Bagaimana Hukum dilihat dalam perspektif Antropologi?

Antropologi Hukum

Dalam perspektif antropologi, hukum adalah bagian integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dan lain lain.

Melalui studi-studi antropologis mengenai sistem pengendalian sosial (social control) di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam kehidupan masyarakat.

Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dll. (Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978).

Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundangundangan yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).

Hal ini karena para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai produksi dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku sosial.

Kajian Antropolgi Hukum

  • Di dalam perkembangan antropologi, masalah hukum sebenarnya juga sudah pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu kerangka kebudayaan yang serba luas. Sarjana-sarjana antropologi seperti Barton, Radcliffe-Brown, Malinowski dan lainnya, pernah memusatkan perhatian pada hukum sebagai suatu gejala sosial-budaya. Sesudah embrio dari antropologi hukum timbul, maka pandangan para sarjana seperti Schapera, Gluckman, Hoebel, Bohannan, Pospisil, Nader dan lainnya mempunyai peranan besar di dalam perkembangan A.H. (Soekanto, 1984).

  • Menurut Ihromi (1986) relevansi menelaah hukum dari segi antropologi, antara lain adalah:

  1. Berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang (tentunya termasuk Indonesia) yang secara budaya bersifat pluralistis dalam cita-citanya mewujudkan unifikasi hukum atau modernisasi hokum.
  2. Berkenaan dengan kemungkinan munculnya masalah bila warga masyarakat dari lingkungan sukubangsa tertentu masih mempunyai norma-norma tradisional yang kuat dan menuntut ketaatan mengenai hal-hal tertentu, sedangkan dalam norma hukum yang sudah tertulis dan berlaku secara nasional, hal- hal yang harus ditaati itu justru dirumuskan sebagai hal yang terlarang.
  • Secara faktual, masalah-masalah yang dirumuskan ke dalam dua point utama itu sudah terjadi, baik berkenaan dengan munculnya konflik horisontal di pelbagai wilayah, pertikaian antara state (maupun pemda) dengan masyarakat, maupun antar kelompok masyarakat sendiri. Hukum, menurut Benda-Beckmann (1979) adalah suatu cara khusus untuk membatasi otonomi anggota-anggota masyarakat. Kebanyakan penulis menyetujui bahwa hukum adalah suatu bentuk pengawasan sosial, itulah mengapa secara esensial sifatnya normatif, dan hal itu merujuk pada apa yang disebut (sebagai) konsepsi-konsepsi yang obyektif.

  • Implikasi pendekatan semacam ini adalah: bahwa hukum memberi input kepada pranata pengendalian sosial (apapun variant -nya) dan kemudian kepada rujukan berpikir masyarakat, dan sebaliknya. Hukum, di sisi lain, dapat pula menyebabkan perubahan perangkat berpikir, dan rujukan kemasyarakatan lainnya atau dikenal dalam sosiologi hukum sebagai “ law as tool of social engineering” . Namun, bila kesemua hal itu berubah (dan pada kenyataannya memang selalu demikian), maka hukum pun berubah mengikuti perubahan masyarakat dan lingkungannya.

  • Pendekatan antropologi (hukum) sengaja menggeser pusat perhatian dari aturan-aturan kepada individu atau manusia sebagai aktor yang dalam mengambil keputusan mengenai perilakunya dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan dari tatanan hukum yang dihadapinya (Ihromi, 200 0). Sejalan dengan itu, Spiertz dan Wiber (1979) menegaskan, bahwa:

    But to study the real position of people in relation to law requires a different methodological approach from that used in traditional legal studies. The focus have to swift away from law as a codified or customary set of rules and turn instead to the individual who stands at the intersection point of many different legal domains (dikutip dariIhromi, 2000). Kajian yang diusulkan tersebut lazimnya disebut sebagai kajian terhadap gejala hukum empiris ( law in action ).

  • Dengan demikian, hukum dalam lingkup kajian Antropologi Hukum (selanjutnya ditulis A.H.) ditanggapi sebagai gejala empirik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam konteks ini tidak ditanggapi seperti halnya para yuris mengkaji hukum (secara dogmatik). Secara umum metode AH adalah sebagai berikut:

  1. deskriptif – yakni pemerian gejala hukum empirik dalam masyarakat yang diteliti;
  2. ideology (menelusuri aturan normatifnya);
  3. telaah kasus ( case study method ), ditambah dengan metode komparasi (perbandingan). Metode yang satu ini mendorong, antara lain diberlakukannya konsepsi cultural relativism (relativisme budaya). Selain metode di atas, dapat ditambahkan pendekatan historis yang mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya dengan sudut proses sejarah (Hadikusuma, 1992).

--

Antropologi Hukum dalam Perspektif

  • Mulanya kajian A.H. dimulai dengan mengkaji hal-hal besar, misalnya evolusi hukum (secara umum), sebut saja sekedar contoh kajiannya J.J. Bachofen tentang evolusi hukum (dalam bukunya das muterrecht ). Dalam buku itu, Bachofen menjabarkan tahaptahapan evolusi hukum pada pelbagai masyarakat. Landasan kajiannya seringkali disebut sebagai “ armchair theory ” (kajian yang bukan berasal dari data primer atau field research ). Kritik yang kemudian muncul adalah: sifat kajian mereka-mereka ini tergolong ke dalam “ conjectural history ” (“sejarah rekaan”). Mengapa demikian? Karena biasanya kita akan sulit menemukan kasus-kasus masyarakat seperti yang digambarkan oleh mereka (biasanya secara evolutif dan berkembang linier).

  • Namun demikian, hasil karya mereka, atau setidaknya konsep-konsepnya justru mendorong – langsung maupun tidak – pihak lain menjadi tertarik dan mengkajinya secara lebih mendalam dan kritis. Selanjutnya, ada ahli yang mengupayakan pendefinisian hukum secara lebih spesifik, misalnya Radcliffe- Brown, Max Gluckman, E. Adamson Hoebel, dan lainnya. Max Gluckman mendefisinikan hukum sebagai: aturan abstrak yang ditegakkan oleh lembaga formal. Hal ini sejalan dengan Radcliffe-Brown yang menerapkan fenomena hukum Barat pada masyarakat non-Barat. Definisinya tentang hukum (yang dikutipnya dari Roscoe Pond) adalah: “suatu pengendalian sosial yang dilakukan dengan perantaraan penerapan secara sistematis dari kekuatan fisik suatu masyarakat yang terorganisir secara politis” (Soekanto et al ., 1984).

  • Definisi semacam ini, menurut beberapa ahli, membuat beberapa masyarakat tradisional – yang tidak memiliki kekuataan fisik yang terorganisir secara politis – menjadi tidak memiliki hukum. Padahal, mereka itu hidup dengan damai dan tertib ketika itu. Sementara, definisi yang mengidentikan hukum sama dengan adat (misalnya oleh Malinowski) telah membuat batasan, cakupan maupun gejala hukum menjadi tidak lagi jelas. Padahal, aturan- aturan hukum berbeda dengan aturan-aturan (Van Baal, 1988).

  • Binding obligations itulah yang menjadi esensi dari apa yang dapat dinamakan undang-undang. Binding obligations itu dijadikan dasar pada ketentuan fundamental bagi setiap masyarakat, yaitu timbalbalik. Lainnya, oleh karena aturan-aturan tersebut dirasakan dan dianggap sebagai kewajibankewajiban seseorang dan hak-hak dari fihak lain (Soekanto, 1984).

  • Definisi lain adalah dari E. Adamson Hoebel (1954), yaitu: A social norm is legal if its neglect or infraction is regulary met, in threat or in fact, by the application of physical force, by an individual or group, possessing the socially recognized privilege of so acting.

  • Definisi ini mengandung hal-hal:

  1. tindakan yang melanggar aturan,
  2. akan ditindak secara teratur melalui sanksi
  3. oleh pihak yang berwenang. Definisi ini mirip dengan definisinya Radcliffe-Brown.
  • Pendefinisikan tersebut rata-rata dilandasi oleh (sebutlah secara ringkas) sebagai pendekatan “struktural fungsional” dalam menelaah hukum. Menurut Radcliffe- Brown, masyarakat itu taat hukum karena adanya sanksi yang ditegakkan oleh lembaga resmi yang berwenang untuk itu. Lalu, ketika ada pertanyaan bagaimana dengan ketaatan yang terjadi pada masyarakat tradisional yang tidak memiliki “lembaga-lembaga penegakan hukum khusus”? Menurutnya, pada mereka ada potensi “kecenderungan misterius untuk taat”. Namun, Malinowski menyatakan, hukum ditaati karena prinsip “ give and take ” ( principal of reciprocity ) yang berlaku dalam masyarakat ( case study nya mengenai masyarakat Trobriand yang masih homogen ketika itu).

  • Kritik yang diarahkan ke pendekatan yang termasuk ke dalam “struktural fungsional” antara lain adalah:
    (1) Pendekatan lazim menggambarkan kebudayaan dan pranata sosial sebagai sesuatu yang “bulat”, konstan dan memiliki pola yang jelas. Kenyataannya, kebudayaan dan pranata sosial selain sering mengalami konflik juga selalu berubah,
    (2) pendekatan ini juga tidak mempertimbangkan adanya pluralisme budaya
    (3) kurang mempertimbangkan struktur sosial-budaya makro (dikutip dari Soehendera, 1989). Pada titik ini mulailah perhatian kajian beralih bukan saja terhadap hukum hukum pada institusi modern, seperti negara, namun juga hukum masyarakat lainnya.

  • Salah satu batasan hukum yang cukup sering dikutip adalah yang disebut oleh Leopold Pospisil sebagai “ attributes of law ”. Dia tidak secara langsung mendefinisikan hukum, namun memaparkan ciri-cirinya, yaitu:

  1. atribut otoritas,
  2. atribut penerapan secara universal,
  3. atribut obligatio
  4. atribut sanction .
  • Konsep atribut hukum ini muncul dari hasil telusuran komparatif Pospisil atas pelbagai sistem hukum masyarakat- masyarakat yang dikajinya. Definisi, batasan atau atribut hukum yang disusun oleh para ahli tersebut berasal dari kajian komparasinya antara berbagai sistem dan proses hukum dari pelbagai masyarakat dan kebudayaan. Dengan kata lain, benih-benih perhatian akan kemajemukan kemudian bersemai (Soekanto et.al , 1994).
Referensi

Hadikusuma, H. 1992. Pengantar Antropologi Hukum . PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Ihromi, T.O. 2000. Kajian Terhadap Hukum dengan Pendekatan Antropologi. Catatan-Catatan untuk Peningkatan Pemahaman Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat. Gramedia. Jakarta.

Soekanto, S. dkk. 1984. Antropologi Hukum, Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Rajawali Pers. Jakarta.

Bohannan, P. 1984. “Hukum dan Pranata Hukum” dalam T.O. Ihromi (ed.), Antropologi dan Hukum . Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.