Bagaimana hubungan politik dan ekonomi Islam di Indonesia?

Praktik ekonomi Islam sedang mengalami kemajuan hingga saat ini. Lalu bagaimana hubungan dunia perpolitikan dengan perekonomian khususnya ekonomi Islam di Indonesia?

20111128-politics-economy-business
Sumber : publish.ilinois.edu

Politik dan ekonomi adalah entitas yang tidak bisa terpisahkan, satu sama lain saling mempengaruhi. Dinamika hubungan politik dan ekonomi telah menjadi perhatian banyak peneliti di dunia. Perubahan politik akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi. Sebaliknya kehidupan ekonomi berpengaruh terhadap kehidupan politik. Hal ini sebagaimana juga dinyatakan oleh mantan Menteri Keuangan Chili,Alejandro Foxley, sebagaimana dikutip dalam Williamson dan Haggard (1994). Beliau menegaskan bahwa

“Economists must not only know their economic models, but also understand politics, interests, conflicts, passions - the essence of collective life. For a brief period of time you could make changes by decree; but to let them persist, you have to build coalitions and bring people around. You have to be a politician”

Di sisi lain, pemahaman yang baik terhadap proses dan mekanisme politik, sangat menentukan keberhasilan sebuah gagasan ataupun sebuah ideologi ekonomi dalam menciptakan sistem perekonomian yang menjadikan nilai (value) yang dibawa oleh gagasan atau ideologi tersebut sebagai pondasi utamanya. Prof Zubair Hasan, peraih penghargaan IDB Prize dalam bidang ekonomi Islam tahun 2009, dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa seandainya setiap pemerintah (negara-negara anggota OKI/Organisasi Konferensi Islam) menjadikan ekonomi Islam sebagai dasar perumusan kebijakan perekonomian mereka, maka perkembangan ekonomi Islam belum akan bisa menyaingi ekonomi konvensional. Dengan kata lain, beliau menegaskan pentingnya mendorong keberpihakan kekuasaan terhadap pengembangan ekonomi Islam secara keseluruhan, sehingga dominasi ekonomi yang berbasis riba dapat diminimalisir.

Secara implisit, pernyataan Prof Zubair Hasan tersebut juga bermakna bahwa keputusan politik negara memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kondisi perekonomian suatu bangsa. Wajah dan kinerja ekonomi sebuah negara, sangat ditentukan oleh mekanisme dan proses pengambilan keputusan politik yang berlaku dan disepakati oleh masyarakat di negara tersebut. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, perlu dikaji bagaimana pengaruh situasi dan kondisi politik yang merupakan konsekuensi dari keputusan politik penguasa pada masanya berpengaruh terhadap perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia. Paper ini akan mengkaji hal tersebut dengan fokus pada situasi perpolitikan di era Orde Baru dan era Orde Reformasi.

Politik dan Ekonomi

Pola politik juga selalu berkait erat dengan perkembangan bisnis. Sebaliknya pola bisnis juga senantiasa berkait erat dengan politik. Budaya politik merupakan serangkaian keyakinan atau sikap yang memberikan pengaruh terhadap kebijakan dan administrasi publik di suatu negara, termasuk di dalamnya pola yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi atau perilaku bisnis. Dalam konteks peran politik terhadap ekonomi dan bisnis, terdapat sistem politik yang dirancang untuk menjauhkan campur tangan pemerintah dalam bidang perekonomian dan bisnis, yaitu sistem liberal.

Ada juga sistem politik yang bersifat intervensionis secara penuh terhadap perekonomian dan bisnis. Ada pula sistem politik yang cenderung mengarahkan agar pemerintah terlibat dan ikut campur tangan dalam bidang ekonomi bisnis. Indonesia lebih mengacu pada pola terakhir, yakni pemerintah terlibat atau turut campur tangan dalam ekonomi dan bisnis. Hal ini dapat dilihat dalam hukum maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menunjang perekonomian dan bisnis. Kebijakan pemerintah RI berpengaruh siginifikan terhadap perkembangan ekonomi dan bisnis.

Politik Era Orde Baru dan Ekonomi Islam

Keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 merupakan titik awal lahirnya Orde Baru. Naiknya Soeharto menjadi orang nomor satu di Indonesia secara resmi pada Maret 1968 menandai pudarnya pamor dua kekuatan politik utama dalam Orde Lama dari percaturan politik nasional, yaitu Soekarno dan PKI, dengan meninggalkan ABRI sebagai kekuatan politik seorang diri. Pada saat itu berarti ABRI memiliki surplus of power untuk berbuat apa saja, termasuk kudeta untuk membentuk pemerintahan junta militer. Namun ternyata peluang itu tidak ”dimanfaatkan” ABRI.

Hal ini karena tiga faktor: pertama, sikap perwira militer Jawa sangat dipengaruhi oleh orientasi dan budaya politik Jawa, misalnya penghormatan terhadap “Bapak” Soekarno. Kedua, sikap legalistik A.H. Nasution. Ketiga, pertimbangan apa yang paling baik bagi kepentingan nasional. Persoalan pokok yang dihadapi oleh Indonesia pada awal-awal rezim Orde Baru adalah warisan krisis dari rezim sebelumnya, yaitu krisis politik dan ekonomi yang begitu parah. Di bidang ekonomi terjadi kemerosotan dan stagnasi. Pada tahun 1966 laju inflasi mencapai 650 %.8 Sementara di bidang politik, terjadi instabilitas karena terjadinya pertentangan antar kelompok-kelompok politik dalam masyarakat.

Keadaan politik di Indonesia menjelang lahirnya Orde Baru ditandai dengan enam ciri, yaitu: kegagalan sistem multi partai; percaturan politik yang bertumpu pada dasar partai ideologi dalam suasana masyarakat yang belum menghayati aturan permainan politik yang ada; perpecahan birokrasi karena campur tangan partai dalam birokrasi dan menjadikan birokrasi sebagai asasnya; partai politik menggunakan corak partai “totalitarian”; penyusupan PKI dalam ABRI sehingga menimbulkan disharmoni di dalam tubuh ABRI; terjadinya konflik interpersonal di tingkat grassroot (akar rumput/rakyat jelata) akibat dari interaksi interpersonal yang didasarkan pada nilai-nilai primordial, orientasi “parokhial” dan hubungan “patron-klien”.

Dalam konteks yang lebih luas, Professor Donald Wilson mengkalkulasi ada sembilan permasalahan yang dihadapi Orde Baru pada awal-awal pemerintahannya, khususnya yang berhubungan dengan aspek ekonomi yaitu :

  1. Pembentukan suasana stabilitas politik dan sosial (keamanan bangsa) yang memungkinkan terjadinya perubahan.

  2. Menciptakan satu bangsa yang terhindar dari perpecahan umat dan banyaknya bahasa dan dialek yang bisa menggoncangkan.

  3. Membawa rakyat untuk berada bersama-sama di dalam pemerintahan, yaitu mereka yang bukan hanya penurut saja, atau ABS (Asal Bapak Senang), mereka yang memiliki kemampuan dan kepakaran khusus guna menangani masalah bangsa dan negara secara cerdik dan arif.

  4. Menghapuskan kelembapan dan buck passing (menghindarkan tanggungjawab) yang melumpuhkan pemerintahan begitu lama.

  5. Membentuk suatu semangat kerjasama di dalam pemerintahan yang bisa menafikan kecemburuan dan perbedaan yang bersifat primordial (kedaerahan maupun kesukuan).

  6. Menjauhkan kepentingan pribadi dan sakit hati mereka yang sangat menginginkan untuk kembali ke era Soekarno.

  7. Menangani masalah-masalah ekonomi dan pembangunan ekonomi serta menghindari keruntuhan ekonomi.

  8. Membangun kemandirian (self sufficiency) pertanian untuk memenuhi keperluan pangan.

  9. Memperoleh lebih banyak lagi pengadilan yang adil

Upaya “pengordebaruan” juga berlangsung dalam hal orientasi pemikiran sosial politik dan ekonomi, yang pada masa Orde Lama tekanannya sangat ideologis dan politis. Oleh karena itulah para pendukung Orde Baru menciptakan pemikiran-pemikiran tandingan (counter ideas), sehingga muncullah ide-ide pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi, pembangunan oriented, dan lainlain. Dari sini Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan untuk menyelamatkan stabilitas ekonomi dan politik, meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagi rezim Orde Baru terjaminnya ekonomi rakyat menjadi sumber bagi legitimasinya dalam menjalankan roda pemerintahan.

Bahkan menurut Grosart, sebagaimana dikutip M. Rusli Karim, para pemimpin Orde Baru beranggapan bahwa ketegangan yang ada dalam masyarakat hanya bisa dihilangkan dengan pembangunan ekonomi. Sasaran pembangunan ekonomi yang sangat berhubungan dengan stabilitas politik, sebenarnya sah-sah saja asalkan disejajarkan pula dengan pemberian kebebasan politik, karena pertumbuhan ekonomi hanya mungkin dicapai jika ada stabilitas politik. Inilah yang menjadi sasaran utama pembangunan politik sehingga tekanannya adalah pada pendekatan keamanan (security approach), bukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Fakta menunjukkan kecenderungan politik dan ekonomi diarahkan untuk memperkukuh pemerintah pusat. Kuatnya pemerintah pusat akan menjadikan pemerintah sebagai satusatunya sebagai institusi politik yang berpengaruh.

Sistem ekonomi yang dikembangkan pada masa Orde Baru adalah ekonomi kapitalis yang sangat bergantung pada bantuan Barat. Dalam pembangunan yang bercorak kapitalis inilah terselip westernisasi. Unsur westernisasi adalah suatu resiko yang sulit dihindari oleh Orde Baru dalam rangka modernisasi, sebagai langkah untuk menjauhkan Indonesia dari komunisme. Hal ini memang sejalan dengan kebijakan tujuan pembangunan pada fase awal Orde Baru yaitu: pendidikan di negara-negara Barat, bantuan pemberian saham dan teknik, penanaman modal asing dan pemberian saham, pengaruh media massa, dan pemindahan struktur lembaga dan ekonomi.

Politik Era Reformasi dan Ekonomi Islam

Perubahan dipahami sebagai sesuatu yang terus menerus terjadi, phanta rei, semuanya mengalir dan berubah. Sejarah mengenal perubahan-perubahan besar. Demikian juga dalam sejarah Indonesia, terdapat perubahan-perubahan besar. Di antaranya adalah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan gerakan reformasi 20 Mei 1998 yang kemudian melengserkan Soeharto pada 21 Mei 1998. Peristiwa ini menandai berakhirnya Orde Baru. dan dimasukinya era baru yaitu Era Reformasi. Ini artinya era kepemimpinan Soeharto (Orde Baru) telah berakhir.

Pasca turunnya Soeharto, terjadi perubahan-perubahan yang drastis dan dramatis dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Gejala-gejala perubahan itu ditandai dengan fenomena-fenomena berikut :

1. Redefinisi Hak-Hak Politik.

Pasca turunnya Soeharto, rakyat mulai melakukan redefinisi hak-hak politiknya yang pada mulanya terpasung oleh Orde Baru. Di antaranya yang paling menonjol adalah hak kebebasan. Dalam konteks ini, kebebasan berpolitik, kebebasan berdemonstrasi, pembebasan tahanan politik, kebebasan menjalankan ajaran agama, liberasi media massa, dan lain-lain menjadi fenomena umum.

2. Ledakan Partisipasi Di tingkat eli

Ledakan partisipasi ditandai dengan terjadinya politisasi, aliansi-realiansi, oposisi, protes, dan perlawanan politik. Wujudnya beragam: maraknya kelompok oposisi, partai tumbuh bak jamur di musim hujan, pers mengalami politisasi sekaligus liberasi. Sedangkan pada tingkat massa, ledakan partisipasi terjadi dalam bentuk gerakan massa dan amuk. Dan seringkali ledakan partisipasi model ini cenderung bersifat destruktif dan anarkis.

3. Surplus Percaya Diri pada Publik

Tidak ada yang menyangka Soeharto bakal jatuh secepat itu. Menurut Anders Uhlin, krisis ekonomi, meski bukan satu-satunya adalah faktor dan momentum terpenting dalam kejatuhan Soeharto. Soeharto tidak dapat menikmati lebih lama lagi legitimasi yang “dibeli” dengan pertumbuhan ekonomi. Tekanan-tekanan IMF semakin memperburuk krisis ekonomi yang paling dahsyat sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ketika mahasiswa memimpin demonstrasi massa menentang Soeharto dan pemimpin-pemimpin Islam mendesak soeharto untuk mengundurkan diri, elit militer meninggalkan Soeharto untuk melindungi kepentingannya sendiri, akhirnya jatuhlah Soeharto.

Tidak ada yang menyangka bahwa Soeharto akan jatuh secepat itu. Bahkan Affan Gaffar menyatakan bahwa sampai Maret 1998, peluang untuk suksesi hampir sama sekali tidak ada. Namun kenyataannya Soeharto jatuh secara dramatis. Jatuhnya Soeharto telah melahirkan kepercayaan diri yang sangat besar di kalangan publik. Ini adalah realitas positif yang mesti disyukuri sekaligus diwaspadai, jangan sampai kebablasan ke anarkhi.

4. Delegitimasi dan Krisis Kredibilitas Kekuasaan

Jatuhnya Soeharto membuka peluang bagi berkembangnya agenda delegitimasi Orde Baru beserta seluruh instrumen dan institusi politik yang diwariskannya. Naiknya Presiden Habibie—yang selama 20 tahun menjadi pembantu dekat Soeharto—yang memimpin sebuah pemerintahan yang berintikan “orang-orang lama”, membuat gelombang delegitimasi kekuasaan justru makin menguat sepeninggal Soeharto.

5.Menegasnya Fragmentasi dan Disintegrasi Politik

Di era Soeharto yang terjadi adalah kerangka politik penyeragaman baik di tingkat elit maupun massa. Penyeragaman tidak hanya pada bahasa tetapi juga pada berbagai dimensi kehidupan, seperti kebudayaan dan sistem sosial politik. Ide dan nilai yang ditransfer dari pusat kekuasaan pemerintah merupakan intervensi terhadap berbagai dimensi kehidupan yang sah dan kemudian digantikan dengan yang baru yang bersifat seragam di seluruh Indonesia. Penyeragaman ini tanpa memberi ruang yang cukup bagi perkembangan dan ciri khas daerah.45 Faksionalisme tidak pernah bisa mengemuka di masa itu.46 Sepeninggal Soeharto, faksionalisme mengemuka tanpa bisa ditahan. Pada saat yang sama disintegrasi politik di antara berbagai kelompok menjadi gejala sangat menonjol.

Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, merupakan agama yang ajaran-ajarannya bersifat universal dan mencakup segenap aktivitas kehidupan manusia, walau ada sisi kehidupan tertentu yang diatur secara global saja. Namun justru di situlah letak keunggulan Islam sebagai way of life bagi seluruh umat manusia, sehingga Islam senantiasa dapat merespon perkembangan manusia maupun kondisi sosial politik yang mengitarinya.

Diakui oleh Ernest Gellner, bahwa Islam adalah agama yang menyokong dalam cita-cita membangun masyarakat madani (civil society), hambatan yang ada hanya terletak pada kesiapan kultural dan ekonomi umatnya. Di sinilah aspek sosial ekonomi umat Islam harus mendapat perhatian khusus. Kondisi perpolitikan era Reformasi yang kondusif untuk pengembangan ekonomi Islam tersebut telah dimanfaatkan dengan baik oleh umat Islam, sehingga lahirlah kebijakan dan regulasi yang mendukung terwujudnya praktik ekonomi Islam yang berpayung hukum jelas dan mendapat legitimasi yang kuat dari pemerintah.

Pemerintah era reformasi tidak hanya membuat regulasi yang memungkinkan praktik ekonomi Islam semakin berkembang, tetapi juga mendirikan bank Syariah yang notebenenya berkategori BUMN. Hal ini misalnya pada tahun 1999, pemerintah mendirikan Bank Syariah Mandiri (BSM) yang modal inti terbesarnya dari Bank Mandiri yang nota benenya bank BUMN, selanjutnya BRI Syariah yang modal inti terbesarnya dari Bank BRI yang nota benenya bank BUMN, BNI Syariah yang modal inti terbesarnya dari BNI 45 yang nota benenya bank BUMN yang juga berplat merah, pegadaian Syariah yang berada dibawah perum pegadaian yang merupakan BUMN juga, dan lain-lain.

Di sektor kuangan publik Islam, pemerintah era reformasi telah mengundangkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat. Diundangkannya UU Zakat menunjukkan politik ekonomi Islam dalam ranah keuangan publik pemerintah RI cukup akomodatif terhadap kebutuhan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-3. Pada tahun 2004, juga lahir UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, ditambah Kepmen Nomor 04 Tahun 2009 tentang Administrasi Wakaf Uang.

REFERENSI

Abd. Rohim Ghazali, Keharusan Reformasi Politik: Pengantar Editor”, dalam Kapan Badai Akan Berlalu Suara-Suara Kritis Cendekiawan Menghendaki Perubahan, (Bandung: Mizan, 1998)

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

Acemoglu and Daron dkk, Income and Democracy, (Mimeo: MIT, 2005)

Adiwarman Karim (2004), Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Affan Gaffar, “Reformasi Politik harus digelindingkan Terus”, dalam Abd. Rohim Gahzali, Keharusan Reformasi Politik: Pengantar Editor”, dalam Kapan Badai Akan Berlalu Suara-Suara Kritis Cendekiawan Menghendaki Perubahan, (Bandung: Mizan, 1998)

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)

M. Syafi’i Anwar, “Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Masa Orde Baru: Sebuah Retropeksi dan Refleksi”, dalam ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi, (Bandung: Mizan, 1995)

Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI (Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1984)

Maswadi Rauf, “Kata Pengantar” dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, (Jakarta: Darul Falah, 1999)

Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

Nur Kholis, Pengaruh Politik dalam Perkembangan Praktik Ekonomi Islam di Indonesia, Jurnal Milah, Vol 13 No 1

1 Like