Bagaimana Hukum terkait Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan?

BAB XXI MENYEBABKAN MATI ATAU LUKA-LUKA KARENA KEALPAAN


Pasal 359

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360

(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 361

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Bagaimana Hukum terkait Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan?

Tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang” secara tegas diatur dalam Pasal 359 KUHP yang selengkapnya berbunyi

“Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”

Matinya orang akibat dari perbuatan terdakwa di sini tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa, atau bukan tujuan yang dikehendaki terdakwa akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat daripada kurang hati-hatinya atau lalainya terdakwa (delik culpa). Lalainya terdakwa di sini misalnya seorang sopir menjalankan kendaraan mobil terlalu kencang sehingga menabrak orang sampai mati, atau seseorang berburu melihat sosok hitam-hitam dalam semak- semak dikira babi atau rusa terus ditembak mati, tetapi sosok yang dikira babi itu adalah manusia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya.

Tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang” sebagaimana dimaksud dalam BAB XXI tentang “mengakibatkan orang mati atau luka karena kelalaiannya” Pasal 359 KUHP hukumannya diperberat jika tindak pidana tersebut dilakukan dalam sesuatu jabatan atau pekerjaan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 361 yang menyatakan bahwa jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukumannya dapat ditambah dengan sepertiganya dan si tersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana pekerjaan itu dilakukan dan Hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.

Menurut Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, ketentuan pasal ini dikenakan terhadap dokter, bidan, ahli obat, sopir, kusir dokar, masinis yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya.

Apabila mereka itu mengabaikan (melalaikan), sehingga menyebabkan mati (Pasal 359 KUHP) atau luka (Pasal 360 KUHP), maka akan dihukum lebih berat. Apabila matinya orang itu dimaksud oleh terdakwa, maka ia dikenakan Pasal 338 KUHP atau 340 KUHP. Dalam Pasal 338 KUHP dinyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Soesilo menyebut kejahatan ini sebagai “makar mati” atau “pembunuhan” (doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja, artinya dimaksud, termasuk dalam niatnya. Apabila kematiannya itu tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini mungkin masuk Pasal 359 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain, atau Pasal 351 sub 3 KUHP, yaitu penganiayaan biasa berakibat matinya orang, atau Pasal 353 sub 3 KUHP, yaitu penganiayaan terlebih dahulu berakibat mati, atau Pasal 354 sub 2 KUHP, yaitu penganiayaan berat berakibat mati, atau Pasal 355 sub 2 KUHP, yaitu penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu berakibat mati.

Selanjutnya dalam Pasal 340 KUHP dinyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama- lamanya dua puluh tahun. Kejahatan dalam Pasal 340 KUHP menurut Soesilo dinamakan “pembunuhan berencana” (moord).

Boleh dikatakan ini adalah suatu pembunuhan biasa (doodslag) tersebut dalam Pasal 338 KUHP akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. “Direncanakan lebih dahulu” (voorbedachte rade) yaitu antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.

Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempo itu si pembuat dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan itu membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan.

Selain Pasal 359 KUHP, di dalam Buku ke II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kelalaian / kealpaan, antara lain (Prasetyo, 2005):

a. Pasal 188 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan peletusan kebakaran dan seterusnya.

Pasal 188 KUHP berbunyi :

“Barang siapa menyebabkan karena kelalaiannya kebakaran, peletusan atau banjir, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama- lamanya satu tahun atau hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- jika terjadi bahaya umum untuk barang karena hal itu, jika terjadi bahaya kepada maut orang lain, atau jika hal itu berakibat matinya seseorang.

Menurut Soesilo isi pasal ini adalah sama dengan isi Pasal 187 KUHP, bedanya bahwa Pasal ini dilakukan tidak dengan sengaja (delik culpa), sedang Pasal 187 KUHP dilakukan dengan sengaja (delik dolus). Sudah barang tentu hukumannya lebih rendah daripada Pasal 187 KUHP.

Pasal 187 menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran, dihukum :

  1. Penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang;

  2. Penjara selama-lamanya lima belas tahun jika perbuatannya itu dapat mendatangkan bahaya maut bagi orang lain;

  3. Penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua pulih tahun, jika perbuatannya itu dapat mendatangkan bahaya maut bagi orang lain dan orang mati akibat perbuatan itu.

Kejahatana ini adalah suatu delik dolus artinya harus dilakukan dengan sengaja jika tidak dilakukan dengan sengaja (karena kelalaiannya), maka orang itu dihukum menurut Pasal 188 KUHP, yaitu delik culpa.

b. Pasal 231 ayat 4 KUHP, yaitu karena kelalaiannya si penyimpan menyebabkan hilangnya barang yang disita.

Pasal 231 ayat 4 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa karena kelalaiannya melepaskan barang yang telah disita menurut peraturan undang-undang atau melepaskan dari simpanan atau perintah hukum, atau menyembunyikan barang itu, sedangka diketahuinya bahwa barang itu dilepaskan dari sitaan atau simpanan itu, dihukum kurungan setinggi-tinggi satu bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.800,-

c. Pasal 360 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka berat.

Pasal 360 KUHP berbunyi sebagai berikut :

  1. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.

  2. Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama- lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,-

Isi pasal ini hampir sama dengan Pasal 359 KUHP, bedanya bahwa akibat dari Pasal 359 adalah “matinya orang”, sedangkan akibat dalam Pasal 360 KUHP adalah luka berat atau luka yang menyebabkan jatuh sakit atau terhalang pekerjaan sehari-hari.

d. Pasal 409 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan alat-alat perlengkapan (jalan kereta api, dan seterusnya) hancur.

Pasal 409 KUHP disebutkan bahwa barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan sesuatu pekerjaan yang tersebut dalam Pasal di atas (Pasal 408 KUHP) sampai binasa, rusak atau tidak dapat dipakai lagi, dihukum kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.500,-

Pekerjaan yang disebut dalam Pasal 408 KUHP, yaitu dengan melawan hak membinasakan, merusakkan atau membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi, pekerjaan jalan kereta api, trem, kawat telegram, telepon atau listrik, atau pekerjaan untuk menahan air, pembagian air atau pembuangan air, pipa gas atau air, atau selokan (jalan membuang kotoran) jika buatan, saluran atau seloka itu dipergunakan untuk keperluan umum. “Karena kelalaiannya” dalam Pasal 409 yaitu tidak sengaja, tetapi kerusakan itu disebabkan karena kurang hati-hati, lalai (alpa), kurang perhatian (culpa) (Budiyanto, 2009).

Di luar KUHP tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang” dapat dilihat dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan :

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Memperhatikan pasal tersebut, maka dalam hal tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan orang mati” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 KUHP dengan menggunakan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud Pasal Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan selain dikenakan ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 KUHP yaitu selama-lamanya 5 (lima) tahun atau kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun juga dapat dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Penyelesaian Tindak Pidana “Karena Kelalaiannya Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia” pada Kecelakaan Lalu-Lintas di Pengadilan

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan merupakan tempat bagi warga negara mencari dan menyelesaikan masalah secara adil. Untuk meweujudkan keadilan tersebut ditangan hakimlah ditentukan putusan masalah yang dibawa ke pengadilan.

Begitu berat tugas yang diemban seorang hakim karena keputusan yang dibuat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Proses pemeriksaan perkara oleh Pengadilan diawali setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan menunjuk Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan Hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang. Hakim dalam menetapkan hari sidang memerintahkan kepada Penuntut Umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di Sidang Pengadilan. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Menurut Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang. Kemudian hakim meminta kepada Penuntut Umum untuk membacakan surat dakwaan. Selanjutnya Hakim Ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila ternyata terdakwa tidak mengerti, Penuntut Umum atas pemintaan Hakim Ketua wajib memberi penjeleasan yang diperlukan.
Selanjutnya apabila dalam perkara tersebut ada barang buktinya, maka Hakim Ketua Sidang memperlihatkan barang bukti itu kepada terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dan jika perlu benda itu diperlihatkan oleh Hakim Ketua sidang kepada Saksi.

Di samping itu, apabila dianggap perlu untuk pembuktian, Hakim Ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu. Hal ini diatur dalam Pasal 181 ayat 1,2 dan 3 KUHAP.

Setelah dianggap selesai, Hakim Ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua sidang karena jabatannya maupun atas permintaan Penuntut Umum atau terdakwa atau Penasehat Hukum dengan memberikan alasannya. Setelah itu Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan (vonnis) dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, Penuntut Umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. Adapun musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. (Pasal 182 ayat 2, 3 dan 4 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana).

Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim, jika hakim berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka hakim menjatuhkan pidana, hal ini dinyatakan dalam Pasal 193 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim tergantung dari hasil musyawarah dan hasil mufakat para Hakim dengan berdasar pada penilaian yang diperoleh dari isi Surat Dakwaan dengan disertai segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.

Memeriksa suatu perkara pidana di Sidang Pengadilan seorang Hakim harus berdasarkan isi Surat Dakwaan. Berdasarkan pada landasan inilah Hakim Ketua Sidang memimpin dan mengarahkan jalannya seluruh pemeriksaan, baik yang menyangkut pemeriksaan alat-alat bukti atau berkenaan dengan barang bukti. Berdasarkan suatu Dakwaan, Hakim memeriksa suatu perkara pidana, pemeriksaan tersebut harus berada dalam batas-batas yang termasuk dalam Surat Dakwaan. Proses pemeriksaan di Sidang Pengadilan adalah merupakan bagian yang terpenting dari Hukum Acara Pidana karena pemeriksaan tersebut menjadi dasar musyawarah Majelis Hakim dalam mengambil keputusannya.

Pasal 182 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disebutkan :

Sesudah itu Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah Terdakwa, Saksi, Penasehat Hukum, Penuntut Umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.

Sedangkan dalam Pasal 182 ayat 4, dinyatakan bahwa :

Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas Surat Dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.

Mengenai Surat Dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum diatur dalam Pasal 143 ayat 2 dan ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan :
Penuntut Umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

  1. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
  2. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut batal demi hukum.

Jika melihat Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan :

Tiada seorangpun yang dapat dijatuhi pidana kecuali apa bila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Dari isi Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut nyatalah bahwa Surat Dakwaan sangat perlu dicantumkan dalam proses Peradilan Pidana.
Sejak zaman Hindia Belanda dahulu hingga sekarang, Hukum Acara Pidana kita secara konsisten memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif (negatiefwettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal-pasal yang mengaturnya.

Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.