Bagaimana Hukumnya Menikah Saat Hamil?

Bagaimana hukumnya menikah dalam keadaan masih hamil?

Wanita yang menikah dalam kondisi hamil ada dua kondisi, yaitu :

  • Pertama, wanita yang diceraikan mantan suaminya dalam keadaan hamil.

  • Kedua, wanita belum menikah dan berzina sampai hamil.

Kedua kondisi ini mempunyai hukum yang berbeda.

Hukum yang pertama sangat jelas keharamannya untuk menikah. Dalam Alquran disebutkan, iddah (masa menunggu) bagi wanita kelompok pertama sampai ia melahirkan. Firman Allah SWT,

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS ath-Thalaq [65]: 4).

Ulama sepakat menikahi wanita yang masih dalam iddahnya, yaitu perkara batil dan tidak sah. Hendaklah bersabar untuk menunggu sampai iddahnya benar-benar selesai sempurna. Seperti firman Allah SWT,

“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis iddahnya.” (QS al-Baqarah [2]: 235).

Sedangkan wanita yang hamil karena perbuatan zina, inilah kasus yang marak terjadi di masyarakat. Para orang tua sering mengambil langkah untuk menikahkan putri mereka yang telanjur hamil. Tujuannya, untuk menutupi aib keluarga mereka.

Sebenarnya, mayoritas para ulama membolehkan pernikahan wanita yang sedang hamil akibat perzinaan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Namun pendapat ulama yang lebih rajih (kuat) disyaratkan kepada kedua calon pengantin untuk bertobat dari dosa besar yang telah dilakukannya. Hal ini seperti diungkapkan dalam pendapat dari mazhab Imam Ahmad, Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid. Sedangkan ulama lain, seperti Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, tetap mengesahkan pernikahan tersebut walau kedua calon pengantin belum bertobat.

Imam Ahmad berdalil dengan ayat Alquran,

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin.” (QS an-Nur [24]: 3).

Ayat ini menjadi dalil haramnya wanita dan laki-laki yang berzina untuk menikah sampai mereka bertobat. Pernikahan yang merupakan mitsaqan ghalizha (ikatan kuat nan suci) hanya bisa mengikat sepasang insan yang beriman. Adapun orang musyrik (non-Islam) atau pezina maka tidaklah berlaku ikatan pernikahan bagi mereka.

Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang para sahabat menikah dengan wanita pezina. Seperti hadis ‘Amr bin Syu’aib, ia mengisahkan salah seorang sahabat bernama ‘Anaq ingin menikahi tawanan perempuan pezina. Rasulullah SAW diam, sampai surah an-Nur ayat 3 tersebut turun. Rasulullah SAW pun melarang ‘Anaq untuk menikahi wanita itu. (HR Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Hakim).

Namun, jika sudah bertobat secara nasuha dari dosanya sebagai pezina, barulah ia bisa menikah atau dinikahkan. Para ulama berbeda pendapat dengan bentuk tobat tersebut. Jika di negara Islam, pezina wajib menjalani hudud (hukuman Allah SWT) yang akan dieksekusi oleh pemerintah. Hukuman bagi pezina yang masih lajang tersebut, yakni hukuman dera sebanyak 100 kali.

Namun, jika ia berada di negara sekuler yang tidak berhukum dengan hukum Islam, pezina perlu bersungguh-sungguh dalam tobatnya secara nasuha dengan memenuhi lima kriteria, yaitu tobat yang ikhlas karena Allah, menyesali perbuatan, meninggalkan dosa tersebut, berazam (bertekad) sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya, dan memperbanyak amal ibadah sebagai ganti dari maksiat yang telah dilakukannya.

Setelah tobat, barulah wanita yang hamil karena perzinaan ini bisa dinikahkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Hal itu juga disahkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 2 Ayat (1). Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Mayoritas ulama dari Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat, tidak ada iddah bagi wanita yang hamil di luar nikah untuk melangsungkan pernikahan. Artinya, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan sesegeranya tanpa harus menunggu kelahiran anaknya.

Lantas, bagaimanakah hukumnya jika wanita yang hamil di luar nikah dinikahkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya?

Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf pun memperbolehkan hal ini.

Di antara ulama yang sangat keras dalam persoalan ini, yaitu Dr Yusuf Qaradhawi. Dalam kunjungannya ke Bosnia, ia ditanya oleh para Muslimah setempat. Kebiadaban tentara Serbia di antaranya memperkosa Muslimah-Muslimah Bosnia. Beberapa di antara korban perkosaan tersebut hamil. Syekh Qaradhawi ditanya, apakah jabang bayi tersebut boleh digugurkan atau harus tetap dibesarkan?

Syekh Qaradhawi prihatin dengan nasib Muslimah setempat. Akhirnya, Syekh Qaradhawi pun menfatwakan bahwa wajib hukumnya bagi pemuda Islam setempat menikahi Muslimah korban perkosaan. Hal itu untuk mengobat hati dan mendampingi para Muslimah tersebut pascatrauma, dan menjaga bayi tak berdosa tersebut sampai dilahirkan ke dunia.

Namun terkait hal ini, mazhab Abu Hanifah menegaskan, memang boleh hukumnya menikahi wanita yang tengah hamil di luar nikah, namun belum boleh berjima’ dengannya. Kebolehan berjima’ hanya dibolehkan jika laki-laki yang menikahi merupakan orang yang menghamilinya. Adapun jika si suami bukanlah orang yang menghamilinya maka mereka harus menunggu sampai masa istibro’ (rahim telah kosong dari janin dan telah haid minimal sekali).

Hal ini berdalil dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri RA tentang sabda Rasulullah SAW tentang tawanan wanita di Perang Authos.

“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR Ahmad).

Islam sangat menjaga nasab dan keturunan. Tidak boleh ada dua jenis sperma dalam rahim seorang wanita. Hal ini juga menjadi cikal bakal penyakit mematikan, seperti HIV dan AIDS. Hadis dari Ruwaifi’ bin Tsabit RA menyebutkan,

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka jangan ia menyiramkan air (mani)nya ke ‘tanaman’ orang lain.” (HR Ahmad, Abu, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).

Hukum ini memperlihatkan bagaimana indahnya Islam dalam menjaga nasab dan keturunan. Demikian pula, indahnya akhlak Islam dalam menjaga kehormatan dan kasih sayang sesama manusia. Bayangkan saja, jika wanita yang tengah hamil karena perzinaan harus menanggung sendiri beban kehamilannya sampai melahirkan. Sedangkan, laki-laki yang menghamilinya dengan enteng bisa pergi begitu saja.

Wanita yang hamil di luar nikah baik karena korban perkosaan atau perzinaan mengalami depresi yang luar biasa. Belum lagi, pendampingan dan kehadiran sosok seorang suami sangatlah penting. Wanita hamil sangat butuh pendampingan semasa hamil hingga melahirkan. Sungguh menyesatkan jika wanita hamil dalam kondisi ini dibiarkan saja menanggung beban beratnya seorang diri.

Adapun wanita hamil yang diceraikan mantan suaminya maka suami berkewajiban pula menanggung seluruh kebutuhan mantan istrinya sampai masa iddahnya selesai. Ia wajib memberi nafkah lahir dan mencukupi seluruh kebutuhan istrinya.

Wallahu’alam.