Bagaimana Hukuman Mati ditinjau dari segi Statuta-statuta Mahkamah Internasional?

Hukuman Mati ditinjau dari segi Statuta-statuta Mahkamah Internasional

Bagaimana Hukuman Mati ditinjau dari segi Statuta-statuta Mahkamah Internasional ?

Hukuman Mati ditinjau dari segi Statuta-statuta Mahkamah Internasional


Kecenderungan negara-negara untuk menolak pemberlakuan hukuman mati terlihat jelas melalui Statuta-statuta yang mendasari pembentukkan beberapa mahkamah yang bersifat Internasional khususnya, Nurenberg International , ICTY ( International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia ), ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ), dan ICC ( International Criminal Court )

1. Nurenberg Tribunal

Mahkamah Tribunal adalah peradilan militer yang diselenggarakkan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia 2 untuk mengadili personil Jerman yang dianggap melakukan kejahatan Internasional selama Perang Dunia 2. Persetujuan yang melandasi pelaksanaan Mahkamah Nurenberg , yakni “ agreement for the prosecution and punishment of the major war criminals of the european axis ” pada tanggal 8 Agustus tahun 1945 secara tegas memuat ancaman pidana mati.

2. ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda )

ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ) adalah dua Mahkamah Kejahatan Internasional ad-hoc yang dibentuk pada tahun 1990 an, sekitar empat dekade setelah pembentukkan Mahkamah Nurenberg .

Perubahan mendasar yang terjadi diantara Mahkamah Nurenberg dengan ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ), Khususnya menyangkut pidana mati. Meskipun tidak secara eksplisit terdapat gagasan yang kuat didalam statuta ICTY dan ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ) untuk menolak penerapan pidana mati. Artikel 24 Statuta ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan Artikel 23 ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ) menegaskan bahwa “the penalty imposed by the trial chamber shall be limited to Imprisonment” ini berarti bahwa didalam sistem peradilan ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ), pidana mati tidak akan diterapkan. Dapat diartikan bahwa para pelaku Genosida, pelaku kejahatan perang, dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang terwujud dalam tindakan-tindakan penyiksaan, eksperimen biologis dalam perang, penyanderaan penduduk sipil, pengeboman desa-desa yang bukan merupakan objek militer dalam perang, perbudakan, pembunuhan, penyiksaan dan perkosaan sampai kapanpun tidak akan pernah dipidana mati dibawah sistem ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ).

3. ICC (International Criminal Court)

Dasar penyelengaraan International Criminal Court (ICC) yakni Statuta Roma 1998 yang sebelumnya sudah dimulai oleh ICTY dan ICTR terkait dengan pidana mati. Dalam artikel 77 Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku Genosida ( Genocide ), kejahatan terhadap kemanusiaan ( Crime Against Humanity ), Kejahatan Perang ( War Crimes ), dan Kejahatan Agresi ( The Crime of Agression ). Adalah :

  1. Imprisonment for a specified number of years, which may not exceed a maximum of 30 years : or

  2. A term of life imprisonment when justified by the extreme gravuty of the crime and the individual circumstances of the convicted person.

Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan adalah :

  • A fine Under the criteria provided for in the rules of precudereand evidence.
  • A forfeiture of proceeds. Property and assets derived directly or indirectly from that crimes, without prejudice to the rights of bona fide third parties.

Sistem pemidanaan didalam ICC yang hanya bisa diatasi pada pidana penjara ( imprisonment ) akan membuat pelaku kejahatan Internasional yang diatur dalam artikel 5 Statuta Roma (Genosida, Kejahatan Perang, Kejahatan terhadap kemanusiaan, dan Kejahatan Agresi) tidak akan pernah tersentuh oleh pidana mati, meskipun perbuatan dari pelaku kejahatan ini luar biasa kejam dan tindakannya menyebabkan matinya ribuan orang, termasuk perempuan dan anakanak.

Pada titik inilah situasi paradoksal bisa muncul. Jika penghapusan pidana mati seperti yang terefleksikan didalam statuta ICTY, ICTR, dan ICC dianggap sebuah perlindungan the right to life dari pelaku kejahatan Internasional, maka perlindungan itu justru telah memberikan sebuah hak istimewa (privilege rights) kepada orang yang salah, yang justru secara kasar dan eksesif telah melanggar hak hidup (the right to life) sekian ribu orang yang menjadi korban perbuatan si pelaku. Pada titik ini pula rasa keadilan bisa menjadi sangat terusik.

Hak-hak seorang terpidana yang dijatuhi sanksi hukuman mati dalam Hukum Internasional.


Dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) berkaitan dengan hukuman mati, PBB telah mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati ( Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty ) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik . Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain :

  1. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum positifnya, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji.

  2. Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan.

  3. Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.

  4. Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.

  5. Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.

  6. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.

  7. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.

  8. Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.

  9. Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan.

Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia ( International Covenant on Civil and Political Rights ). Meski diakui hak hidup sebagai non- derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan.