Bagaimana hukumnya Istri tidak memasak padahal suami sudah capek seharian kerja ?

Kita sebagai laki-laki berkewajiban untuk mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarga kita. Akan tetap bagaimana bila kita sudah seharian kerja, tapi sampai di rumah istri tidak menyediakan makanan untuk kita?

Pada dasarnya Islam sangat memuliakan derajat para wanita, sehingga umat Islam tidak butuh hari Kartini atau semacam Mother`s Day yang sifatnya sangat simbolis. Misalnya dengan istri boleh tidak memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi hanya sehari itu saja.

Sedangkan posisi syariat Islam langsung kepada realitas bahwa seorang istri tidak wajib memberi nafkah buat suaminya.

Sebaliknya, justru suaminya lah yang wajib memberinya makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan semua kebutuhannya.

Gampangnya, istri hanya tinggal buka mulut, suaminya lah yang wajib memasukkan makanan siap saji ke dalam mulut istrinya.

Meski ada khilaf juga di tengah ulama dalam hal ini, namun mazhab As-Syafi`i dan banyak mazhab lainnya yang secara tegas menyebutkan bahwa pada dasarnya pernikahan itu hanya mewajibkan seorang istri untuk melayani suaminya secara seksual saja, tidak lebih. Yang wajib memasak, belanja, menyapu, mengepel, mencuci pakaian, beres-beres rumah, sampai urusan kebutuhan rumah tangga, bukan istri tetapi suami. (jika suami tidak bisa atau tidak mau mengerjakannya sendiri maka bisa menyewa tenaga kerja / pembantu).

Sebab seorang istri bukanlah pembantu. Istri adalah wanita yang mulia, dia adalah ratu dalam rumahnya.

Apakah melakukan pekerjaan rumah (masak, mencuci, menyapu, dll) itu wajib bagi istri?

Menurut sebagian ulama, pekerjaan rumah tersebut tidaklah wajib bagi istri. Istri hanya wajib menaati suami dalam hal-hal yang memang menjadi kewajiban istri, yaitu dalam pelayanan hubungan seksual (dgn cara yg syar’i), membantu menjaga harta suami, dan beberapa hak suami lainnya (misalnya istri dilarang memasukkan lelaki/tamu yg tidak disukai suami ke dalam rumah suami) .

Adapun pekerjaan pembantu rumah tangga seperti memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, bukanlah kewajiban istri menurut jumhur/mayoritas ulama, walaupun ada juga sebagian ulama yang mewajibkan.

Ada juga sebagian ulama yang berpendapat wajib tidaknya istri melakukan pekerjaan rumah adalah sesuai adat/kebiasaan yg berlaku di daerah tersebut. Jika di daerah itu pekerjaan rumah bukan kewajiban istri maka istri tidak wajib mengerjakannya, begitu juga sebaliknya. yang berpendapat seperti ini diantaranya Syaikh Ibnu Taimiyah dan Syaikh Bin Baz.

Meski pekerjaan rumah tangga bukan kewajiban istri, namun jika suami sudah sibuk/capek bekerja mencari nafkah, dan penghasilannya pas-pasan (tidak cukup untuk membayar pembantu), sedangkan istrinya punya banyak waktu luang di rumah, maka sudah sewajarnya istri melaksanakan pekerjaan rumah tangga sebatas kemampuannya, yaitu bekerjasama dan tolong menolong dgn suami dalam rumah tangga, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dan suami juga membantu sesuai kemampuannya jika ada waktu luang dan tenaga.

Adapun jika suami kaya raya, maka istri boleh minta pembantu yg mengerjakan semua pekerjaan rumah. Apalagi jika sudah ada perjanjian saat akad nikah bahwa istri tidak mengerjakan pekerjaan pembantu. Misalnya istri berasal dari keluarga bangsawan/kaya yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah, atau berasal dari keluarga yg wanitanya tidak melakukan pekerjaan rumah (karena punya pembantu).

Sedangkan jika suami memerintahkan hal-hal yang ringan dan tidak memberatkan istri maka sudah sepantasnya dilakukan (misalnya mengambilkan makanan/minuman/pakaian)

Hak dan kewajiban isteri dalam perspektif ulama fiqh berhubungan dengan peran isteri dalam rumah tangga, dan ini erat kaitannya dengan hak-hak suami yang harus dipenuhi dan dilaksanakan isteri dalam keluarga. Secara umum, konsep pekawinan Islam mengajarkan bahwa hak-hak yang dimiliki oleh suami maupun isteri adalah seimbang dengan kewajiban yang dibebankan kepada mereka.

Dasar dari hak dan kewajiban masing-masing suami maupun isteri ini adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2:228.

Artinya: “…dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 228)

Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa hak yang dimiliki oleh seorang istri adalah seimbang dengan kewajiban isteri tersebut terhadap suaminya. Menurut Wahbah al-Zuhaili, dasar dari pembagian hak dan kewajiban suami maupun isteri ini adalah adat (‘urf) dan nature (fitrah), dan asasnya adalah setiap hak melahirkan kewajiban.

Keluarga adalah kelompok kecil, sebagai pondasi bagi kelompok yang lebih besar. Jika fondasi ini baik maka seluruh masyaraka menjadi baik. Oleh karena itu, bagi keluarga harus ada pemimpin yang mengatur jalannya kehidupan rumah tangga, dan mendidik keluarga untuk mencapai ketenangan. Kaitannya dengan hak-hak seorang isteri, maka erat kaitanya dengan kewajiban yang harus ditunaikan oleh serang suami. Orang laki-laki dibebani tuga untuk meberikan nafkah, dan memenuhi segala sesuatu untuk kenyamanan keluarganya. Islam memberikan tugas kepada laki-laki (suami) sebagai pemegang kendali.

Kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya harus dipenuhi dan dilaksanakan, karena yang demikian merupakan bentuk pemenuhan atas hak-hak seorang isteri. Adapun hak-hak isteri yaitu berupa nafkah, mahar, perlakuan baik dari suami, dan keadilan.

Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan seorang isteri terhadap suami berkaitan dengan pemenuhan hak-hak suaminya. Menurut pendapat mayoritas ulama, termasuk ulama mazhab Hanafi, Maliki Syafi’i dan Hanbali, sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa paling tidak terdapat tiga hak suami yang yang wajib dipenuhi oleh isterinya.

  1. Ulama mazhab sepakat bahwa seorang isteri wajib ta’at kepada suami dalam masalah persetubuhan dan pergi keluar dari rumah. Jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, dan dia adalah orang yang bisa untuk digauli, maka dia harus menyerahkan dirinya dengan akad perkawinan jika ia dituntut untuk melakukan hal itu. Dalam ati bahwa isteri wajib untuk melakukan hubungan senggama ketika suami menginginkannya. Pendapat ini kemudian telah menjadi kesepakatan ulama mazhab. Kemudian, isteri wajib untuk tinggal di rumah suaminya selama dia telah menerima maharnya yang bersifat cepat. Isteri tidak dibenarkan untuk keluar rumah tanpa ada izin dari suaminya.

  2. Ulama mazhab sepakat bahwa seorang isteri wajib amanah, dalam arti dia wajib menjaga dirinya, rumah, harta dan anak-anaknya ketika suaminya tidak ada di rumah.

  3. Ulama sepakat bahwa isteri wajib memperlakukan suaminya dengan baik, dengan cara mencegah perbuatan aniaya dan lainnya.

Ketiga kewajiban seperti telah dikemukakan di atas harus dilaksanakan dan dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Abdul Majid menyatakan bahwa seorang isteri wajib mentaati suami pada sesuatu yang tidak dilarang Allah. Karena, tidak ada ketaatan kepada seseorang makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Sang isteri juga menjaga kehormatan diri dan harta suami, serta tidak melakukan suatu pekerjaan yang menyusahkannya.

Terkait dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, ulama mazhab, baik dari kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah Hanabillah, sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya dalam hal urusan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menyapu dan lain-lain. Dinyatakan bahwa seandainya suami pulang membawa bahan makanan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap untuk dimakan. Bahkan suami wajib untuk menyediakan pembantu buat istrinya dalam mengerjakan urusan rumah tangga.

Namun demikian, terdapat ada juga yang berpendapat bahwa isteri wajib untuk berkhidmat kepada suaminya. Yusuf Al-Qaradawi mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya. Begitu juga yang dinyatakan oleh Abdul Majid Mahmud Matlub, bahwa urusan rumah tangga dilaksanakan berdasarkan kondisi perekonomian suami. Melayani suami dan melakukan perkerjaan rumah merupakan kewajiban isteri, sesuai dengan batasan kebaikan seperti yang diketahui oleh orang banyak (sesuai dengan ada kebiasaan dalam suatu mesyarakat tertentu).

Apabila keadaan ekonomi suami tidak mampu untuk memerkerjakan seseorang pembantu, maka sang isteri wajib membantunya. Jadi, hal ini sejalan dengan ikatan hubungan kehidupan berumah tangga yang saling menopang antara suami dan isteri dan terlihat adanya keseimbangan antara kewajiban dan hak masing-masing mereka dalam sebuah keluarga.

Referensi :

  • Wahbah Zuhaili, Fiqhū al-Islām wa Adillatūhū: Pernikahan, Talak, Khulu’, Ila’, Li’an, Zihar dan Masa Iddah, (terj: Abdul Haiyyie Al-Kattani, dkk), jilid 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011).
  • Abdul Aziz Muhammad Azam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, al-Usrah wa Aḫkāmuā fī al-Tasyrī’ī al-Islāmī, ed. In, Fiqh Munakahat, (terj: Abdul Majid Khon), cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011).

Bukan istri wajib memasak, tetapi yang benar, istri wajib melakukannya sebagai pengabdian pada suaminya. Demikianlah (di masa) para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri mereka mengabdi pada suaminya. Sampai-sampai Fatimah radhiyallahu ‘anha (puteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengabdi pada suaminya (‘Ali bin Abi Tholib). Ia pun menggiling, menyapu, dan memasak. Karena ini semua termasuk bentuk memberikan pelayanan pada suami dengan cara yang baik. Bahkan asalnya memang seperti ini.

Dikecualikan di sini jika istri berasal dari lingkungan yang biasa dilayani, bukan melayani orang lain, ini berlaku untuk setiap negara dan setiap waktu. ‘Urf (kebiasaan) mereka yang jadi patokan. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Layanilah istri-istri kalian dengan cara yang baik” (QS. An Nisa’: 19).

Karenanya, jika istri adalah orang yang biasa dilayani dan bukan kebiasaan masyarakat jika istri mesti beres-beres rumah, maka hendaklah suami mendatangkan pembantu di rumah. Semuanya terserah istri jika ia bersedia ataukah tidak, walhamdulillah.

Namun jika didapati di suatu negeri, ‘urf yang berlaku itu berbeda dan ini sudah masyhur serta suami pun mengetahuinya, maka ‘urf tersebut yang dipakai. Karena ‘urf ini seperti sesuatu yang sudah disyaratkan. Namun jika istri meninggalkan kebiasaan tersebut dan ingin melayani suami sendiri, maka ia pun telah melakukan suatu yang baik. Jadi boleh saja ia mengikuti kebiasaan masyarakat. Namun asalnya adalah dialah yang melayani suami dalam hal memperhatikan rumah dan pakaian suami.

[Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, 21: 113]