Bagaimana Hubungan Syariat dan Hakikat?

Syariat dan hakikat

Seringkali hubungan antara syariat dan hakikat menjadi sesuatu membingungkan, bahkan tidak sedikit yang memisahkan antara syariat dan hakikat. Bagaimana sejatinya hubungan antara syariat dan hakikat itu sendiri ?

Syeikh Ibnu ‘Atha’illah mengatakan:

“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membantu menuju ketaatan, mendatangkan rasa takut pada Allah dan menjaga rambu-rambu-Nya. Ilmu yang paling bermanfaat adalah ilmu tentang Allah. Orang yang banyak berbicara tentang tauhid, tetapi mengabaikan syariat berarti telah mencampakkan dirinya dalam samudera kekufuran. Maka, orang yang benar-benar alim adalah yang didukung oleh hakikat dan terikat oleh syariat. Karena itu, seorang ahli hakikat tidak boleh hanya berada pada tingkat hakikat atau berhenti pada tataran syariat lahiriah semata. Tapi, ia harus berada pada posisi keduanya. Berhenti pada syariat lahiriah saja adalah syirik, sedangkan hanya menetap pada hakikat tanpa terikat oleh syariat adalah sesat. Petunjuk dan hidayah terletak pada keduanya.”

Dahulu kala Rasulullah SAW pernah didatangi orang yang mau masuk Islam tapi tak mau melaksanakan syari’at, rasulullah mengijinkannya dengan catatan “tidak boleh berbohong”, akhirnya dari waktu ke waktu, orang tersebut jadi baik dan mau melaksanakan syari’at. Sebenarnya rasulullah memulainya dari hakekat lalu menuju syari’at, yaitu harus jujur dan tidak boleh berbohong, ini urusan hakekat, hakekat itu urusan gerak gerik hati.

Jaman wali songo pun saat sunan kalijogo hendak berguru kepada sunan bonang, tidak diajari bagaimana tata cara sholat, malah disuruh “bertapa”, itu sebenarnya sunan bonang memulai dari hakekat menuju syari’at.

Sesungguhnya ajaran rasulullah SAW itu sempurna dan lengkap meliputi syari’at dan hakekat, hanya saja, dikarenakan syari’at itu “kelihatan” mata, tapi hakekat “tidak kelihatan mata”, lalu banyak org mengira rasulullah hanya mengajarkan syari’at saja.

Inilah mengapa orang mengira, bahwa kalau sudah bersyari’at meski tanpa berhakekat itu sudah dianggap menjalankan ajaran rasulullah, sebaliknya kalau sudah berhakekat, namun belum bersyari’at dianggap “tidak menjalankan” ajaran rasulullah, hanya sebab hakekat tidak kelihatan mata…ini aneh, sama-sama tidak sempurna, kok malah mengecam… hakekat itu urusan gerak gerik hati, sedang syari’at itu urusan gerak badan.

Apakah ketika orang hendak melakukan suatu kebaikan itu dia lakukan dulu baru niatnya menyusul, ataukah niatan hati dulu baru perbuatan menyusul???

Jelas niat dulu, niat ini urusan qolbu, ini sudah urusan hakekat. Pasti hakekat terlebih dahulu baru syari’at.

Memang tujuan akhir yang hendak dicapai sama, namun jalan atau metodenya berlainan. Ada yang dari syari’at untuk menuju hakekat, ada yang hakekat untuk menuju syari’at… Asal orang mau merenungkan dengan hati nurani yang jernih “pasti” mengakui bahwasannya “hakekat” itulah pondasinya, “syari’at” itulah gentengnya… apakah perkataan saya ini dianggap “terbalik sama orang2”???.. yah, anggap saja kepala saya dibawah dan kaki saya di atas… jagad wis kuwalik… semprul tenan…

Mursyid syekh Muhammad Zuhri (Abah FK)