan kekuatan minimal (MEF) sebagai instrumen negara untuk melaksanakan fungsi negara berdasarkan keputusan politik.

Postur pertahanan Indonesia dewasa ini memfokuskan dan memprioritaskan kepada perwujudan pokok kekuatan minimum (minimum essential force/MEF) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengacu kepada postur ideal TNI jangka panjang.

Menurut Peraturan Presiden No. 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2010-2014, MEF diartikan sebagai standar kekuatan pokok dan minimum TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama serta mendasar bagi terlaksananya secara efektif tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ancaman aktual.

Pembangunan kekuatan melalui modernisasi alat utama sistem senjata serta sarana pendukung pencapaian MEF juga disebutkan dalam kebijakan pertahanan tersebut. Selain itu, kebijakan pertahanan juga diarahkan kepada upaya untuk mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang pertahanan, serta untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan.

Memahami bahwa tiga pilar pelaku iptek dalam pertahanan seperti perguruan tinggi dan lembaga riset dan pengembangan, industri, dan user (TNI), pemerintah kemudian membentuk kebijakan terpadu bidang iptek dan industri pertahanan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan.

Kebijakan tersebut dilakukan dengan membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan yang bertugas untuk merevitalisasi industri pertahanan yang disadari memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan pertahanan.

Revitalisasi ini dilakukan agar industri pertahanan mampu memenuhi kebutuhan alat peralatan yang mendukung pertahanan. Kebijakan ini secara legal dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2010. Dapat dikatakan, peraturan ini melengkapi Peraturan Presiden No. 41 Tahun 2010 sebelumnya mengenai Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2010-2014 yang mengarahkan kepada MEF.

Aturan mengenai komite kebijakan industri pertahanan tersebut juga menguatkan Peraturan Menteri Pertahanan No 15 Tahun 2009 tentang Pembinaan Teknologi dan Industri Pertahanan. Peraturan ini menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban mengembangkan teknologi dan industri pertahanan karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pembinaan kemampuan pertahanan negara.

Dalam peraturan menteri ini terdapat petunjuk untuk mengembangkan program produksi dan alih teknologi yang berorientasi kepada perkembangan teknologi dan RMA. Hal ini dilakukan dengan empat tahapan pemenuhan kebutuhan teknologi pertahanan mulai dari

  1. kemandirian teknologi sarana pertahanan kelas ringan untuk mendukung operasi taktis;

  2. kemandirian teknologi sarana pertahanan kelas sedang/menengah untuk mendukung operasi taktis dan strategis terbatas;

  3. kemandirian teknologi sarana pertahanan kelas berat untuk mendukung operasi strategis; dan

  4. kemandirian mendukung teknologi sarana pertahanan kelas berat untuk mendukung berbagai operasi pertahanan dengan didukung kemampuan inovasi teknologi sesuai perkembangan.

Perubahan yang terkait dengan RMA seperti teknologi, doktrin, dan organisasi juga dialami oleh Indonesia. Walaupun tidak dikatakan secara eksplisit bahwa perubahan tersebut digerakan oleh RMA, beberapa dimensi RMA dalam hal teknologi alat utama sistem senjata akan dibuat secara mandiri untuk digunakan oleh kekuatan pertahanan Indonesia.

Seperti terlihat dalam contoh pencapaian penelitian dan pengembangan bidang pertahanan keamanan untuk mendukung Minimum Essential Force tahap I 2010-2014. Direncanakan beberapa bidang riset dan pengembangan alutsista sudah menghasilkan produk atau prototipe pada tahun 2014.

Prioritas utama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan iptek bidang pertahanan keamanan tahun 2010-2014 meliputi

  1. teknologi pendukung daya gerak;
  2. teknologi pendukung daya gempur; dan
  3. teknologi pendukung K4IPP/C4ISR (komando, kendali, komunikasi, komputasi, informatika, pengintaian, dan pengamatan).

Dari tabel dibawah ini, terlihat berbagai alutsista yang berorientasi RMA dan tidak.

Bidang Riset dan Pengembangan RMA Non RMA
Teknologi Pendukung Daya Gerak : Kapal selam mini (midget submarine, tidak mudah terdeteksi) Kendaraan tempur, kapal patroli pantai, kapal pendarat pantai, pesawat ringan, Kendaraan taktis tahan peluru, hovercraft, tank amfibi
Teknologi Daya Gempur Ranjau laut pintar, smart bomb, peluru kendali Roket, Meriam Kaliber 20mm, Munisi 20mm, bahan propelan
Teknologi pendukung C4ISR/K4IPP Aplikasi data streaming, internet security, alat intersepsi, Alat sandi, Alat pengamatan video camera
(Komando, Kendali, Komunikasi, Komputasi, Informatika, Pengintaian dan Pengamatan) Downlink system, night vision scope, Pesawat tanpa awak
Perangkat lunak optronik, radar, dan satelit, Combat management system
Sumber: Lampiran II Keputusan Menteri Riset dan Teknologi No. 193/M/Kp/IV/2010/

Dikaitkan dengan pembangunan postur pertahanan negara jangka panjang, kebijakan umum pertahanan negara 2010-2014 untuk mencapai MEF merupakan tahapan pertama. Tahapan berikutnya adalah tahap II tahun 2015-2019, tahap III tahun 2020-2024, dan tahap IV tahun 2024-2029.

Pada tahap IV, pembangunan postur pertahanan negara diharapkan sudah terwujud TNI yang profesional, kesejahteraan prajurit yang tinggi, kemampuan industri pertahanan yang modern, komponen cadangan yang lengkap dan tertata, serta komponen yang telah dengan baik.

Penjelasan diatas memperlihatkan upaya membangun industri pertahanan yang mengikuti perkembangan teknologi serta melibatkan komponen perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, dan pengguna (TNI) sendiri. Tiga komponen ini berperan penting dalam melahirkan inovasi iptek untuk alat utama sistem senjata dan sarana pendukung pertahanan lainnya.

Dikuasainya kemampuan tersebut didalam negeri akan membawa kemandirian bagi negara, serta memiliki implikasi signifikan dalam program modernisasi pasukan sebagai alat pertahanan negara. Peralatan yang modern dan berteknologi tinggi sebagai alat pertahanan akan membawa kepada berbagai perubahan cara bagaimana pertahanan dan perang dijalankan. Hal ini merupakan ciri bagaimana kebijakan dilakukan dengan berorientasi RMA.

Konsep Variabel Dimensi Indikator Kategori
Revolution in Military Affairs Implementasi RMA dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia Teknologi Akuisisi Alutsista Terkait Gagasan RMA Efektif/Tidak Efektif
Investasi Penelitian dan Pengembangan Alutsista secara mandiri
Produksi Alutsista dari Industri Domestik
Doktrin C4ISR
Operasi Gabungan/ NCW
Organisasi Direktorat/Kantor yang berhubungan dengan implementasi RMA
Perubahan struktur/ organisasi militer

Sumber :

  • R. Mokhamad Luthfi, Implementasi Revolution in Military Affairs (RMA) Dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia